Rabu

Ubah Paradigma Dikasihani Menjadi Diberdayakan

Made Adi Gunawan
Berbagai fakta memperlihatkan berbagai perlakuan yang tidak adil dan sikap diskriminatif yang masih sering dialami penyandang cacat. Coba saja ketika penyandang cacat ingin masuk sekolah, masih terdapat penolakan di beberapa sekolah umum.
Begitu juga dengan fasilitas informasi atau perangkat seleksi yang dapat diakses bagi peserta penyandang cacat, penolakan untuk akses lapangan kerja, kurangnya fasilitas layanan publik yang dapat diakses penyandang cacat, kurangnya kesempatan dan dukungan pemerintah dalam parisipasi atlit penyandang cacat di tingkat dunia dan lain-lain. Apa kata Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Made Adi Gunawan, Msi atas diskriminasi tersebut. Berikut wawancara media ini dengan sarjana S2 Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia.

Bagaimana stigma terhadap penyandang cacat selama ini?

Stigma terhadap keberadaan penyandang cacat di masyarakat menafsirkan kecacatan identik dengan orang sakit, lemah, tidak memiliki kemampuan, hanya akan membebani orang sekitarnya. Sehingga penyandang cacat mengalami aliensi (pengucilan) marjinalisasi (terpinggirkan) dan diskriminasi (dibedakan). Sikap dan perlakukan masyarakat serta keluarga yang negatif masih banyak ditemui terhadap penyandang cacat yakni isolasi (disembunyikan), over proteksi (perlindungan yang berlebihan), diskriminasi (dianaktirikan) bahkan dieksploitasi dan lain-lain.
Faktor-faktor sosial inilah yang menjadi penghambat hak dan kebebasan penyandang cacat untuk berpartisipasi dan menikmati hak-hak dasarnya sebagai manusia. Kurangnya kesadaran masyarakat dan tidak adanya rumusan yang jelas tentang jaminan dan mekanisme perlindungan serta pemenuhan hak penyandang cacat, menyebabkan pemangku kepentingan selalu menghindar dari tanggungjawabnya dengan alasan belum adanya peraturan yang mengatur. Hampir dalam setiap undang-undang yang mengatur tentang penyandang cacat tetapi tidak melakukan aturan yang benar, bahkan ada undang-undang yang mengatur hak asasi manusia tidak diikuti oleh peraturan-peraturan yang memadai bagi perlindungan HAM penyandang cacat.

Bagimana dengan Konvensi Perlindungan Hak-Hak Penyandang Cacat?

Konvensi Internasional sebenarnya masih baru yang ditandatangani pada tanggal 30 Maret 2007, tetapi belum diratifikasi oleh Indonesia. Jadi Indonesia belum ada undang-undang yang meratifikasi konvensi internasional itu. Tetapi sebenarnya Indonesai sudah memikiki Undang-Undang R I No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, Peraturan Pemerintah RI No 43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Keputusan Presiden RI No 82 Tahun 1999 tentang Lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan sosial penyandang cacat. Jadi dalam undang-undang itu ada persamaan hak, ada kesamaan kesempatan kerja tetapi setelah 10 tahun diundangkan implementasinya belum ada di masyarakat.

Menurut Anda peraturan tersebut masih kurang?

Yah, peraturan-peraturan yang ada saat ini masih belum cukup memberikan perlindungan bagi penyandang cacat. Implementasi dari segala peraturan yang berkaitan dengan kecacatan pun masih jauh dari yang seharusnya. Faktor penyebabnya berasal baik dari pemerintah maupun dari penyandang cacat itu sendiri. Dari pemerintah antara lain kurangnya pemahaman dan kesadaran aparat pemerintahan maupun penegak hukum, kecilnya alokasi anggaran, serta kurangnya sosialisasi peraturan kepada masyarakat. Kecilnya anggaran merupakan salah satu cermin dari kurangnya perhatian pemerintah akan kepentingan perlindungan serta pemenuhan hak penyandang cacat.

Dari penyandang cacat, apa kendalanya?

Dari pihak penyandang cacat, faktornya adalah masih rendahnya kesadaran para penyandang cacat akan haknya itu sendiri. Kurangnya kesadaran hak penyandang cacat disebabkan oleh karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan organisasi penyandang cacat.

Lalu perhatian pemerintah selama ini, bagaimana?

Kita melihat, selama ini perhatian pemerintah kepada penyandang cacat hanya berdasar belas kasihan. Kini pemerintah harus mengubahnya, yaitu berdasarkan kesamaan hak sebagai sesama anggota masyarakat, antara lain, hak memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi, pekerjaan, dan jaminan sosial dan lain-lain harus terealisir. Apalagi selama ini penyandang cacat seperti terbengkelai karena seringnya pergantian presiden sehingga kebijakan selalu berubah-ubah bahkan departemen sosial yang memayungi para penyandang cacat, pernah dibubarkan oleh pemerintahan Abdurahman Wahid.

Paradigma apa yang ingin Anda bangun terhadap penyandang cacat?

Terutama adalah masyarakat harus mengerti dahulu UU mengenai penyandang cacat ini. Caranya dengan melakukan sosialisasi di antaranya walau UU itu soal penyandang cacat tetapi yang diatur tidak hanya penyandang cacat saja tetapi terkait dengan dengan dunia usaha yang wajib mempekerjakan mereka, lalu dunia pendidikan yang memiliki kewajiban untuk menerima mereka, lalu sektor lain seperti fasilitas umum untuk penyandang cacat.
Jadi kalau dibilang masyarakat atau kota Jakarta kurang ramah kepada penyandang cacat, sebenarnya itu lebih mengarah kepada ketidaktahuan masyarakat tentang kewajiban masyarakat terhadap penyandang cacat, apa yang mesti mereka lakukan dan sebagainya. Dan yang ingin saya ingin ubah adalah paradigma bahwa penyandang cacat itu identik dengan penyandang masalah sosial. Harus disantuni, harus dikasih bantuan dan lain-lain. Masyarakat itu tidak berpikir bahwa orang cacat juga mau sekolah, mau kerja bukan sekedar dibagi-bagi sembako saja. Padahal kalau mereka bekerja mereka bisa gajian dan bisa memperoleh uang. Dan merubah paradigma ‘dikasihani’ menjadi paradigma ‘diberdayakan’ inilah yang sulit dan tentunya kita perjuangkan.

Berarti maksud Anda penyandang cacat banyak yang berkembang?

Benar, di Inggris ada pilot penyandang cacat, menjadi ahli komputer, sementara di Indonesia cuma menjadi ahli mijit. Di Indonesia ini banyak menyandang cacat yang ingin maju tetapi lingkungan yang membuat mereka menjadi tidak berdaya. Misalnya, untuk sekolah tidak ada fasilitas untuk mereka. Dan solusi termudah mereka dimasukkan ke panti dan persoalan menjadi selesai. Sebenarnya banyak yang bisa mereka lakukan. Dan di panti orang-orang cacat, pemerintah hanya memberikan santunan sebesar Rp. 300.000/hari. Dari pada dikasih uang yang hanya cukup untuk makan saja lebih baik diberikan pekerjaan.

Bagaimana membangun kemitraan dengan swasta?

Kita memang terus membangun kemitraan dengan swasta. Untuk diketahui bahwa beberapa media nasional seperti Metro TV dan di Indosiar ada sekitar 30 karyawannya berstatus penyandang cacat. Dan di perusahaan swasta juga ada.

Apa harapan Anda ke depan?

Tentu saja yang kita inginkan adalah tidak ada diskriminasi, alienasi dan marjinalisasi terhadap penyandang cacat ini. Kehidupan penyandang cacat dapat maju, berhak mendapat perlindungan, kesetaraan, kemandirian.
(Pewawancara: Agus Salam)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung