Rabu

Homeschooling Alternatif Dunia Pendidikan

Mohammad Fauzil Adhim
Masalah yang terus menerpa sistem pendidikan nasional, mulai dari kurikulum yang berganti-ganti, pro-kontra ujian nasional dan penentuan kelulusan, sistem penerimaan siswa baru, biaya pendidikan mahal dan masalah-masalah lain telah menyebabkan banyak orangtua semakin ragu menyerahkan pendidikan anaknya kepada insitusi sekolah. Kondisi yang paling dikhawatirkan para orangtua adalah ketidakmampuan sekolah dalam mangakomodir kemampuan unik masing-masing siswa secara individu sehingga perbedaan potensi tersebut cenderung dikerdilkan. Tidak puas dengan sistem pendidikan yang diterapkan sekolah, orangtua akhirnya mencari alternatif di luar sekolah formal. Salah satu metode pendidikan yang sudah banyak diterapkan di luar negeri, dan mulai banyak dilirik para orangtua di Indonesia adalah homeschooling. Para tokoh nasional pun telah membentuk ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang dimotori Kak Seto, Dewi Hughes, Neno Warisman, Ratna Megawangi, Dik Doank, serta dibina Departemen Pendidikan Nasional bidang Pendidikan Luar Sekolah dan didukung sejumlah pakar pendidikan, seperti Adi D Adinugroho-Horstman, Dian Amrita Dewi, dan Ratu Vanda Wardani, termasuk M. Fauzil Adhim, penulis best seller Trilogi “Kupinang Engkau Dengan Hamdalah” yang diwawancarai oleh media ini.

Apa latar belakang pendidikan homeschooling?

Homeschooling merupakan kegiatan belajar mandiri yang sangat fleksibel, tidak terikat pada tempat, sistem, buku, lembar kerja, pelaku maupun kondisi tertentu. Sama sekali tidak ada kondisi yang ”ideal” dan ”benar” dalam melaksanakan homeschooling.
Pendidikan metode ini memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing. Teori multiple intelligent atau kecerdasan majemuk telah membuka mata kita bahwa ada begitu banyak cara untuk membuat anak-anak memahami suatu materi pelajaran. Perlu disadari bahwa anak-anak mungkin bisa belajar dengan sangat baik melalui cara mereka sendiri. Potensi tersebutlah yang jarang diketahui oleh guru atau pengajar pada sekolah formal. Siswa cenderung hanya dituntut kemampuan akademis (membaca, menulis, mengeja, berhitung, duduk manis di dalam kelas serta mendengarkan guru berceramah). Hal-hal seperti inilah yang mendasari banyak orangtua untuk mendidik anak-anak mereka sendiri selain alasan biaya dan tidak puas dengan kurikulum pemerintah atau sekolah setempat.

Apa saja yang diajarkan dalam homeschooling?

Pada dasarnya semua bahan yang akan diujikan dalam institusi tertentu (misal, Diknas) ”bisa” dimasukkan dalam kegiatan belajar anak. Tetapi hal tersebut bukanlah yang utama karena yang terpenting dalam proses belajar tetaplah menanamkan mental belajar sehingga anak memperkaya khasanah keilmuan dengan mandiri dan bukan tergantung pada buku teks maupun lembar kerja. Buku dan lembar kerja hanyalah sarana pendukung saja, itupun bila anak bersedia. Orangtua pun bisa menerapkan kurikulum tersendiri ataupun mengacu pada kurikulum pemerintah yang dimodifikasi sehingga homeschooling ini bisa memiliki kompetensi tersendiri. Ketiadaan patokan kurikulum lebih leluasa bagi orangtua untuk mengajarkan penghargaan diri (self esteem), kompetensi, perasaan positif terhadap belajar (positive thinking dual learning) serta memunculkan hasrat dan motivasi belajar. Karena tidak berorientasi untuk mendapatkan ijazah, maka sama sekali tidak ada rumus baku dalam menerapkan homeschooling. Setiap detik anak bisa belajar apa saja, dari mana saja dan siapa saja. Siswa bisa belajar apapun mulai berhitung sampai belajar sejarah dunia tanpa harus terikat pada kurikulum tertentu. Siswa belajar karena ia menikmati proses belajar itu dan bukan karena ia ingin mendapat nilai atau diakui secara formal oleh suatu institusi. Jika menginginkan ijazah, anakpun bisa dimintakan ujian kesetaraan pada Dinas Pendidikan.

Dampak homeschooling pada perkembangan anak?

Homeschooling memberi banyak keleluasaan bagi anak-anak untuk “menikmati” proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Telah banyak tokoh-tokoh dunia lahir dari homeschooling , seperti Albert Einstein, Alexander Graham Bell, Agatha Christie, Thomas A. Edison, George Bernard Shaw, Woodrow Wilson, Mark Twain, Charlie Chaplin, Charles Dickens, Winston Churchill, K.H. Agus Salim, dan lainnya. Seorang anak muda Amerika, Christopher Paolini (22 tahun), penulis novel laris Eragon (telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia) juga seorang homeschooler. Program homeschooling memberi alternatif dunia pendidikan. Sekolah jadi bukan satu-satunya tempat anak menuntut ilmu, pengetahuan dan pengalaman. Dengan belajar di rumah, alam terbuka serta tempat lainnya akan menjadikan orangtua sebagai guru yang sebenarnya. Sudah selayaknya orangtua memberikan peran lebih besar terutama masalah pendidikan kepada putra-putrinya, karena pendidikan awal memang sudah dimulai dari rumah atau keluarga. (Pewawancara: Didik Purwanto)

BIODATA:
Nama : Mohammad Fauzil Adhim
TTL : Mojokerto, 29 Desember 1972
Pendidikan :
*SDN Ketidur Kutorejo (1985)
*SMP Negeri Kutorejo, Mojokerto (1988)
*SMA Negeri 2 Jombang (1991)
*Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2001)
Aktivitas :
*Wakasek Bidang Motivasi SDIT Hidayatullah Jogjakarta (2006-sekarang)
*Penulis Spesialis Pernikahan dan Parenting
*Dai
Alamat : Jl Monjali Gg Masjid Mujahadah RT 15/ RW 40 Karangjati, SIA MELATI, Sleman Jogjakarta, HP 0818269672

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung