Edi Suhardiman, SE
Kemiskinan merupakan penyakit bangsa yang cukup dilematis dari tahun ke tahun. Bahkan angkanya terus membengkak seiring dengan banyaknya program-program pemerintah yang digulirkan seperti Bantuan langsung Tunai (BLT) ataupun Raskin (beras miskin). Namun semua program itu tidak mampu menurunkan angka kemiskinan.
Program pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan selama ini oleh pemerintah belum benar-benar terarah sehingga tak cukup menjanjikan perbaikan atas kondisi di lapangan. Bahkan Komite Penangulangan Kemiskinan Daerah belum mampu berbuat banyak atas kinerjanya selama ini. Mencermati problema kemiskinan dengan segala persoalan yang dihadapinya, berikut petikan wawancara dengan Koordinator Program SDA LSM Konsepsi NTB, Edi Suhardiman, SE di ruang kerjanya.
Bagaimana kiprah Komite Penangulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) NTB selama ini?
Saya melihat Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) NTB dihadapkan pada persoalan data kemiskinan yang tidak pernah seragam. Selama ini ada dua rujukan data yang bisa diakses yakni data dari Statistik dan data dari Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sementara cakupan data kemiskinan dari dua lembaga ini selalu saja terjadi perbedaan atau tumpang tindih sehingga tak pernah seragam. Perbedaan data yang beragam inilah justru menimbulkan kesimpangsiuran pendataan kemiskinan di tingkat pusat.
Mengapa penanggulangan kemiskinan di daerah belum berhasil?
Ya memang, padahal gerakan penanggulangan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia ini merupakan program yang sudah lama dicanangkan, namun output atau hasil yang diinginkan untuk terjadinya penurunan angka kemiskinan tersebut seolah tidak pernah ada. Apakah sudah pantas kita katakan pemerintah atau tim yang bekerja selama ini untuk penanggulangan kemiskinan gagal dalam mengawal menurunnya angka kemiskinan? Akhirnya yang berani kita katakana adalah penurunan tingkat kemiskinan di masyarakat selama ini belum terlihat hasilnya yang nyata.
Padahal anggaran pengentasan kemiskinan tak sedikit jumlahnya?
Anggaran pengentasan kemiskinan di Indonesia termasuk di NTB sudah banyak dikucurkan melalui berbagai bentuk program yang terkait dengan tujuan itu. Belum lagi dana-dana yang dikucurkan oleh dinas/instansi tertentu ke kelompok sasaran. Sayang, dana kucuran pengentasan kemiskinan dari dinas/instansi tersebut tidak melihat kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Mereka hanya membac up data secara sampling dan acak yang terkadang diperolehnya langsung dari kantor desa/lurah, tanpa harus mengetahui apa sebenarnya kebutuhan riil masyarakat miskin. Karena itu ada pertanyaan yang harus kita jawab dari anekdot masyarakat miskin, ”Kami tahu apa yang kami butuhkan, tapi bapak tidak tahu apa yang seharusnya Bapak lakukan untuk kami?” Pemikiran
seperti inilah yang belum muncul selama ini dari pemerintah maupun lembaga terkait lainnya.
Bagaimana pelaksanaan program BLT dan raskin selama ini?
Saya melihat banyaknya peluncuran dana program untuk masyarakat miskin seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau raskin, hasilnya tidak pernah ada perubahan ke arah yang lebih baik. Justru angka kemiskinan semakin membengkak. Dengan program ini, banyak masyarakat yang mengaku miskin dan mendapatkan bantuan. Orang kayapun kecipratan jadinya kalau sudah seperti ini. Katanya bantuan ini menyentuh masyarakat yang betul-betul miskin. Sementara masyarakat miskin yang memang betul-betul membutuhkannya, tidak sedikit juga yang tidak menikmatinya. Masyarakat membutuhkan keadilan. Keadilan ternyata belum merata. Karena itu program-program semacam ini perlu ditinjau ulang kembali pada masa-masa mendatang. Program BLT, raskin
ini sebetulnya membuat masyarakat menjadi manja dan malas bekerja, karena selalu mengharapkan bantuan serupa tersebut turun kembali. Di samping itu, masyarakat penerima tidak memiliki perencanaan cerdas terhadap penggunaan dana tersebut. Masyarakat miskin hanya berpikir konsumtif apa yang ia harus perlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama menyangkut makanan.
Mengapa pelaksanaan BLT, raskin menuai banyak protes?
Suatu yang ironis, baik BLT maupun Raskin diturunkan untuk menyentuh masyarakat miskin sebagai sasaran, namun dalam implementasinya banyak terjadi penyimpangan dan salah sasaran. Karena itu wajar diprotes. Kenyataan seperti ini merupakan sebuah dilema yang sungguh mengkhawatirkan. Kita percuma saja menggarami air laut yang luas yang memang sudah benar-benar terdapat garamnya. Percumalah saja kita berikan uang, namun 2-3 hari sudah habis apalagi untuk keperluan yang tidak jelas.
Mengapa data kemiskinan di daerah tidak valid?
Memang kita sudah beberapa kali koordinasi dengan pemerintah Provinsi NTB untuk menghasilkan data yang valid dan sebenar-benarnya data dan tidak membutuhkan anggaran yang mahal. Untuk soal yang satu ini tak ada salahnya kita belajar dari pendataan yang dilakukan Pemerintah Wonosobo, Jawa Tengah. Dengan biaya yang diminimalisir dan seteliti mungkin, semua pihak langsung turun ke lapangan secara bersama-sama, baik legislatif maupun eksekutif untuk selanjutnya dijadikan Perda. Namun sebaliknya kita di NTB ini, hanya pandai beretorika, berwacana saja untuk mengatasi kemiskinan ini.
Apa yang perlu diterapkan untuk menanggulangi kemiskinan ini?
Dan satu hal yang perlu dikembangkan dan sebaiknya diterapkan adalah bagaimana membuat perencanaan terhadap Analisa Kemiskinan Partisipatif (AKP) untuk mendapatkan data sebenarnya. Jadi tim AKP ini sendiri bisa mengetahui secara lebih transparan siapa-siapa yang sebenarnya dikatakan miskin dan siapa yang tergolong kaya. Sementara yang terjadi antara data kemiskinan yang dikantongi BKKBN, Dinas Kesehatan maupun Statistik saling berbenturan. Kita sebaiknya dalam hal ini menyerahkannya ke masyarakat setempat.
Benarkah negara sudah menunjukkan kepedulian terhadap masalah kemiskinan?
Kepedulian negara dengan konsepnya selama ini terhadap pengentasan kemiskinan saya rasa cukup baik, hanya perlu dibenahi mekanisme atau sistem pelaksanaan pada tingkat implementasinya di lapangan. Dengan pemberian BLT atau raskin masyarakat menilai dirinya sudah kaya. Namun penilaian seperti itu tidaklah demikian. Masyarakat sendiri belum siap menerima dalam bentuk sumbangan atau bantuan yang pada akhirnya tidak diketahui penggunaannya untuk apa.
Jadi perlu mekanisme yang tepat?
Harus ada perubahan mendasar terhadap mekanisme
pengentasan kemiskinan. Karena dari 33 propinsi di Indonesia, ternyata IPM NTB sangat rendah. Ada beberapa hal yang perlu dibenahi di antaranya pendidikan formal untuk penguatan sumber daya manusia seperti pelatihan-pelatihan atau kurus pada masa yang akan datang. Selain itu sisi ekonomi menjadi tolok ukur yang juga sangat penting dan perlu dibenahi. Dana yang dikucurkan, misalnya harus tepat sasaran dan siap pula penerimanya dengan sumberdaya manusia yang cerdas.
Apa masukan dan saran Anda?
Saya ingin memberikan masukan ke pemerintah terhadap penanggulangan kemiskinan ini. Contoh, dalam satu desa banyak sekali proyek penanggulangan kemiskinan yang masuk. Bisa 1-6 program dengan pola dan cara yang berbeda-beda. Cara seperti ini yang membuat masyarakat menjadi malas, manja dan tentunya tidak mendidik. Sebenarnya pola yang ingin kita terapkan adalah pola partisipatif. Masyarakat ikut berpartisipasi atau berinisiatif untuk mengatasi kemiskinannya. Demikian juga data harus betul-betul diperoleh dari masyarakat. Selain itu mekanisme juga perlu diubah. Misalnya jika ada dana pengentasan kemiskinan harus betul-betul dikaji terlebih dahulu apakah pola ini baik untuk dikembangkan atau sebaliknya sia-sia belaka. Jadi program haruslah lebih partisipatif bagi masyarakat. Kalau data kemiskinan betul-betul valid kita tentu akan tahu kebutuhan masyarakat itu sendiri dari bawah.
Kemiskinan hendaknya dilihat dari beberapa aspek Di antaranya, pendidikan, perekonomian dan sosbud. Kemiskinan bisa didapat dari masyarakat setempat artinya data partisipatif. Pemerintah selama ini tidak menerapkan Angka Kemiskinan Partisipatif. Pemerintah sendiri harus langsung turun ke lokasi untuk mendapatkan apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat miskin itu sendiri. Jika ada yang kurang perlu dibenahi lagi. (Pewawancara: Hernawardi)
BIODATA:
Nama : Edy Suhardiman, SE
TTL : Selong, Lombok Timur, 2 Januari 1973
Pendidikan : S1 Akuntansi Yogyakarta
Pengalaman :
PPL LP3S 1999-2001
Tim Pokja IV KPKD NTB
Konsultan Keuangan Mitra Bank Indonesia
Koordinator Program Sumberdaya Alam LSM Konsepsi NTB.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar