OLEH: AGUS SALAM & DIDIK PURWANTO
Peminat vegetarian terus mengalami pertumbuhan di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, perkumpulan dan komunitas vegetarian terus berkembang di berbagai kota dan daerah. Pada Agustus 1998, terbentuk Keluarga Vegetarian Maitreya Indonesia (KVMI) sebagai wadah kaum vegetarian untuk saling tukar informasi dan pengalaman. Hingga Oktober 2006, KVMI sudah memiliki cabang di 35 kota. Untuk menghindari kesan eksklusif KVMI (baca: kaum buddhis), diubah namanya jadi Indonesia Vegetarian Society (IVS) agar lebih mudah diterima di fora internasional dan semua kalangan di Indonesia. Kini, Drs Susianto menjadi Ketua Operasional IVS Pusat plus Koordinator Regional Internasional Vegetarian Union (IVU) wilayah East/Southeast Asia & Oceania dengan cabang di 120 negara termasuk Indonesia.
Sebelum tahun 1847, mereka yang tidak makan daging secara umum dikenal sebagai Pythagorean atau mengikuti Sistem Pythagorean sesuai Pythagoras vegetarian dari Yunani kuno. Aliran ini sudah dipraktekkan di India sejak 2000 tahun SM sebagai bagian ritual agama Hindu. Hingga kini, mayoritas pengikut aliran vegetarian didasarkan alasan keagamaan. Selain Budha, agama yang juga mengajarkan vegetarianisme adalah Hindu, Taoisme, Baha’i, Sikh dan Jainisme.
Secara etimologis, vegetarian berasal dari bahasa Latin: vegetus, yang berarti keseluruhan, sehat, segar, hidup. Pertama kali, istilah vegetarian diperkenalkan Joseph Brotherton, pada 30 September 1847 di Northwood Villa, Kent, Inggris, yang saat itu ditandai dengan pengukuhan Vegetarian Society Inggris.
Perkembangan vegetarian kian pesat di berbagai belahan dunia dan membias jadi sebuah gaya hidup hingga merebak sampai Indonesia. Banyak orang jadi penganut vegetarian karena dorongan kesehatan. Itulah yang melatarbelakangi munculnya peluang bisnis makanan berbasis vegetarian. Di Denpasar dan Badung, misalnya ada puluhan rumah makan vegetarian. Bahkan, wisatawan asing kini buru makanan slow food yang serba alami, herbal dan tradisional.
Ada ekspatriat yang menanam modal di bisnis vegetarian. Liat Solomon, wanita asal Israel yang memiliki komunitas yoga Down To The Earth sudah empat tahun menjalankan Zula Vegetarian Paradise di Jl Dyana Pura 5 Seminyak. Jaringan usahanya meliputi Hotel Oberoi Seminyak yang melayani pelanggan hingga Ubud. “Kebetulan pemiliknya suka berbau tradisional termasuk ramuan Pak Oles ini,” ujar Ketut, selaku manajer sembari menunjukkan Minyak Oles Bokashi.
Begitu pula Aroma’s Café, sekitar 500 meter utara Ground Zero (pusat bom Bali I) di Jl Legian Kuta. Wayan Yustiana, selaku accounting restoran yang berdiri sejak November 1990 itu mengakui, orang tuanya, Ketut Nugra sudah menjalin kerja sama dengan Michelle Steven asal Australia untuk mendirikan usaha makanan vegetarian. Namun Michelle harus pindah ke Amerika sejak bom Bali I. “Karena tanah ini merupakan tanah ayah saya, maka usaha ini terus saya kelola sampai sekarang,”ujarnya.
Berbeda dengan Made Sutrayata, pemilik Colonial Living di Jl Kunti II/67 Seminyak. Usaha itu muncul dari Minako, wisatawan Jepang yang tak lain istrinya sendiri. “Karena istri penganut vegetarian maka saya serahkan semua urusan restoran ke dia. Saya cuma mengurus handycraft dan toko bunga segar,” ujarnya.
Karena pemiliknya warga asing maka mayoritas menu berbau asing. Zula Restoran menyuguhkan menu khas Timur Tengah dan India. Sedangkan Aroma’s Café khas Mexico, meski pemiliknya warga Australia. Begitu pula Colonial Living yang coba menawarkan aroma khas negeri Matahari Terbit, Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar