Rabu

“Saya Usul Pesta Kebudayaan Bali”

Prof Dr I Gede Parimartha, MA
Kebudayaan orang Bali sangat terikat kuat dengan agama Hindu. Keterkaitan ini, kemudian melahirkan adat, kebudayaan, dan tradisi yang menyatu kuat dengan agama dan budaya Hindu Bali. Dengan latar relasi kebudayaan di atas, lahirlah beragam jargon-jargon kebudayaan untuk "menjaga" keutuhan budaya Bali. Berikut wawancara media ini dengan ahli kajian budaya Bali, Prof. Parimartha tentang proses akulturasi budaya di Bali.

Bagaimana proses akulturasi budaya di Bali?

Proses pencampuran budaya di Bali sudah sejak awal abad Masehi, sekitar 2000 tahun lebih yang lalu dan terus berlangsung sampai sekarang. Banyak peninggalan benda-benda khas India dan Jawa, aspek ukiran, desain dan budaya. Namun Bali juga memiliki ciri khas tersendiri terutama tradisi. Persamaan paling mendasar hanya pada konsep agama yaitu menganut Trimurti (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa). Sampai sekarang aliran kepercayaan dari India terus bermunculan, seperti Sai Baba dan Hare Khrisna. Cina juga turut memberikan pengaruh terutama uang kepeng yang dahulu digunakan sebagai alat perdagangan. Lambat laun, budaya agama juga masuk dan terjadi akulturasi.

Bagaimana menjaga kebudayaan Bali agar tetap eksis?

Dalam kerangka globalisasi, tidak ada kebudayaan yang murni berasal dari dirinya sendiri. Semua pasti ada pencampuran budayanya. Namun yang penting adalah rasa guyub, percaya kepada Tuhan, hormat kepada leluhur dan orang tua, saling memahami seperti ajaran Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha, Desa Kala Patra dan Tat Twam Asi. Bali tidak mungkin kembali seperti jaman Gel-Gel pada abad 15-16. Itu Bali yang lampau. Bali tidak boleh hanya mementingkan agraris saja, harus juga terbuka dengan industri yang lain sehingga peradaban berkembang dan kokoh.

Sudah tepatkah Pesta Kesenian Bali (PKB) diadakan tiap tahun demi pelestarian budaya Bali?

Pesta Kesenian Bali adalah satu upaya menggali dan mendukung pelestarian kesenian Bali. Namun pelaksanaannya jangan tiap tahun karena hanya menguras dana APBD, usahakan minimal tiga tahun sekali. Seharusnya masing-masing kabupaten mengadakan sendiri pesta kesenian tersebut sehingga dapat mengundang partisipasi wisatawan ke daerah. Selain itu, seni modern khas generasi muda belum diakomodir oleh panitia PKB. Jiwa kreatif anak muda juga harus diapresiasi agar jiwa seninya akan tumbuh, misalnya pembuatan dan pemutaran film tentang Bali. PKB dari tahun ke tahun juga makin bervariasi, terbukti dengan penampilan dari propinsi lain di Indonesia dan partisipasi luar negeri. Masyarakat pun ikut diuntungkan dengan adanya kegiatan tersebut, aspek positif ekonomi rakyat kecil, semangat persatuan (kebhinekaan) dan melestarikan tradisi leluhur.
Kalau saya boleh mengusulkan, PKB bukan Pesta Kesenian Bali tapi Pesta Kebudayaan Bali. Hal ini akan membuat seluruh aspek budaya Bali akan masuk dalam kegiatan tersebut. Budaya di sini berarti sangat luas, bisa pemikiran, mengulas sejarah, makanan khas, tradisi, subak, dan sebagainya. Peran akademisi pun harus melibatkan para pakar di bidangnya untuk bicara budaya Bali dan tantangan Bali ke depan. Sehingga dengan pola pemikiran tersebut, ada evaluasi bagi Bali, tidak terkesan pragmatis, individualistis dan maunya menang sendiri. Jangan hanya bicara Bali punya citra bagus namun hanya sekadar bualan. Masyarakat terutama wisatawan perlu bukti bahwa Bali masih ajeg.

Siapa yang bertanggung jawab tentang Ajeg Bali?

Secara harfiah, kata ajeg bermakna kukuh, tidak goyah, tegak, dan lestari. Kalau disandingkan antara ajeg dan Bali maka itu berarti Bali yang kukuh atau Bali yang tidak goyah. Baik itu ajeg parahyangan, ajeg pawongan dan ajeg palemahan.
Tantangan Bali ke depan adalah komitmen untuk keseimbangan. Keseimbangan itu meliputi pembangunan manusia, lingkungan, budaya dan agama. Dalam hal budaya, misalnya, Bali menghadapi tantangan konsumerisme, komersialisme, dan komoditifikasi. Mewujudkan ajeg Bali tidak bisa dilepaskan dari upaya menghentikan budaya konsumerisme. Bagi orang Bali kebanyakan, konsep ajeg Bali bisa berarti macam-macam. Pertama, merupakan ungkapan untuk menyatakan identitas, terutama identitas etnik dan budaya. Kedua, sebagai strategi untuk menyaring pengaruh budaya luar yang dianggap tidak cocok dengan nilai-nilai budaya Bali. Ketiga, berarti cita-cita untuk menjadikan Bali tenang, aman, dan damai.
(Pewawancara: Didik Purwanto)

BIODATA:
Nama : Prof Dr I Gede Parimartha, MA
TTL : Tenganan, Karangasem, 31 Desember 1943
Aktivitas :
Ketua Program Pendidikan Doktor (S3) Kajian Budaya Unud (2003-sekarang)
Dosen Sejarah S1, S2 dan S3 Kajian Budaya Unud (1976-sekarang)
Ketua Litbang Bali Heritage Trust / BHT (2002-sekarang)
Ketua Litbang Para Gotra Santana Dalam Tarukan Pusat (2002-sekarang)
Tetua Prajuru Desa Adat Tenganan Dauh Tukad (Karangasem)
Alamat : Jl Tunggul Ametung VB/11 Denpasar, Tlp (0361) 432474

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung