OLEH: WURI WIGUNANINGSIH
Hampir setiap kota di Indonesia memiliki daerah yang disebut Pecinaan karena banyak dihuni warga keturunan Cina. Di Surabaya, Kembang Jepun sudah lama dikenal sebagai kawasan Pecinaan terbesar. Kini, kawasan tersebut lebih terkenal dengan sebutan Kya-Kya, yang juga menjadi kawasan tertua di jantung kota Surabaya.
Eksistensi nama wilayah ini bahkan setua kota Surabaya. Jejak-jejak itu bisa terekam kental dalam guratan sejarah kawasan Kembang Jepun. Jangan heran bila nama kawasan tersebut dikenal luas hingga luar negeri dan betul dicatat dalam memori mayoritas warga kota Surabaya.
Pada jaman penjajahan, Belanda membagi kawasan Surabaya menjadi 3 bagian besar dengan pembagi utama Jl Kembang Jepun dan Kalimas. Sungai Kalimas membagi kawasan yang dihuni orang-orang Eropa (didominasi orang Belanda) dan orang-orang Asia. Lalu kawasan Timur Kalimas dibagi atas kawasan utara dengan penghuni suku bangsa Arab dan Melayu. Kawasan Selatan dihuni warga Tionghoa.
Pembatas kawasan ini adalah Jalan Kembang Jepun yang saat itu diberi nama Handelstreat. Handel artinya perdagangan dan Straat berarti jalan. Perdagangan sudah menjadi nafas kehidupan jalan yang di masa sekarang masih tetap dilabeli Pemkot Surabaya sebagai Central Business Distrik I (CBD).
Bangsa Jepang memiliki andil besar menjadikan Kembang Jepun sangat fenomenal. Konon, kawasan ini adalah dunia gemerlapan (dugem) yang sangat tersohor. Pada jaman Jepang, kawasan ini menjadi tempat kongkow para serdadu. Dengan kembang-kembang (kembang atau bunga sebagai konotasi gadis-gadis) yang setia menghibur serdadu-serdadu dan penguasa Jepang, yang lazim disebut Jepun.
Kya-Kya Kembang Jepun adalah sebuah kawasan (tepatnya sebuah jalan) sejauh 750 meter dengan lebar 20 meter. Kawasan kota lama yang saat siang hari padat dengan perdagangan berskala grosir dan barometer perdagangan di kawasan Timur Indonesia (Katimin), semacam wallstreet di Amerika. Malam hari, dipenuhi seratus lebih pedagang makanan dan minuman, cinderamata dan peramal, hiburan seni budaya bahkan olah raga (tayangan dan langsung, seperti pertandingan tinju), menjadi tempat jalan kaki terpanjang dan teraman di Surabaya (walkstreet) yang kental bernuansa Tiongkok.
Saat ini, Jalan Kembang Jepun kembali mendunia ketika fasilitas yang bertajuk Kya-Kya Kembang Jepun telah menjadi ikon baru kota Surabaya. Pusat Kya-Kya Kembang Jepun Surabaya memang bukan sekedar pusat makanan dan minuman biasa. Daerah ini dikenal mempunyai karakter Pecinaan yang sudah dibangun ratusan abad lalu. Perannya yang kental sebagai pusat perdagangan dari jaman ke jaman menancapkan cengkraman kuat pada bumi utara Surabaya. Kekuatan itulah yang memang digugah kembali melalui sosok Kya-kya Kembang Jepun.
Wajah Pecinaan yang khas telah menjadi the spirit of place yang tidak bisa dan tidak mungkin dipungkiri. Bangunan di sekitar sisi Selatan Jalan Kembang Jepun masih menyisakan tanda bahwa pengaruh budaya Tiongkok sangat dominan di sana. Bahkan masih ditemukan bumbungan (ujung nok) yang bermahkota sepasang kepala naga. Beberapa bangunan di pelosok kampung sekitar kawasan Kembang Jepun cukup silau kolonial dan berwajah tiongkok. Ciri khas yang kuat dari sentra makanan dan minuman juga diperkuat nama yang disandang. Kya-Kya secara denotatif artinya jalan-jalan. Berasal dari bahasa Hok-Kian, dialek dari kawasan Selatan Tiongkok.
Hanya selama dua minggu untuk diskusi dan tiga minggu untuk pelaksanaan, Kya-Kya Kembang Jepun diwujudkan. Peringatan HUT ke-710 kota Surabaya, 31 Mei 2003 diambil sebagai momentum sangat tepat dan strategis untuk menyerahkan sumbangsih warga kepada kota tercinta.
Jalan Satu-Satunya
Di Indonesia, warga keturunan Cina selalu identik dengan profesi pengusaha daripada pekerja kantoran apalagi PNS. Pemicunya, konon, tidak adanya kesempatan bagi mereka untuk menjadi seorang pegawai pemerintahan. Potret diskriminasi antara kaum keturunan dan pribumi lebih tercitra pada era orde baru. Hal itulah yang memacu dan memaksa warga Tionghoa bangkit memiliki lahan hidup sebagai pedagang.
Irwan Haryanto, yang membuka gerai telepon seluler di WTC (Word Trade Center) Surabaya, jelas menjadi salah seorang warga keturunan yang mengakui potret buram diskriminasi di bumi pertiwi RI. Hanya, Irwan masih beruntung terlahir di tengah keluarga pengusaha sehingga wajar bila bungsu dari delapan bersaudara ini matang menjalankan usaha dagang. Lika-liku perdagangan sudah didapat sejak usia 20 tahun. ‘’Jaman dulu, sangat sulit bagi kita orang keturunan untuk mendapatkan pekerjaan pegawai negeri dan militer. Satu-satunya jalan ya menjadi pedagang,’’ ucap Irwan dengan mata menerawang jauh.
Ketika memilih jalan hidup sebagai pedagang, satu pilihan yang harus dijalankan yaitu harus ulet, bekerja keras dan tanpa mengenal menyerah. Satu lagi, harus pandai membaca kebutuhan pasar. Dengan berdagang, sesungguhnya warga keturunan dapat menunjukkan kepada negara dan masyarakat, bahwa mereka bekerja keras. Konsekwensi seorang pekerja keras, kalau berhasil, ya sukses, tapi kalau tidak berhasil, hancur. Awal usaha dimulai dengan membuka usaha nomor perdana kartu seluler di rumah. Insting bisnis pria kelahiran 1964 ini mulai berkembang seiring meningkatnya permintaan kebutuhan telekomunikasi seluler.
Saat melihat pasar makin besar, tahun 2003 diputuskan untuk membuka gerai HP di pusat penjualan HP terbesar di Surabaya, WTC. Di situ tantangan pertama adalah persaingan retail sejenis yang memenuhi sudut-sudut gedung. Namun dari jiwa bisnis yang dimiliki, banyak pesaing bukan menyurutkan semangat tetapi menjadi pemacu untuk kerja keras demi menjadi yang terbaik. Langkah awal yang dilakukan, mengerucutkan segmentasi usaha.
‘’Saya hanya menjual produk baru yaitu jenis CDMA. Keputusan ini terbilang sangat berani apalagi tiga tahun lalu permintaan HP CDMA masih sangat sedikit. Menganalisa keadaan pasar dan terus memantau pergerakan harga HP serta penetrasi dari operator seluler wajib dilakukan. Akhirnya saya putuskan lari ke CDMA. Keputusan tahun silam itu tidak salah, karena saat ini permintaan HP CDMA cukup cerah, dan bahkan sampai dua kali lipat per tahun,’’ buka Irwan.
Mengenai dominasi warga keturunan di bidang perdagangan, Irwan merasa dirinya tidak lebih. Bahkan dari kesetaraan warga negara tidak ada yang berbeda, dirinya maupun pengusaha lain. Mungkin di jaman dulu, saat isu rasisme gencar disuarakan kondisinya berbeda. Tapi saat ini perbedaan itu sudah tidak ada. Begitu juga dengan relasi bisnis. Sama sekali tidak melihat perbedaan kulit namun yang penting adalah kemampuan personal bekerja sama.
Tanpa kerja keras tidak ada yang berhasil dan itu berlaku bagi siapa saja dan dari kalangan mana saja, tegas pemilik Apollo CDMA ini. Falsafah yang diemban menempatkan retail miliknya tersebar di Jatim dengan 20 outlet yang ditabur selama tiga tahun. Kerja sama saling menguntungkan dibalut kepercayaan jadi modal utama untuk bisa berkembang.
Hampir setiap kota di Indonesia memiliki daerah yang disebut Pecinaan karena banyak dihuni warga keturunan Cina. Di Surabaya, Kembang Jepun sudah lama dikenal sebagai kawasan Pecinaan terbesar. Kini, kawasan tersebut lebih terkenal dengan sebutan Kya-Kya, yang juga menjadi kawasan tertua di jantung kota Surabaya.
Eksistensi nama wilayah ini bahkan setua kota Surabaya. Jejak-jejak itu bisa terekam kental dalam guratan sejarah kawasan Kembang Jepun. Jangan heran bila nama kawasan tersebut dikenal luas hingga luar negeri dan betul dicatat dalam memori mayoritas warga kota Surabaya.
Pada jaman penjajahan, Belanda membagi kawasan Surabaya menjadi 3 bagian besar dengan pembagi utama Jl Kembang Jepun dan Kalimas. Sungai Kalimas membagi kawasan yang dihuni orang-orang Eropa (didominasi orang Belanda) dan orang-orang Asia. Lalu kawasan Timur Kalimas dibagi atas kawasan utara dengan penghuni suku bangsa Arab dan Melayu. Kawasan Selatan dihuni warga Tionghoa.
Pembatas kawasan ini adalah Jalan Kembang Jepun yang saat itu diberi nama Handelstreat. Handel artinya perdagangan dan Straat berarti jalan. Perdagangan sudah menjadi nafas kehidupan jalan yang di masa sekarang masih tetap dilabeli Pemkot Surabaya sebagai Central Business Distrik I (CBD).
Bangsa Jepang memiliki andil besar menjadikan Kembang Jepun sangat fenomenal. Konon, kawasan ini adalah dunia gemerlapan (dugem) yang sangat tersohor. Pada jaman Jepang, kawasan ini menjadi tempat kongkow para serdadu. Dengan kembang-kembang (kembang atau bunga sebagai konotasi gadis-gadis) yang setia menghibur serdadu-serdadu dan penguasa Jepang, yang lazim disebut Jepun.
Kya-Kya Kembang Jepun adalah sebuah kawasan (tepatnya sebuah jalan) sejauh 750 meter dengan lebar 20 meter. Kawasan kota lama yang saat siang hari padat dengan perdagangan berskala grosir dan barometer perdagangan di kawasan Timur Indonesia (Katimin), semacam wallstreet di Amerika. Malam hari, dipenuhi seratus lebih pedagang makanan dan minuman, cinderamata dan peramal, hiburan seni budaya bahkan olah raga (tayangan dan langsung, seperti pertandingan tinju), menjadi tempat jalan kaki terpanjang dan teraman di Surabaya (walkstreet) yang kental bernuansa Tiongkok.
Saat ini, Jalan Kembang Jepun kembali mendunia ketika fasilitas yang bertajuk Kya-Kya Kembang Jepun telah menjadi ikon baru kota Surabaya. Pusat Kya-Kya Kembang Jepun Surabaya memang bukan sekedar pusat makanan dan minuman biasa. Daerah ini dikenal mempunyai karakter Pecinaan yang sudah dibangun ratusan abad lalu. Perannya yang kental sebagai pusat perdagangan dari jaman ke jaman menancapkan cengkraman kuat pada bumi utara Surabaya. Kekuatan itulah yang memang digugah kembali melalui sosok Kya-kya Kembang Jepun.
Wajah Pecinaan yang khas telah menjadi the spirit of place yang tidak bisa dan tidak mungkin dipungkiri. Bangunan di sekitar sisi Selatan Jalan Kembang Jepun masih menyisakan tanda bahwa pengaruh budaya Tiongkok sangat dominan di sana. Bahkan masih ditemukan bumbungan (ujung nok) yang bermahkota sepasang kepala naga. Beberapa bangunan di pelosok kampung sekitar kawasan Kembang Jepun cukup silau kolonial dan berwajah tiongkok. Ciri khas yang kuat dari sentra makanan dan minuman juga diperkuat nama yang disandang. Kya-Kya secara denotatif artinya jalan-jalan. Berasal dari bahasa Hok-Kian, dialek dari kawasan Selatan Tiongkok.
Hanya selama dua minggu untuk diskusi dan tiga minggu untuk pelaksanaan, Kya-Kya Kembang Jepun diwujudkan. Peringatan HUT ke-710 kota Surabaya, 31 Mei 2003 diambil sebagai momentum sangat tepat dan strategis untuk menyerahkan sumbangsih warga kepada kota tercinta.
Jalan Satu-Satunya
Di Indonesia, warga keturunan Cina selalu identik dengan profesi pengusaha daripada pekerja kantoran apalagi PNS. Pemicunya, konon, tidak adanya kesempatan bagi mereka untuk menjadi seorang pegawai pemerintahan. Potret diskriminasi antara kaum keturunan dan pribumi lebih tercitra pada era orde baru. Hal itulah yang memacu dan memaksa warga Tionghoa bangkit memiliki lahan hidup sebagai pedagang.
Irwan Haryanto, yang membuka gerai telepon seluler di WTC (Word Trade Center) Surabaya, jelas menjadi salah seorang warga keturunan yang mengakui potret buram diskriminasi di bumi pertiwi RI. Hanya, Irwan masih beruntung terlahir di tengah keluarga pengusaha sehingga wajar bila bungsu dari delapan bersaudara ini matang menjalankan usaha dagang. Lika-liku perdagangan sudah didapat sejak usia 20 tahun. ‘’Jaman dulu, sangat sulit bagi kita orang keturunan untuk mendapatkan pekerjaan pegawai negeri dan militer. Satu-satunya jalan ya menjadi pedagang,’’ ucap Irwan dengan mata menerawang jauh.
Ketika memilih jalan hidup sebagai pedagang, satu pilihan yang harus dijalankan yaitu harus ulet, bekerja keras dan tanpa mengenal menyerah. Satu lagi, harus pandai membaca kebutuhan pasar. Dengan berdagang, sesungguhnya warga keturunan dapat menunjukkan kepada negara dan masyarakat, bahwa mereka bekerja keras. Konsekwensi seorang pekerja keras, kalau berhasil, ya sukses, tapi kalau tidak berhasil, hancur. Awal usaha dimulai dengan membuka usaha nomor perdana kartu seluler di rumah. Insting bisnis pria kelahiran 1964 ini mulai berkembang seiring meningkatnya permintaan kebutuhan telekomunikasi seluler.
Saat melihat pasar makin besar, tahun 2003 diputuskan untuk membuka gerai HP di pusat penjualan HP terbesar di Surabaya, WTC. Di situ tantangan pertama adalah persaingan retail sejenis yang memenuhi sudut-sudut gedung. Namun dari jiwa bisnis yang dimiliki, banyak pesaing bukan menyurutkan semangat tetapi menjadi pemacu untuk kerja keras demi menjadi yang terbaik. Langkah awal yang dilakukan, mengerucutkan segmentasi usaha.
‘’Saya hanya menjual produk baru yaitu jenis CDMA. Keputusan ini terbilang sangat berani apalagi tiga tahun lalu permintaan HP CDMA masih sangat sedikit. Menganalisa keadaan pasar dan terus memantau pergerakan harga HP serta penetrasi dari operator seluler wajib dilakukan. Akhirnya saya putuskan lari ke CDMA. Keputusan tahun silam itu tidak salah, karena saat ini permintaan HP CDMA cukup cerah, dan bahkan sampai dua kali lipat per tahun,’’ buka Irwan.
Mengenai dominasi warga keturunan di bidang perdagangan, Irwan merasa dirinya tidak lebih. Bahkan dari kesetaraan warga negara tidak ada yang berbeda, dirinya maupun pengusaha lain. Mungkin di jaman dulu, saat isu rasisme gencar disuarakan kondisinya berbeda. Tapi saat ini perbedaan itu sudah tidak ada. Begitu juga dengan relasi bisnis. Sama sekali tidak melihat perbedaan kulit namun yang penting adalah kemampuan personal bekerja sama.
Tanpa kerja keras tidak ada yang berhasil dan itu berlaku bagi siapa saja dan dari kalangan mana saja, tegas pemilik Apollo CDMA ini. Falsafah yang diemban menempatkan retail miliknya tersebar di Jatim dengan 20 outlet yang ditabur selama tiga tahun. Kerja sama saling menguntungkan dibalut kepercayaan jadi modal utama untuk bisa berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar