Rabu

Kemiskinan Ancaman Disintegrasi Bangsa

Drs H Ali Mochtar Ngabalin, M.Si
Kemiskinan selain menjadi bencana kemanusiaan, juga bisa menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Penduduk di wilayah-wilayah yang kian hari kian jauh dari jatah pemerataan ’kue pembangunan’ pasti akan menjerit. Kalau hidup di Indonesia begini susah, mengapa harus dipertahankan? Inilah pernyataan keprihatinan anggota Komisi I DPR-RI, Ali Mochtar Ngabalin. Berikut petikan wawancara wartawan Koran Pak Oles, Agus Salam dengan lulusan Pasca Sarjana UI Jurusan Komunikasi di ruang komisi I DPR-RI;

Bagaimana sebenarnya program pemberantasan kemiskinan di Indonesia?

Kira-kira delapan tahun lalu, dari tahun 1975, kemiskinan itu hampir tidak pernah dibicarakan. Tidak pernah dibahas, baik dalam seminar maupun di surat-surat kabar. Terkesan pemerintah dan masyarakat tabu bicara soal kemiskinan. Pada periode tahun 1975 sampai 1996 lebih kurang 20 tahun (Repelita II sampai Repelita V). Selama 20 tahun, angka kemiskinan turun drastis. Dari 40% turun menjadi 11%. Dengan angka ini dianggap cukup menjadi pembenaran pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % di tanah air.
Faktor penentu pada krisis moneter pada tahun 1997 dan 1998, angka kemiskinan meningkatkan menjadi 24% dan pada tahun tersebut dengan mudah dijadikan alasan kuat, untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi segala-galanya. Pemerintahpun konsen dengan program penanggulangan kemiskinan.

Program apa yang dilakukan pemerintah waktu itu?

Dalam sejarah Indonesia , program-program untuk menekan kemiskinan kita kenal dengan program IDT (Inpres Desa Tertinggal ) untuk sepertiga desa di Indonesia. Kemudian didukung dan didasarkan atas Inpres Nomor 3 Tahun 1946 dengan pengeluaran dana APBN serta bantuan para konglomerat. Program IDT dan Takesra, dilaksanakan melalui pendekatan kelompok. Sasaran antara 15 sampai 30 kepala keluarga dengan pemberian modal bergulir. Yang pertama, IDT sebagai hibah dan kedua sebagai pinjaman kredit mikro. Kalau kita perhatikan secara baik apakah kita serius untuk melihat kemiskinan itu sebagai persoalan bangsa karena ada dalam UUD 1945.

Bagaimana program itu berjalan?

Nah, di masyarakat luas ada kesan bahwa program-program seperti IDT dan Takesra adalah program ’gagal’. Karena tidak ada lagi dana langsung atau dana segar yang disalurkan kepada penduduk miskin. Dan, sudah ada program penggantinya seperti program pengembangan kecamatan (PPK) . Tetapi di dalam penelitian sebuah LSM membuktikan bahwa program IDT seperti di daerah Kerawangen dan Gunung Kidul telah meningkatkan pendapatan penduduk miskin sebesar 97% selama 8 tahun (1994 - 2002) meskipun dana IDT diberikan sebagai hibah dari pemerintahan pusat kepada 123 ribu poknas seluruh Indonesia. Tetapi di Kerawangen dijadikan model simpan pinjam yang kini telah berkembang menjadi 12,6 %. Dari penelitian ini membuktikan bahwa rakyat atau penduduk miskin tidak pernah memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan.
Dari data tersebut, ada sektor riil yang tidak jalan. Kalau pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bisa menggerakkan sektor rill dari sisi upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, maka saya percaya kemiskinan bisa teratasi dengan baik.

Mengapa program tersebut dikatakan ’gagal’?

Ada pendekatan bagi sebuah kondisi sosial, budaya, ekonomi riil Indonesia yang masih bersifat dualistik yakni perbedaan besar antara sektor modern industrial dan sektor tradisional pedesaan (ekonomi rakyat). Kemudian, pendekatan terhadap responden atau peserta penanggulangan kemiskinan yang kurang tepat sasaran. Saya kira, ini harus didukung dengan langkah program yang langsung menyentuh masyarakat. Contohnya kasus pemberian dana tunai atau bantuan langsung terkait dengan kenaikan BBM.
Bayangkan, rakyat miskin di Indonesia itu umpamanya 100 ribu orang dan ketika kenaikan BBM bisa meningkat menjadi 300 ribu orang, mendadak banyak orang menjadi miskin. Pertanyaannya adalah apakah kita mau memberikan ikan atau kail kepada masyarakat terkait dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai masyarakat miskin? Mestinya kailnya bukan ikannya.
Kalau pemerintah dan DPR memiliki itikad baik dan konsen terhadap upaya menghapus kemiskinan dan melihatnya sebagai suatu persoalan serius, perubahan ke arah lebih baik akan dicapai.

Jika situasi kemiskinan tak berubah, apa yang terjadi di Republik tercinta ini?

Kita bertanya kepada legislatif dan eksekutif, apakah mereka memiliki itikad baik dengan melihat kemiskinan sebagai ancaman terhadap disintegrasi bangsa? Apakah kemiskinan sebagai ancaman dalam situasi kehidupan masyarakat? Jangan disangka kalau wilayah-wilayah yang makin hari makin merasa susah dan tidak merasakan kue pembangunan yang bagus ini tidak akan berteriak. Kalau hidup di Indonesia begini susah, mengapa harus kita pertahankan? Barangkali kita pisah agar hidup dengan baik. Kemiskinan bisa menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Kuncinya, saya kira kita duduk bersama dan bicara dengan jujur terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini. (Pewawancara: Agus Salam)

BIODATA:
Nama : Drs H Ali Mochtar Ngabalin, M.Si
Lahir : Fakfak, 25 Desember 1969
Agama : Islam
Pendidikan :
- Pasca Sarjana Universitas Indonesia , Jurusan Ilmu Komunikasi
- Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Fak. Dakwah
- Muallimin Muhammadiyah, Makassar

Pekerjaan:
- Mubaligh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia , Makassar.
- Pimpinan Pondok Pesantren Darul Fallah, di Palu.
- Direktur Eksekutif Indonesian Network For Crisis (InCR).
- Direktur Eksekutif Adam Malik Center (AMC).
- Dosen Luar Biasa Pasca Sarjana Institut Agama Islam Al Aqidah, Jakarta.
- Direktur Jurnal Sinema (Studi Informasi dan Media), Jakarta.
- Anggota DPR RI 2004-2009

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung