Senin

(Masih) Merindukan Kesejahteraan!

WACANA
Oleh: Nurani Soyomukti*
Belakangan para ekonom meramalkan akan terjadi krisis ekonomi lagi yang akan memperburuk kondisi negara Indonesia. Diramalkan pula bahwa gejolak sosial akan terjadi lagi karena berbagai kepentingan politik yang memanfaatkan ketidakpuasan rakyat juga bermain.
Kemungkinan terulangnya kembali krisis ekonomi di Indonesia dapat dilihat dari indikasi-indikasi ekonomi dan finansial yang mirip dengan yang terlihat menjelang Krisis Asia 1997-1998.
Bagi negara Indonesia yang terjerat mata rantai dari kapitalisme global yang paling lemah dan rawan krisis, kerentanan terjadi terutama disebabkan oleh ketergantungan finansial terhadap para pemilik modal di negara-negara maju. Dalam ungkapan Robert Packingham, "The more a nation’s economy is penetrated by loans, investment, aid, and reliance on external trade, the more dependent the nation is" (Packingham, 1998:137).
Artinya, krisis kesejahteraan yang menimpa bangsa ini nampaknya belum selesai. Para politisi justru masih selalu sibuk dengan tindakan-tindakan politiknya masing-masing, bukan untuk kepentingan rakyat banyak tetapi untuk kepentingan pemilu 2009 nanti. Pemilu yang akan berlangsung dua tahun lagi itupun masih sarat dengan kepentingan partai-partai besar yang secara programatik dan wataknya juga masih sama dengan yang dulu-dulu. Sedangkan melalui instrumen UU Politik baru, partai-partai baru yang bisa saja mengusung program alternatif terhambat oleh aturan kepartaian yang menghambat pertumbuhannya.
Rawan Gejolak
Mengharapkan kesejahteraan adalah dambaan dari setiap insan sekaligus sifat universal bagi semua manusia. Selama hak atas pemenuhan material ini dilanggar, maka akan terjadi sebuah ketidakpuasan terhadap kondisi material (realitas) yang ada. Untuk melupakan atau mengobati ketidakpuasan telah dilakukan oleh para “penghibur” melalui TV-TV atau media dan wadah-wadah lain yang dibentuk oleh kekuasaan dari atas --dan bukan inisiatif dari bawah yang berangkat dari tuntutan objektif.
Era kejayaan “siraman rohani” yang diikonkan oleh AA Gym telah mengalami proses delegitimasi sejak “pendakwah moral” tidak lagi disukai para ibu-ibu dan pengagumnya gara-gara mendukung kenaikan BBM dan melakukan poligami. Era kejayaan Thukul sebagai sang penghibur melalui humor Empat Mata yang membuat rakyat lupa pada ketidakpuasan akan tekanan ekonomi juga berangsur-angsur sudah menjadi “biasa” dan (pasti akan menjadi) “basi”.
Pada saat hiburan yang melupakan dan melenakan telah begitu biasa dan dianggap tidak mampu menjadi “obat” atau solusi bagi kesejahteraan rakyat, yang akan terjadi adalah sebuah gelombang protes sosial yang meluas. Bahkan gejalanya sebenarnya sudah kita rasakan sejak lama dengan terjadinya berbagai macam konflik dan kekerasan baik yang bersifat horisontal maupun vertikal. Konflik vertikal mungkin akan lebih berarti karena rakyat mengarahkan serangannya kepada pemerintah pada saat masih terjadi kesewenang-wenangan dan tindakan pragmatis-oportunis.
Tapi konflik horisontal --yang dibalut dengan sentimen seksual (menganggap perempuan musuh atau pihak lemah) yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dan konflik agama, suku, dan antar kelompok sosial yang berdasarkan pada identitas sempit dan nasionalisme-chauvinistik-- sangat membahayakan. Gejalah inilah yang merupakan titik kritis bagi keberlangsungan pluralisme Indonesia .
Akhirnya, gerakan rakyat harus diletakkan bukan sebagai suatu kekuatan makar atau pengacau keamanan (seperti yang sering dilakukan Orde Baru), tetapi harus dilihat sebagai reaksi atas perlakuan yang dibuat oleh para pemimpin dan elit-elit ekonomi-politik yang ada. Menurut Ted Robert Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970), penyebab suatu tindakan kekerasan politis yang elementer termasuk dalam hal ini gerakan radikal dari massa adalah timbulnya sikap ketidakpuasan (discontents) di kalangan masyarakat luas sebagai akibat adanya jurang antara value expectations dan value capabilities sehingga masyarakat sungguh-sungguh merasakan suatu yang hilang, yang dalam hal ini disebutnya dengan “deprivasi relatif” (relative deprivation). Lebih jauh studi tentang gerakan sosial umumnya dilihat dalam kerangka analisis “tingkah laku kolektif”. Tingkah laku kolektif tidak selalu terjadi dalam bentuk kekerasan. Bisa jadi terjadi dalam bentuk aksi diam atau “penghindaran” (avoidance).
Kita harus bijak dan arif (dialektis) dalam menilai situasi yang akan berkembang. Gerakan sosial seperti protes harus dilihat bukan semata-mata sebagai aksi destruktif. Rakyat bergerak adalah lebih baik daripada rakyat diam, dijadikan massa mengambang (floating mass), dan dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan segelintir orang. Demokrasi adalah capaian yang dihasilkan dari dialektika gerak sosial dalam perjalanan masyarakat.
Dalam konteks ini, radikalisasi yang mungkin --dan sebaiknya-- terjadi harus kita sambut dengan besar hati karena hal itu akan bermakna dua hal. Pertama, rakyat harus terlibat aktif dalam gerakan politik, maka dalam hal ini aksi massa adalah memberi pemantik pada kesadaran rakyat. Rakyat tidak akan “mikir” atau minimal bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan ekonomi-politik global, nasional, dan lokal. Artinya, setiap gejala radikalisasi massa yang muncul diharapkan akan mampu meningkatkan sense of crisis rakyat. Hanya dengan cara inilah demokrasi akan terjadi, yaitu dalam kondisi di mana rakyat tahu apa yang menyebabkan krisis dan rakyat terlibat aktif untuk menyalurkan ekspresi politiknya pada para penguasa.
Kedua, gerakan aksi massa saat ini bukan tidak dibutuhkan, tetapi justru diharapkan akan semarak dalam hal mengontrol dan memberi tekanan bagi pemerintah, pembuat kebijakan, dan penegak hukum agar janji-janji yang diucapkan pada kampanye lalu tidak hanya lips service. Termasuk untuk memberantas kasus korupsi, diperlukan tekanan yang menunjukkan bahwa rakyat saat ini butuh ketegasan dari pemerintah dan penegak hukum dalam hal ini, juga penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam gerakan menekan, opini di mediapun akhirnya akan menguat. Gerakan massa selain sebagai kontrol sebenarnya juga bisa digunakan untuk mendorong mood politik yang menggambarkan urgensi kehendak rakyat tentang apa yang harus dilakukan pemerintah dan aparat-aparat penegak hukumnya.
*) Peneliti di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung