Rabu

Surabaya “Gula” Bagi Kaum Urban

Drs Heri Tjahjono MM
Pemerintah kota Surabaya selalu dibuat pusing setiap kali masa Lebaran tiba. Karena dapat dipastikan, jumlah penduduk di kota terbesar kedua di Indonesia ini akan bertambah akibat urbanisasi. Berbagai cara telah dilakukan Pemkot untuk menghambat adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota tersebut. Salah satu di antaranya memerintahkan seluruh RT/RW di seluruh wilayah Surabaya untuk kembali mendata ulang warganya setelah Lebaran nanti. Namun, hingga sekarang belum ada tindakan hukum yang nyata bagi mereka yang melanggar peraturan. Misalnya, dipulangkan kembali ke daerah asal atau dikenai denda uang. Karena hingga sekarang Pemkot Surabaya menghindari tuduhan terhadap pelanggaran hak azasi manusia. Satu-satunya cara yang dilakukan pemkot untuk mengendalikan arus urbanisasi saat ini adalah menghimbau masyarakat desa untuk tidak pergi ke kota. Tentu saja bagi mereka yang tidak mempunyai pendidikan yang cukup, keahlian yang cukup, pekerjaan yang jelas atau tempat tinggal yang jelas. Selain itu pemkot juga meminta pemda untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduknya, supaya tidak pergi ke kota. Berikut wawancara dengan Kepala Informasi dan Komunikasi Pemkot Surabaya, Drs Heri Tjahjono MM seputar fenomena urbanisasi pasca Lebaran di kota Surabaya.

Apa daya tarik Surabaya sehingga banyak orang daerah yang datang ke Kota Pahlawan ini?

Ada peribahasa yang mengatakan ada gula ada semut. Surabaya seperti gula yang dikerubuti semut. Mengapa Surabaya dikerubuti semut, karena di Surabaya manis (ada banyak peluang kerja). Sangat menarik, karena banyak lapangan pekerjaan di Surabaya. Paling tidak, itu adalah pandangan orang-orang daerah terhadap kota Surabaya. Ibaratnya, kalau kita mau bergerak saja, pasti sudah akan mendapatkan uang. Karena di Surabaya, tidak ada yang tidak bisa dijadikan uang. Sampah pun bisa dijual untuk mendapatkan uang. Dan itu tidak ditemui di daerah-daerah mereka.

Bagaimana meminimalisir urbanisasi?

Pada intinya, apa yang ada di negara kita ini belum merata. Baik itu pendidikan, lapangan pekerjaan maupun usaha bisnis lainnya. Semua masih terpusat di satu daerah. Ya, kalau di Surabaya, kita dapat mencontoh perusahaan rokok Sampoerna yang tidak menggunakan mesin untuk melinting rokok. Untuk memperbanyak lapangan kerja, mereka menggunakan tenaga manusia. Selain itu, pabrik tidak hanya dibangun di Surabaya, tapi di beberapa daerah lain di Jawa Timur. Dengan demikian, orang-orang tidak hanya datang ke Surabaya, untuk bekerja sebagai pengelinting rokok. Mereka tersebar di beberapa daerah di Jawa Timur.

Apa yang seharusnya dilakukan Pemkot menghadapi arus urbanisasi usai Lebaran?

Jumlah penduduk Indonesia, semakin hari semakin banyak. Kalau di desa, lahan pertanian yang digarap sudah tidak ada lagi. Karena itulah, dengan kemampuan yang sangat minim, baik pendidikan maupun keahlian, satu-satunya jalan mereka harus pergi ke kota. Selanjutnya mereka berbondong-bondong ke kota. Di desa tidak ada yang mereka kerjakan. Sampai di kota pasti akan memunculkan masalah-masalah baru yang sangat komplek. Salah satu di antaranya adalah munculnya pedagang kaki lima dan angka kriminalitas yang tinggi. Karena itulah, Pemkot selalu menghimbau supaya jangan datang ke Surabaya kalau tidak punya pendidikan atau keahlian yang cukup. Apalagi tidak punya pekerjaan yang jelas atau tempat tinggal yang jelas. Setiap kali setelah Lebaran, Pemkot selalu meminta RT/RW mendata ulang penduduknya. Bagi para pendatang diwajibkan untuk mempunyai Kipem tentu saja dengan kewajiban yang sama dengan penduduk asli lainnya. Razia KTP atau Kipem harus sesering mungkin dilakukan. Tentu saja untuk menghindari masuknya penduduk ilegal.

Urbanisasi ke kota besar bisa dilihat sebagai kelemahan Pemda?

Seharusnya Pemda menyediakan lapangan pekerjaan di daerah masing-masing. Dengan demikian penduduknya tidak akan pergi ke kota. Saat ini saja, jumlah penduduk Surabaya 3,5 juta kalau malam hari. Sedangkan siang hari, jumlah penduduknya mencapai 5 juta. Karena sisanya adalah bekerja di Surabaya tapi tinggalnya di daerah sekitar Surabaya. Mulai Sidoarjo, Gresik, Lamongan maupun Madura.

Apa sanksi bagi kaum urban ilegal?

Hingga saat ini kita belum memberlakukan sanksi tersebut dengan keras. Karena kita takut nanti kalau memberlakukan sanksi tersebut melanggar hak azasi manusia. Misalnya yang tidak punya KTP, Kipem atau pekerjaan dipulangkan ke desa atau kena denda dengan jumlah tertentu. Yang dilakukan sekarang hanyalah himbauan melalui peraturan daerah melalui RT/RW.
(Pewawancara: WURI WIGUNANINGSIH)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung