Rabu

HaKI Masih Berdasarkan Kebutuhan

Ria Setyawati SH
Aksi pembajakan di Indonesia, kian merajalela. Bahkan hak kekayaan intelektuan (HaKI) pun sudah tidak diperdulikan lagi oleh masyarakat. Salah satu di antaranya adalah royalti yang seharusnya didapat oleh pemegang hak cipta, karena hasil karyanya. Seperti sebuah lagu yang dikumandangkan di radio, dinyanyikan di hotel berbintang atau pertunjukan umum, seharusnya pemilik hak ciptanya mendapat royalti. Tapi sayang, di Indonesia sendiri peraturan tersebut tidak diindahkan oleh pelaku seni. Padahal di negara yang konon dikenal gemah ripah loh jinawi ini sesungguhnya sudah mengatur tentang royalti bagi penyanyi aslinya. Hanya karena pelaksana di lapangan belum jelas, tentang siapa yang memungut royalti, mengakibatkan si pemilik hak cipta terkadang mendapatkan hasil paling terakhir dan sedikit. Tentu saja bila dibandingkan para pembajak atau mereka yang mengumandangkan lagu-lagu yang telah dikumandangkan penyanyi aslinya. Sejauh mana kesadaran sekaligus pelaksanaan HaKI di Indonesia dan bagaimana perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap para pemegang HaKI? Berikut wawancara dengan salah satu pelaksana harian UPT Sentra HaKI Universitas Airlanga (Unair), Ria Setyawati SH.

Bagaimana sesungguhnya kesadaran HaKI di Indonesia dan bagaimana perlindungan hukum yang diberikan pemerintah terhadap pemegang HaKI itu sendiri?

Kesadaran HaKI di Indonesia masih sangat kurang. Ya, bisa dikatakan mereka mengurus HaKI karena sebuah kebutuhan. Bahkan banyak dari mereka yang mengurus HaKI setelah terganjal kasus atau dia dirugikan oleh pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Diakui, untuk mendapatkan HaKI selain membutuhkan waktu lama, juga biaya yang besar. Bahkan banyak dari mereka yang memperhitungkan sisi ekonomisnya dibandingkan perlindungan hukumnya. Misalnya, sebuah produk dijual terlebih dahulu. Nanti kalau sudah dikenal baru diurus HaKInya. HaKI sendiri sesungguhnya terdiri dari banyak bagian. Ada hak paten, hak cipta, hak indikasi geografis dan masih banyak lagi macamnya. Memang tidak mudah persayaratan untuk mendapatkan HaKI. Salah satu di antaranya adalah untuk mendapatkan hak paten, produk tersebut harus diumumkan pada khalayak umum selama 9 bulan. Selain itu juga harus ada terobosan teknologi terbaru. Dan masih banyak persyaratan yang harus dipenuhi mereka yang mengajukan HaKI.

Apakah mengumandangkan lagu-lagu di radio atau TV termasuk melanggar HaKI?

Wah kalau yang itu sedikit beda kasusnya. Lagu termasuk dalam hak cipta. Hak cipta sendiri terdiri dari beberapa macam hak. Di antaranya hak terkait, hak copy, hak performan dan masih banyak lagi hak lainnya. Terkadang antara si pemilik lagu telah melakukan kontrak dengan pihak-pihak tertentu untuk dikumandangkan selama waktu tertentu. Biasanya ini dilakukan di TV atau radio sebagai media promosi. Dalam kontrak tersebut biasanya tertulis, jika tetap menanyangkan atau mengumandangkan melebihi batas waktu yang telah ditentukan, si media elektronik tersebut wajib membayar royalti pada si pemilik lagu atau pemilik hak cipta.

Bagaimana dengan lagu-lagu yang dinyanyikan di hotel berbintang, panggung-panggung terbuka atau kafe? Apakah mereka tidak melanggar HaKI, mengingat tidak ada kontrak resmi di antara keduanya.

Di Indonesia, sesungguhnya sudah diatur berapa royalti yang harus dibayar jika lagu-lagu tersebut dinyanyikan di hotel berbintang, kafe atau panggung-panggung terbuka. Tapi permasalahan di negara kita, tidak ada pihak atau lembaga resmi yang bertugas mengawasi serta memungut royalti di setiap tempat-tempat hiburan tersebut. Beda dengan di luar negeri yang pelaksanaan HaKI nya sudah bagus. Salah satu di antaranya adalah di Australia. Peraturan tentang royalti yang harus dipungut dari masing-masing tempat hiburan tersebut diatur oleh pemerintah federal. Bahkan pemerintah federal pula yang bertugas memungutnya. Kesejahteraan dari si pemilik hak cipta ini benar-benar dilindungi oleh pemerintah federal. Sehingga si pemilik hak cipta tentu lebih sejahtera dibandingkan mereka yang menyanyikan ulang. Tapi berbeda dengan di Indonesia. Si pemilik hak cipta terkadang hidupnya lebih tidak sejahterah dibandingkan yang membajak atau menirukan lagu-lagu mereka.

Bagaima sesungguhnya batasan seseorang dianggap melanggar HaKI?

Batasan resminya adalah jika mengambil keuntungan dari karya orang lain. Jika menyanyikan lagu orang lain jelas mengambil keuntungan dari karya orang lain. Tapi sekali lagi, pengawasan di Indonesia masih sangat kurang dan kesadaran masyarakat untuk mematuhi atau tidak melanggar HaKI masih sangat rendah. Mereka akan mempersoalkan jika memang benar-benar telah merugikan si pemilik hak cipta dalam jumlah besar. Misalnya yang menirukan lagu tersebut lebih populer dan penghasilannya lebih banyak dibandingkan dari penyanyi aslinya.

Apakah mereka yang melanggar HaKI telah ditindak secara hukum yang sesungguhnya?

Kita akui bersama, untuk pembuktian sebuah kasus pelanggaran HaKI itu membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Bagi terdakwa, selain mendapat tuduhan pidana juga perdata. Kalau perdata jelas membayar kerugian dalam bentuk materi, sedangkan untuk pidana, si pelaku harus dimasukkan dalam kurungan penjara. Barapa lama dan berapa banyak dendanya, semua tergantung kesalahan serta pelanggarannya. Untuk di Indonesia sendiri sepengetahuan saya belum ada yang diperkarakan di meja hijau sampai harus membayar denda dalam bentuk materi dan kurungan.

Bentuk nyata apa yang dilakukan UPT Sentra HaKI untuk mensosialisasikan HaKi di tengah masyarakat?

Hingga saat ini kita lebih banyak bergerak di lingkup Unair. Ya misalnya mengurus hak paten penemuan para dosen di Unair. Tapi kita juga membantu bagi mereka yang ingin mengurus HaKI. Bentuk nyata tentang sosialisasi HaKI yaitu dengan memberikan ceramah, seminar atau kesempatan-kesempatan tertentu tentang hak kekayaan intelektual.
(Pewawancara: Wuri Wigunaningsih)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung