Rabu

Mudik, Rutinitas Membawa Berkah

Drs. I Nyoman Sama, M.Hum
Jutaan manusia bergerak serentak di hari-hari terakhir Ramadhan seolah sedang melakukan tapak tilas atas jejak atau asal-muasal kehadirannya di dunia. Melalui mudik, seolah sejarah hendak didaur ulang, disegarkan kembali, dan dicerahkan guna memberi roh dan napas baru perjalanan sejarah satu tahun ke depan. Ritus-ritus itu terus diulang kembali tiap akhir Ramadhan dengan harapan manusia memperoleh nilai fitrahnya kembali.
Tradisi mudik di hari raya Idul Fitri ternyata tidak mengurangi antusiasme pemudik. Meski harus dibayar mahal bahkan berujung dengan mempertaruhkan nyawa, rutinitas mayoritas warga perantauan untuk kembali mengenang ke kampung halaman seperti berlangsung begitu saja tanpa suatu kesadaran, melampaui akar normatif dan teologis suatu ajaran agama. Latar belakang tradisi yang sudah menjadi semacam alkoholisme atau ekstase tersebut masih menjadi misteri teologis yang tak lagi peduli kebenaran dari sumber tekstual dan teologisnya. Berikut petikan wawancara media ini dengan antropolog, I Nyoman Sama terkait dengan napak tilas kemanusiaan dan ”Mabuk Ketuhanan” tersebut.

Bagaimana sejarah awal tradisi mudik? Apakah ada sumber ajaran tertentu yang kini dianggap sebagai tradisi?

Tradisi mudik sudah lama menjadi rutinitas warga Indonesia bahkan fenomena ini pun juga mewabah hingga ke luar negeri. Ritual itu seolah hendak menyatakan, migrasi ke lain tempat yang selama ini dilakukan akibat tuntutan kerja atau sosial-ekonomi sebagai sebuah tindakan yang membuat kehilangan jati-diri dan melupakan asal-muasal dirinya. Kesadaran dari mana mereka datang dan ke mana mereka akan pergi (sangkan paraning dumadi) menempati posisi sentral dalam kehidupan pemeluk Islam dan pemeluk semua agama, seperti halnya orang Jawa. Dari sinilah mengapa orang menyatakan bagi Wong Jowo (baca: Wong Nuswantoro semua suku) kesadaran atas asal kehidupan jauh lebih kuat daripada akar teologis ajaran Islam yang sebenarnya sulit dicari sumbernya.
Tidak ada sumber pasti yang menyatakan kapan tradisi tersebut dimulai dan oleh siapa yang memulai. Ajaran Islam yang selama ini dikaitkan dengan tradisi mudik ialah ajaran tentang silaturahmi (menyambung cinta-kasih) dan ajaran untuk minta maaf bagi seseorang saat menyadari telah berbuat salah kepada orang lain. Namun, ajaran silaturahmi dan minta maaf, jika berbuat salah, tidak dikhususkan dilakukan hanya di Hari Raya Fitrah sekali setahun. Demikian pula ajaran berbakti pada orangtua atau yang dituakan bukan ajaran yang dilakukan hanya setahun sekali dan tidak pula secara khusus harus dilakukan di Hari Raya Fitrah itu. Hal ini juga sama dengan ritual pada ajaran agama Hindu. Pada hari raya Galungan dan Kuningan, ada sebuah tradisi yang menggambarkan kemenangan darma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). Tradisi ini juga sama pada umat muslim yaitu hari raya kemenangan yang didahului dengan berpuasa selama sebulan penuh. Jika dalam bulan puasa tersebut, kita berhasil melawan amarah dan hawa nafsu yang jelek, maka saat hari raya fitrah terjadi kondisi kemenangan atas pengendalian sifat jelek tersebut.

Apakah ada nilai kemanusiaan dari tradisi ini?

Hari Fitrah mengandung sejumlah nilai kemanusiaan yang kaya makna jika bisa dikelola secara lebih fungsional bagi penyelesaian banyak problem sosial di negeri religius ini. Nilai-nilai kemanusiaan seperti membantu sesama (membayar zakat menjelang hari raya Fitrah), silaturahmi, wujud berbakti kepada orang tua (sungkem) dan tradisi positif lainnya.

Dampak negatifnya?

Tradisi ini menjadi praktik pemborosan luar biasa yang tidak jarang menjadi pemicu berbagai perilaku tercela. Mulai dari menyiapkan keberangkatan menuju kampung halaman, menyiapkan makanan, pakaian, merenovasi rumah agar kelihatan indah di mata orang hingga menyiapkan ”angpao” untuk sanak saudara hanya sekadar membagi rejeki. Namun kecenderungan seperti itu sudah muncul di masa kehidupan Nabi Muhammad SAW sehingga keluar hadits yang menyatakan, lebaran atau hari raya fitrah bukan bagi mereka yang pakaiannya bagus atau semua serba baru, melainkan hanya bagi mereka yang kesadaran ketuhanannya (ketakwaan) bertambah. Sebaliknya, ritualitas tahunan ini sengaja dimanfaatkan oleh pedagang atau segala sesuatu yang berkaitan dengan itu untuk mendapatkan keuntungan yang ”lumayan” menambah kantong. Seperti harga-harga sembako yang mulai merangkak naik menjelang bulan puasa dan hari raya. Hal ini juga menyebabkan harga barang lainnya melonjak naik. Positifnya, bulan penuh fitrah (kembali ke kesucian) itu juga membawa berkah bagi umat muslim sendiri bahkan seluruh umat untuk mengais rejeki.
(Pewawancara: DIDIK PURWANTO)

BIODATA:
Nama : Drs. I Nyoman Sama, M.Hum
TT : Denpasar, 1957
Pendidikan :
Pasca Sarjana Antropologi UGM (2000)
Fakultas Sastra Jurusan Antropologi Unud Bali (1981)
Aktivitas :
Ketua Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana (2007-2010).
Ketua Koperasi Serba Usaha di Penatih Denpasar (2002-sekarang).
Alamat : Jl Sekar Tunjung VIII/23 Denpasar Telp (0361) 467716/ 081 557 148 29

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung