Jumat

Iklan Dan Perempuan

SOROT

Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*

Pada 8 Maret ini, dunia memperingati International Womwn Day (IWD). Hari itu, gerakan-gerakan demokrasi, perempuan dan massa rakyat merayakan dengan berbagai cara seperti pawai dan melakukan tuntutan hak-hak perempuan yang hingga kini masih termarginalkan. Perempuan masih menjadi korban terparah dalam sistem neoliberalisme pasar bebas. Penindasan terhadap perempuan sifatnya bukan hanya yang dapat terlihat oleh mata seperti, upah buruh perempuan yang rendah, atau pendidikan dan kesehatan yang terlalaikan negara, namun lebih dari itu aksi-aksi penindasan terhadap perempuan justru lebih menyentuh ke kesadaran mereka. Melalui wacana dan tontonan, mereka telah terinjeksi virus-virus yang mematikan kreatifitas, produktifitas, kepercayaan diri bahkan potensi kecerdasan perempuan sebagai manusia seutuhnya.

Iklan adalah media promosi produk tertentu, dengan tujuan produk yang ditawarkan terjual laris. Untuk itu iklan dibuat semenarik mungkin, sehingga terkadang dapat dinilai terlalu berlebihan, serta mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, dan estetika penonton atau sasaran produk yang diiklankan.

Eksploitasi perempuan dalam iklan teridentifikasi melalui wacana seksual yang diekspos secara vulgar dalam iklan, tubuh perempuan dipertontonkan secara erotisme dan eksotis. Memang tidak dapat disangkal, secara mendasar yang membutuhkan produk-produk adalah tubuh, untuk bertahan dan beraktivitas. Pada dasarnya tubuh membutuhkan produk-produk fungsional untuk bekerja dan bertahan, misalnya konsumsi makanan untuk beraktivitas, konsumsi obat untuk penyembuhan. Namun pada era pasar bebas, kaum penumpuk modal bukan hanya mengembangkan pembuatan produk, tetapi juga mengontrol kesadaran massa tentang tubuh melalui pencitraan tubuh ideal lewat berbagai media, dan antara lain via propaganda iklan.

Sayangnya, perempuan dalam iklan dijadikan alat memasarkan produk, tubuhnya dieksploitasi untuk mengumbar definisi cantik versi standardisasi pasar dengan cara memamerkan rambut yang lurus dalam iklan shampo dan obat pelurus rambut, kulit wajah yang mulus dalam iklan obat kecantikan, payudara besar dalam iklan obat pembesar payudara, perut langsing dalam iklan pelangsing perut, betis indah dan tubuh yang ramping dalam iklan obat diet, kulit putih dalam iklan obat pemutih.

Eksploitasi tubuh perempuan dengan memamerkan tubuh sesuai kontrol pemodal telah menghadirkan sosok perempuan yang teralienasi. Hal tersebut karena mereka memasarkan produk (yang sebenarnya asing bagi dirinya) demi mendapatkan bayaran semata. Perempuan dalam posisi sebagai alat yang dimanfaatkan dalam mobilisasi politik kepentingan kaum borjuasi.

Maraknya iklan produk untuk perempuam mengakibatkan banyaknya perempuan sebagai korban iklan. Karena iklan adalah media penyebarluasan produk yang mampu menjangkau seluruh komunitas luas yang memungkinkan terciptanya kondisi masyarakat dengan citra dan estetika konsumtif yang sangat kondusif dan permisif bagi kelangsungan sistem kapitalis. Di sini, perempuan mengonsumsi produk-produk yang diiklankan bukan berdasarkan sisi fungsional tapi kesadaran palsu tentang ideologi tubuh, norma keindahan tubuh baik bentuk, ukuran, warna maupun bau.

Selain soal esksploitasi tubuh perempuan, ketidakadilan jender berlabel. Untuk menjadi ibu yang baik mempersempit peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Seakan perempuan hanya sebagai pelayan suami, merawat anak dan pekerja di wilayah domestik. Artinya, peran perempuan yang dibangun iklan belum beranjak dari konstruksi sosial yang tidak adil dan tetap dalam kultur patriarkhis. Dalam iklan, perempuan dominan dipertontonkan dalam aktivitas kerja domestik. Misalnya, perempuan sedang memasak dalam iklan bumbu dapur dan mie instan, perempuan sedang mencuci dalam iklan sabun cuci, perempuan sedang mengasuh anak dalam iklan susu dan pasta gigi, dan seterusnya. Secara implisit, iklan-iklan tersebut kian memupuk dan mengekalkan diskriminasi peran perempuan berdasarkan jenis kelamin.

Iklan memang digunakan sebagai alat propaganda untuk memasarkan produk guna mendapatkan keuntungan, karena menurut logika sistem kapitalisme, produk adalah komoditas yang dapat dipertukarkan dengan uang. Produk (barang dan jasa) bukan lagi hasil dari kreativitas sebagai ekspresi artistik kecerdasan manusia, tetapi demi dijual dan dipertukarkan secara ekonomis. Akhirnya kualitas dan keindahan produk ditentukan oleh nilai uang bukan berdasar kegunaannya.

Manusia yang menciptakan produk akhirnya terasing dari ciptaannya sendiri karena dia menciptakan produk berdasar orientasi ekonomi bukan aktivitas dalam proses kretivitas. Dapat dipastikan produk-produk yang dihasilkan adalah produk instan, yang digemari sepanjang diklankan dan dibentuk melalui wacana-wacana kapitalisme yang menarik dengan cara menebarkan rangsangan-rangsangan kebutuhan seksual dan kesenangan tubuh-jiwa menggunakan perempuan sebagai perangkat pemasaran dimana perempuan jarang sekali ditampilkan sebagai subyek yang aktif dalam kapasitas pribadinya yang elok secara manusiawi (inner beauty).

Dehumanisasi produk yang menempatkan suatu produk dikatakan berkualitas berdasar nilai ekonomis menjadi penyebab terdehumanisasinya hubungan antar manusia. Manusia memperalat dan mengeksploitasi satu sama lain. Dalam hal ini hidup sedang disangkal, karena kerja yang seharusnya menjadi ekspresi dan kreatifitas kemakhlukan, menjadi kerja yang terpaksa, untuk mendapatkan upah, untuk sekedar dapat bertahan hidup.

Kini kita semakin irrasional dan dikendalikan oleh nafsu, eksploitasi pekerja dalam aktivitasnya memproduksi barang akan terus ada, eksploitasi perempuan dalam iklan yang diposisikan sebagai alat dan sasaran pemasaran produk-produk kaum pemodal semakin subur. Melalui teror-teror iklan yang menciptakan kebutuhan semu, maka mengkonsumsi pada hakekatnya merupakan kepuasan fantasi yang dirangsang secara artifisial, suatu bentuk fantasi yang teralienasi dari diri manusia yang konkrit.

Berdasarkan uraian diatas, untuk mengatasi pengeksploitasian perempuan dalam iklan dan segala bentuk penindasan yang ada dalam sistem perdagangan liberal-kapitalistik adalah mengontrol kerakusan pasar dan mengembalikan keadilan ekonomi di tangan rakyat dengan memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang membela kaum perempuan.

*) Mahasiswi Sosiologi FISIP Universitas Jember; aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial).

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung