TEROPONG
Oleh: Sugitoro*
Kecelakaan kereta api (KA) terlalu sering terjadi, dan sampai bosan mendengarnya. Belakangan kasus mengerikan ini bahkan terjadi secara bertubi-tubi. Sabtu (21/4/07), dua kecelakaan KA terjadi di dua tempat berbeda. Pertama, di Garut. KA Ekonomi Citra Jaya jurusan Jakarta - Kroya terguling di Kp Salam, Cibatu. KA dengan tujuh gerbong itu meninggalkan Stasiun Kircon pukul 01.00. Menurut para penumpang maupun masinis, dalam perjalanan mereka tidak merasakan adanya kerusakan atau masalah KA.
Tetapi, begitu KA Citra Jaya memasuki daerah Desa Sukamaju, tiba-tiba rangkaian gerbong bergoyang, dan KA bergetar. Tepat di tengah-tengah atas jurang, tiga gerbong lepas dan langsung meluncur ke dasar jurang. Sedangkan di Banyumas (Jawa Tengah), KA Eksekutif Argo Lawu jurusan Solo – Jakarta, anjlok di kawasan Candinegara, Pekuncen. Tergulingnya kedua KA diyakini akibat buruknya kondisi rel. Misalnya, rel yang tua, bantalan kayu yang rapuh dan tanah penyangga rel longsor akibat hujan.
Dalam 4 bulan terakhir terjadi 11 kali kecelakaan KA. Tiga kali berupa tabrakan dengan kendaraan lain di perlintasan, dan 8 lainnya anjlok. Di dekat perlintasan rel KA Stasiun Depok Baru, penulis belakangan ini pernah melihat rel dan bantalan naik-turun ketika KA berjalan di atasnya. Kecelakaan KA yang frekuensinya tinggi selama ini harus dijadikan cambuk bagi pemerintah agar secepatnya membenahi manajemen, sarana dan prasarana perkeretaapian Indonesia. Lebih-lebih, KA merupakan sarana transportasi vital bagi negara untuk melayani tingginya mobilitas masyarakat.
Bahaya malfungsi
Angkutan KA di negeri ini tengah mengalami keterpurukan luar biasa dengan masalah kronis berupa penurunan tingkat keselamatan, pangsa pasar, kualitas pelayanan rendah, kurang responsif terhadap kebutuhan para pengguna jasa, efisiensi pengoperasian rendah, dsb. Keselamatan merupakan aspek krusial dalam pengoperasian KA. Malfunction (tidak berfungsi) terhadap pengoperasian perkeretaapian mengakibatkan terjadinya kecelakaan fatal dan berpotensi mengorbankan banyak nyawa manusia secara sia-sia.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pengelola tunggal yang telah dipercaya pemerintah, apakah sudah tidak sanggup mengantisipasi? Apalagi melihat kondisi kereta api listrik (KRL), juga sangat memprihatinkan. Jumlah penumpang dengan cepat bertambah, namun tidak dilayani dengan gerbong yang cukup. Akibatnya, puluhan ribu penumpang KRL tiap hari harus berdesakan, sebagian pergi bekerja untuk mempertahankan hidup karena krisis ekonomi, tetapi seolah-olah dibiarkan mempertaruhkan jiwa-raganya, sekalipun tak jarang banyak yang bergelantungan.
Apapun persoalannya, PT KAI harus mengutamakan publik. Agar publik konsumen tidak dikorbankan dan dikorbankan lagi. Jika layanan publik ke depan tak kunjung dibenahi serius, bisa diprediksikan bahwa kasus kecelakaan KA bisa terus menerus terjadi. Kendati faktanya begitu, namun akar permasalahan sering tertutup oleh pernyataan pejabat yang langsung menuding kambing hitam di balik peristiwa kecelakaan KA. Lazim, ya human error yang ditimpakan kepada para masinis.
Padahal, di balik itu, sebetulnya tersimpan sederet tidak berfungsinya sistem komprehensif transportasi KA. Varian antara beban kerja masinis dengan kondisi environment effect di dalam kabin masinis serta gangguan sistem integrasi persinyalan merupakan faktor dominan penopang kecelakaan KA.
Urgensi Pembenahan
Kondisi sarana dan prasarana keselamatan KA kian memburuk, baik sistem persinyalan, pengreman, lampu-lampu, lokomotifpun sering mogok. Apalagi KRL Jabodetabek yang kebanyakan barang bekas hibah dari Jepang Rp 283 miliar, buatan tahun 1968. Sejak tiba di Tanjung Priok saja sudah mengalami gangguan. Meski sudah dilakukan modifikasi teknis di Balai Yasa PT KAI Manggarai, kasusnya selalu muncul karena adanya perbedaan sistem persinyalan.
Sistem persinyalan yang mengatur operasi perjalanan KRL Jabodetabek sering tak tersambung karena produk sistem persinyalan sangat beragam. Seperti vital processsor interlocking (VPI) dari AS atau Belanda dan solid state interlocking (SSI) dari Inggris atau Australia. Akibatnya, pengiriman sinyal sering tidak sinkron. Pembangunan transportasi di Indonesia musti lebih berpihak kepada rakyat kecil, dan karena itu penting bagi pemerintah untuk mengalokasikan dana demi perbaikan sarana dan prasarana KA. Bandingkan dengan kebiasaan pengelolaan KA di Australia dan Prancis yang memberi subsidi 40-50% dari pendapatan perusahaan KA. Dari hitungan ini, Meneg BUMN harusnya menambah Rp 1,1 triliun tahun 2006 dan PT KAI mestinya diberi dana PSO (public service obligation) sekitar Rp 63 miliar karena menjalankan peran pemerintah dalam pelayanan transportasi.
Jika PT KAI mau memiliki akuntabilitas publik, semua peralatan keselamatan KA harus dalam kondisi baik. Memburuknya kondisi peralatan keselamatan akibat biaya perawatan yang tersedia per tahun cuma 1% (seharusnya 5%) dari harga baru peralatan. KA Sumatera Selatan misalnya, yang tiap hari melintas di jalur itu, salah satu KA pernah anjlok karena rel terus menipis, tetapi PT KAI dalam keadaan tidak mampu mengganti rel baru.
Padahal, pada saat yang sama, uang negara banyak yang terus dikorupsi. Jika tidak dijarahi koruptor, dan aparatur negara mau menghemat anggaran, lantas uang rakyat itu dialokasikan bagi perbaikan sarana dan prasarana transportasi, maka selama itu tak perlu sering terjadi kecelakaan kereta api. Para anggota DPR tidak sepantasnya mengajukan anggaran besar untuk kepuasan pribadi menikmati fasilitas negara, tapi harus perjuangkan anggaran yang memadai untuk membenahi manajemen, sarana dan prasarana KA.
*) Anggota Masyarakat Transportasi Indonesia, tinggal di Jakarta Selatan
Oleh: Sugitoro*
Kecelakaan kereta api (KA) terlalu sering terjadi, dan sampai bosan mendengarnya. Belakangan kasus mengerikan ini bahkan terjadi secara bertubi-tubi. Sabtu (21/4/07), dua kecelakaan KA terjadi di dua tempat berbeda. Pertama, di Garut. KA Ekonomi Citra Jaya jurusan Jakarta - Kroya terguling di Kp Salam, Cibatu. KA dengan tujuh gerbong itu meninggalkan Stasiun Kircon pukul 01.00. Menurut para penumpang maupun masinis, dalam perjalanan mereka tidak merasakan adanya kerusakan atau masalah KA.
Tetapi, begitu KA Citra Jaya memasuki daerah Desa Sukamaju, tiba-tiba rangkaian gerbong bergoyang, dan KA bergetar. Tepat di tengah-tengah atas jurang, tiga gerbong lepas dan langsung meluncur ke dasar jurang. Sedangkan di Banyumas (Jawa Tengah), KA Eksekutif Argo Lawu jurusan Solo – Jakarta, anjlok di kawasan Candinegara, Pekuncen. Tergulingnya kedua KA diyakini akibat buruknya kondisi rel. Misalnya, rel yang tua, bantalan kayu yang rapuh dan tanah penyangga rel longsor akibat hujan.
Dalam 4 bulan terakhir terjadi 11 kali kecelakaan KA. Tiga kali berupa tabrakan dengan kendaraan lain di perlintasan, dan 8 lainnya anjlok. Di dekat perlintasan rel KA Stasiun Depok Baru, penulis belakangan ini pernah melihat rel dan bantalan naik-turun ketika KA berjalan di atasnya. Kecelakaan KA yang frekuensinya tinggi selama ini harus dijadikan cambuk bagi pemerintah agar secepatnya membenahi manajemen, sarana dan prasarana perkeretaapian Indonesia. Lebih-lebih, KA merupakan sarana transportasi vital bagi negara untuk melayani tingginya mobilitas masyarakat.
Bahaya malfungsi
Angkutan KA di negeri ini tengah mengalami keterpurukan luar biasa dengan masalah kronis berupa penurunan tingkat keselamatan, pangsa pasar, kualitas pelayanan rendah, kurang responsif terhadap kebutuhan para pengguna jasa, efisiensi pengoperasian rendah, dsb. Keselamatan merupakan aspek krusial dalam pengoperasian KA. Malfunction (tidak berfungsi) terhadap pengoperasian perkeretaapian mengakibatkan terjadinya kecelakaan fatal dan berpotensi mengorbankan banyak nyawa manusia secara sia-sia.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pengelola tunggal yang telah dipercaya pemerintah, apakah sudah tidak sanggup mengantisipasi? Apalagi melihat kondisi kereta api listrik (KRL), juga sangat memprihatinkan. Jumlah penumpang dengan cepat bertambah, namun tidak dilayani dengan gerbong yang cukup. Akibatnya, puluhan ribu penumpang KRL tiap hari harus berdesakan, sebagian pergi bekerja untuk mempertahankan hidup karena krisis ekonomi, tetapi seolah-olah dibiarkan mempertaruhkan jiwa-raganya, sekalipun tak jarang banyak yang bergelantungan.
Apapun persoalannya, PT KAI harus mengutamakan publik. Agar publik konsumen tidak dikorbankan dan dikorbankan lagi. Jika layanan publik ke depan tak kunjung dibenahi serius, bisa diprediksikan bahwa kasus kecelakaan KA bisa terus menerus terjadi. Kendati faktanya begitu, namun akar permasalahan sering tertutup oleh pernyataan pejabat yang langsung menuding kambing hitam di balik peristiwa kecelakaan KA. Lazim, ya human error yang ditimpakan kepada para masinis.
Padahal, di balik itu, sebetulnya tersimpan sederet tidak berfungsinya sistem komprehensif transportasi KA. Varian antara beban kerja masinis dengan kondisi environment effect di dalam kabin masinis serta gangguan sistem integrasi persinyalan merupakan faktor dominan penopang kecelakaan KA.
Urgensi Pembenahan
Kondisi sarana dan prasarana keselamatan KA kian memburuk, baik sistem persinyalan, pengreman, lampu-lampu, lokomotifpun sering mogok. Apalagi KRL Jabodetabek yang kebanyakan barang bekas hibah dari Jepang Rp 283 miliar, buatan tahun 1968. Sejak tiba di Tanjung Priok saja sudah mengalami gangguan. Meski sudah dilakukan modifikasi teknis di Balai Yasa PT KAI Manggarai, kasusnya selalu muncul karena adanya perbedaan sistem persinyalan.
Sistem persinyalan yang mengatur operasi perjalanan KRL Jabodetabek sering tak tersambung karena produk sistem persinyalan sangat beragam. Seperti vital processsor interlocking (VPI) dari AS atau Belanda dan solid state interlocking (SSI) dari Inggris atau Australia. Akibatnya, pengiriman sinyal sering tidak sinkron. Pembangunan transportasi di Indonesia musti lebih berpihak kepada rakyat kecil, dan karena itu penting bagi pemerintah untuk mengalokasikan dana demi perbaikan sarana dan prasarana KA. Bandingkan dengan kebiasaan pengelolaan KA di Australia dan Prancis yang memberi subsidi 40-50% dari pendapatan perusahaan KA. Dari hitungan ini, Meneg BUMN harusnya menambah Rp 1,1 triliun tahun 2006 dan PT KAI mestinya diberi dana PSO (public service obligation) sekitar Rp 63 miliar karena menjalankan peran pemerintah dalam pelayanan transportasi.
Jika PT KAI mau memiliki akuntabilitas publik, semua peralatan keselamatan KA harus dalam kondisi baik. Memburuknya kondisi peralatan keselamatan akibat biaya perawatan yang tersedia per tahun cuma 1% (seharusnya 5%) dari harga baru peralatan. KA Sumatera Selatan misalnya, yang tiap hari melintas di jalur itu, salah satu KA pernah anjlok karena rel terus menipis, tetapi PT KAI dalam keadaan tidak mampu mengganti rel baru.
Padahal, pada saat yang sama, uang negara banyak yang terus dikorupsi. Jika tidak dijarahi koruptor, dan aparatur negara mau menghemat anggaran, lantas uang rakyat itu dialokasikan bagi perbaikan sarana dan prasarana transportasi, maka selama itu tak perlu sering terjadi kecelakaan kereta api. Para anggota DPR tidak sepantasnya mengajukan anggaran besar untuk kepuasan pribadi menikmati fasilitas negara, tapi harus perjuangkan anggaran yang memadai untuk membenahi manajemen, sarana dan prasarana KA.
*) Anggota Masyarakat Transportasi Indonesia, tinggal di Jakarta Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar