Rabu

Seniman Bukan Perajin

I Made Sumadiyasa
Dalam dunia kesenian atau seni rupa, komitmen dan integritas bisa ditengarai dari seberapa jauh seniman “bisa dipercaya” dan “bisa mempercayai” pihak lain. Kritikus seni, Suwarno Wisetrotomo menganggap seniman “bisa dipercaya” atas semua hal (perjanjian) yang sudah disepakati, tak bermain di belakang tengkuk pihak yang memberikan kepercayaan, tak menarik keuntungan pribadi atas usaha pihak lain. Sebaliknya, pihak lain harus “bisa dipercaya” oleh seniman, agar tidak melakukan hal yang sama. “Bisa mempercayai” artinya berada dalam posisi setara yakni saling percaya dan menghindari nafsu-nafsu untuk saling mencederai kepercayaan. Membangun seni rupa Indonesia, harus dimulai dari sikap “saling percaya” antara berbagai pihak. Berikut nukilan media ini dengan salah satu murid seniman besar Nyoman Gunarsa, I Made Sumadiyasa tentang sosok seniman yang sebenarnya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan seniman sekarang ini?

Bicara tentang seniman (terutama yang lahir dan sukses di Bali) bahkan di Indonesia sudah tidak dapat terhitung lagi, sangat banyak sekali. Namun seniman yang memiliki kualitas bagus, bisa dihitung dengan jari. Banyak seniman sekarang yang banyak dimanja oleh kecanggihan teknologi sehingga cenderung menjiplak karya dan menjual seenaknya demi pesanan. Hal tersebut malah memperburuk citra seniman.

Lantas yang cocok disebut seniman itu siapa?

Seniman yang benar-benar seniman cenderung memihak pada tema-tema kemanusiaan, mengritisi kehidupan agar selaras dengan lingkungan sosial. Seniman bisa saja disebut aktivis karena mengemban beban berat tersebut. Bahkan karena ide-ide cemerlangnya mampu menggugah peradaban dunia hanya dari karyanya. Namun tidak pada perajin, tatkala melihat uang, mereka lupa akan beban berat tersebut. Sebuah contoh, saya menerima pesanan lukisan dari wisatawan asing berjumlah 300 buah. Sebagai orang biasa, memang kita tidak munafik dengan uang. Toh mereka juga akan membayar harga lukisan itu sewajarnya menurut mereka. Namun sebagai seorang seniman, saya menolak tawaran menggiurkan tersebut. Bukan tidak sanggup, tapi lebih pada tanggung jawab seniman kepada publik. Membuat sebuah karya yang bagus tidak dapat seperti membalik telapak tangan, tapi perlu sebuah perenungan terkait makna-makna kehidupan sehingga pesan-pesan moral yang mendalam akan terefleksi pada karya-karya kita.

Bagaimana dengan institusi formal yang ada di Indonesia. Apakah mereka mendidik dengan cara tersebut?

Kita sangat berharap banyak pada institusi seni yang menggembleng siswanya agar memiliki kemampuan lebih sesuai talentanya. Jangan menganggap sebuah pelarian karena tidak diterima pada perguruan tinggi terkenal dan jurusan yang diminati oleh pasar kerja. Memang masuk institusi seni bukan lantas menjadi seorang seniman sebenarnya. Kampus bukan mencetak siswanya menjadi gudang seniman. Tapi dari seorang yang memiliki bakat dan menyalurkan energi kreatifnya secara benar, berjuang dengan tekun, berinteraksi dengan seniman besar akan lebih mengangkat prestise diri dan membuat pribadi kita lebih dihargai di mata orang lain.

Saat ini apakah sudah terjadi harapan Anda tersebut?

Belum, meski bakat seniman kita boleh diadu dan tidak kalah dengan bangsa lain, namun daya apresiasi masyarakat terhadap seni masih lemah. Di Indonesia, seni (terutama seni rupa) belum mendapat tempat yang layak di hati pecinta seni. Lain di luar negeri, dengan adanya balai lelang, seni karya mereka sudah dihargai milyaran. Seniman kita belum sampai ke taraf itu. Begitu juga dengan dunia peran. Artis yang memiliki karir cemerlang mulai dari lahir dan mampu bertahan sampai beberapa tahun, bisa dihitung dengan jari. Paling banyak, artis tersebut timbul tenggelam karena tidak ada yang mengambil perannya. Seniman sebenarnya tidak bisa dieksploitasi seenaknya demi kepentingan kapitalis tapi perajin bisa memenuhi hasrat kebutuhan masyarakat tersebut. Terserah, mau jadi seniman atau perajin!!!
(Pewawancara: Didik Purwanto)

Biodata:
Nama : I Made Sumadiyasa.
TTL : Langlang Singgah, Tabanan, 8 Februari 1971.
Pendidikan : Institut Seni Indonesia Jogjakarta (1997).
Pengalaman pameran :
Pameran ASEAN Master Works (1998).
Pameran Festival Persahabatan Indonesia-Jepang (1997).
Karya Pilihan The Phillip Morris Group of Companies Indonesian Arts Awards (1997).
Lukisan “The Way To Eternity” tampil dalam sampul majalah Asian Arts News (Maret-April 1996).
Pelukis Indonesia pertama yang tampil di belahan dunia bagian timur dalam pameran International Arts Asia IV di Hongkong (1995).
Alamat : Jl Sukma 1 Br. Tebasaya Kaja Ubud Bali 80571 Telp/Fax (0361) 974069/ 975037

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung