Senin

Waspadai Penyerobotan Hak Paten Produk Kita

Oleh: Denok Hanggarsari
Banyaknya teknologi dari luar yang membanjiri negara kita menunjukkan bahwa kita masih sangat tergantung pada produk luar negeri. Ketika di negeri ini masih belum memiliki budaya produktif dalam menghasilkan penemuan baru, ketertinggalannya dengan negara lain sangat kita rasakan. Dominannya budaya imitatif (meniru) di masyarakat kita bukan hanya menandai kemunduran kebudayaan kita, tetapi juga membuat kita selalu kalah bersaing dengan bangsa lain dalam pertukaran ekonomi dan perdagangan. Budaya tidak menghargai hasil penemuan dan penelitian juga kerap kali membuat kita lengah. Apa yang sebenarnya telah kita produksi di masyarakat kadang hak patennya juga tidak kita miliki.
Jepang telah memiliki hak paten terhadap produksi tahu pada hal makanan tersebut telah berkembang di berbagai daerah kita. Ini menunjukkan bahwa hasil penemuan dan penelitian yang kita dapat justru tidak kita hargai. Kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam mengurus Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) turut mengurangi daya saing ekspor produksi barang dalam negeri dan juga mengurangi pajak negara. Belakangan ini juga sering terjadi penyerobotan HAKI milik masyarakat Indonesia yang dipatenkan di luar negeri. Akibatnya, sejumlah eksportir kerajinan tradisional tanah air harus membayar royalti atas penggunaan HAKI yang sebenarnya berasal dari tanah air dan kini sudah terdaftar sebagai milik pihak lain di negara tujuan ekspor.
Penyerobotan hak cipta itu, misalnya, dilakukan dengan mencontoh barang yang sebelumnya sudah diekspor produsen dari tanah air kemudian dipatenkan di negara lain. Atau, sejumlah tenaga kerja dari Indonesia diboyong ke luar negeri, kemudian majikannya membuat hak paten atas hasil karya mereka.
Produk-produk seperti telepon genggam yang marak menghiasi pasar industri teknologi informasi di tanah air sebenarnya pada setiap telepon itu tertanam bermacam-macam hak paten yang harus dibayar pembelinya. Misalnya, hak paten untuk bentuk slider, calm, keypad design, cover, dan merek dagang.
Sayangnya kita senantiasa terlambat untuk mengetahui sistem paten semacam itu. Padahal banyak produk kita yang memiliki daya saing tinggi dan kita selalu kecolongan dalam menghargai dan memberi nilai padanya. Misalnya produk kerajinan rotan. Pada hasil produksi berbahan baku rotan ini juga terdapat hak paten yang harus dibayar pembelinya, seperti model kursi dan campuran warna, serta bahan. Contoh lainnya, pembuatan kain batik. Pada karya ini terdapat hak yang dapat dipatenkan, di antaranya bentuk motif dan campuran warna.
Tetapi kalau motif itu sudah dipatenkan seseorang di negara tujuan ekspor maka eksportir harus membayar royalti kepada pemilik hak paten itu. Kondisi ini sudah pasti menurunkan daya saing ekspor produksi dalam negeri. Terlebih jika, misalnya, pada kain batik itu semua unsur sudah dipatenkan orang lain.
Kurangnya Sosialisasi
(Hak) Paten sebagai salah satu rejim Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) relatif masih baru dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan bagi mereka yang bergelut dalam komunitas penelitian dan industri. Masih banyak kalangan yang belum paham tentang hubungan antara paten dan HaKI atau sebaliknya. Bahkan, ada kalangan yang masih memaksakan pada pemahaman bahwa HaKI adalah paten dan paten adalah teknologi, berarti HaKI adalah masalah teknologi. Padahal, HaKI meliputi juga hak cipta, merek, desain industri, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman, dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Hal itu menunjukkan bahwa masih kurangnya sosialisasi tentang pentingnya paten bagi kalangan peneliti. Seandainya mereka tahu bahwa hasil penelitian dapat dipatenkan dan dihargai sedemikian rupa, saya yakin bahwa di negeri ini banyak kalangan yang begitu semangatnya melakukan penelitian dan penemuan-penemuan baru. Dalam hal ini paten dapat dimaknai sebagai penghargaan dan insentif bagi para peneliti. Apa yang akan ditemukan adalah simbol, bukan hanya simbol keilmuwanan tetapi juga ada aspek ekonomis yang dihargai dan membuatnya bersemangat untuk melakukan penelitian-penelitian lainnya.
Kekurangan sosialisasi tersebut juga berkaitan dengan kebingungan yang bukan merupakan kesalahan kalangan yang hanya memahaminya secara demikian, tetapi juga karena umumnya pemahaman seperti itu lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan terhadap HAKI sebagai alat dan belum merupakan tujuan sehingga memengaruhi cara pemahaman. Namun apa pun persoalannya, yang penting adalah upaya-upaya ke arah pemahaman bahwa HaKI (khususnya paten) penting menjadi target penelitian di bidang teknologi merupakan upaya yang cukup maju. Mengingat negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris, Jerman, dan sebagainya sudah mengenal paten hampir selama 200 tahun.
Meskipun paten akan bernilai ekonomis apabila sudah diwujudkan menjadi sebuah produk yang memang bisa digunakan, setidaknya akan banyak orang yang akan melakukan penelitian untuk menemukan suatu hal yang baru karena apa yang mereka hasilkan mendapatkan simbol dan tidak ada orang lain yang bisa menjiplaknya.Paten itu baru akan mempunyai nilai ekonomis apabila sudah diwujudkan menjadi sebuah produk yang memang bisa digunakan. Memasyarakatkan hak paten dan HAKI di kalangan ilmuwan memang bukan pekerjaan gampang karena berhadapan dengan budaya masyarakat kita yang sejak dulu kuat dengan gotong-royong dan menolak klaim-klaim kepemilikan pribadi dan sebagainya. Masalahnya mematenkan hak identik dengan memonopoli suatu penemuan atau produksi.
Menurut saya tidak ada pertentangan yang pokok dalam hal ini. Setiap penemuan baru pasti berguna pada kemajuan umat manusia. Selama paten tidak menyalahi cara memenuhi hajat hidup orang banyak, penghargaan hasil penelitian terhadap sang penemu (peneliti) dalam bentuk paten justru akan banyak memberikan inspirasi bagi orang lain untuk memacu dirinya dalam melakukan penelitian guna menemukan suatu ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru.
Terutama jika budaya paten ini bisa meluas di lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi, hal itu akan mengembalikan citra lembaga penelitian dan pendidikan yang selama ini masih lemah dalam hal penemuan baru. Lebih jauh lagi, penemuan-penemuan baru dan hasil penelitian adalah landasan bagi terjadinya pertumbuhan pembangunan suatu bangsa. Apa lagi bagi negara kita yang memiliki potensi sumber daya alam kaya, dukungan penelitian, pengetahuan, dan teknologi baru akan sangat berguna untuk mengolah sumber daya tersebut. Ketergantungan pada teknologi yang menyebabkan daya tawar kita lemah dapat kita kurangi dengan penemuan-penemuan baru.
*) Sekretaris IRED (Institute of Research and Education for Democracy) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung