REFLEKSI
Muh Kholid AS*
Kemiskinan tampaknya akan tetap menjadi masalah yang membayangi perjalanan bangsa ini selama 12 bulan ke depan, tahun 2007. Dalam laporan berjudul Making the New Indonesia Work for the Poor (07/12/2006), Bank Dunia menilai hampir separuh warga Indonesia terpaksa hidup miskin. Meski pertumbuhan ekonomi telah mengalami kemajuan, tetapi jumlah orang miskin masih berkisar 49%, atau sekitar 108,78 juta dari total 220 juta penduduk Indonesia.
Kondisi elegis ini terjadi semenjak krisis moneter 1998 menghantam Indonesia, di mana banyak warga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan secara turun-temurun. Mereka tidak mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya, sehingga generasi berikutnya juga tidak bisa keluar dari kemiskinan. Karena masalah kemiskinan, seseorang menjadi fakir, hidup telantar, tinggal di kolong jembatan, serta berbagai kondisi memprihatinkan lainnya.
Sebagai sebuah negara yang kental dengan nuansa religiusitas, sudah barang tentu meniscayakan peran aktif dari kalangan agamawan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Sebab, diakui maupun tidak, ucapan ulama memang banyak didengarkan oleh masyarakat ketimbang aparatur negara. Meminjam istilah Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat membuka Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (25/07/2006), kalau ulama yang berbicara, setidaknya 90 hingga 100 persen masyarakat akan mendengar dan menjalankannya. Sebaliknya, jika yang berbicara adalah aparat, mungkin hanya 70 persen saja yang mau mendengar dan melaksanakan titahnya.
Meski statement ini membutuhkan validitasi lebih lanjut, namun kehadiran agama yang solutif menjadi sebuah keniscayaan untuk menjawab tantangan zaman. Ketika agama mampu menafsirkan makna zaman ini, tentu ia akan tetap eksis dalam percaturan dunia. Sebaliknya, jika agama tidak mau bersentuhan secara lagsung dengan problem kemanusiaan, sangat mungkin tesis Ernest Gellner (1994) benar-benar menjadi kenyataan. Menurutnya, agama akan terpinggirkan dalam era industrialisasi dan globalisasi, dengan tegaknya sekulerisme (murni) dan kapitalisme.
Tidak bisa dipungkiri kemiskinan sangatlah rentan menjadi penyebab bagi munculnya berbagai masalah sosial semacam pencurian, perampokan, dan lain sebagainya. Meski pemerintah telah berusaha mengantisipasi munculnya efek buruk akibat kemiskinan, tetapi masalah ini tetaplah membutuhkan program yang besar, terpadu, serta melibatkan komponen masyarakat secara sinergis. Ia bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua masyarakat yang masih mempunyai nurani dan jiwa solidaritas. Sebab, kemiskinan dalam kekinian bukan lagi menjadi monopoli kota-kota besar saja, melainkan telah menyusup ke hampir seluruh wilayah.
Agama sebagai sumber makna tentu mempunyai peran yang amat fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Dalam memerangi kemiskinan pada level individu, agama bisa berperan penting sebagai spirit untuk berjuang dan bertahan hidup, baik melalui makna yang simbolik, motivasi, kognitif, maupun normatif. Meminjam istilah almarhum Munir (2004), agama haruslah menjadi penawar bagi mereka yang terzalimi, memberikan jawaban terhadap problem sosial, serta memberi semangat perlawanan.
Selama ini, mungkin tidak sedikit masyarakat yang masih menganggap bahwa kemiskinan merupakan gejala nasib atau takdir Tuhan saja. Banyak yang meyakini bahwa penyebab kemiskinan adalah warisan dan mentalitas manusia yang malas, tidak mau bekerja, serta stereotipe negatif lainnya. Padahal kalau melihat kebijakan negara selama ini, lebih-lebih kenaikan harga BBM ‘tanpa’ ukuran pada tahun kemarin, sangat jelas bahwa kemiskinan adalah produk struktur, baik yang diakibatkan oleh sistem sosial, ekonomi maupun politik.
Agama sebagai sebuah sistem hidup tentu mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan ini, dengan spirit yang dikandung dalam ayat kitab sucinya. Selain itu, diyakini pula bahwa agama bukanlah entitas yang hanya berkutat pada ibadah ritual vertikal saja, melainkan juga mengatur hubungan antar manusia dan lingkungan (muamalah). Dalam posisi inilah dibutuhkan paradigma keagamaan yang manusiawi dan tertuju pada praksis penyadaran, pembebasan, serta perlawanan. Agama harus menjadi elan vital dalam men-support masyarakat dalam berjuang dan bertahan hidup melawan kemiskinan.
Sebagai konsekuensi logisnya, agamawan harus mampu mengkomunikasikan bahasa agama dengan realitas ketertindasan yang terjadi di sekitarnya. Paradigma keagamaan haruslah diubah dari sekedar memperbincangkan berbagai persoalan ajaran mana yang benar (orthodoxy) menuju kepada tindakan mana yang benar (orthopraxis). Keberagamaan tidak lagi hanya berkutat pada masalah akidah, ibadah, maupun ikhtilafiah saja, melainkan harus fungsional bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan.
Contoh kecil, dalam Islam diajarkan tentang kewajiban untuk peduli kepada kaum miskin, serta mengancam mereka yang tidak memperdulikannya. Penegasan Al-Qur’an yang seringkali menyebut ‘iman’ dan ‘amal saleh’ secara bersamaan, mengisyaratkan bahwa ketaqwaan hanya bisa dicapai saat keyakinan digabungkan dengan pembelaan atas kepentingan kemanusiaan. Sehingga keberagamaan adalah ritualitas yang mampu membangun solidaritas sosial dan kesejahteraan umat, tanpa mengenal kategori-kategori sosial tertentu (rahmatan lil’alamien).
Dengan demikian, yang diperlukan saat ini adalah upaya rekonstruksi berbagai ibadah ‘sosial’ yang dikandung agama, seperti zakat fithrah, zakat maal, kurban, 'shadaqah, hibah, dan lain sebagainya, baik dalam tataran pembayaran, pengelolaan, maupun distribusinya. Sebab, kalau mencermati manajemen berbagai ibadah tersebut secara konvensional, terlihat bahwa manfaatnya kurang bisa dirasakan oleh kaum miskin secara permanen. Realisasinya hanya mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dalam waktu temporer saja, setelah itu si miskin akan tetap berstatus miskin dan menderita.
Dalam hal ini, tentu saja penafsiran ayat-ayat Tuhan harus lebih difokuskan pada kritik realitas ketidakadilan. Sudah barang tentu keberagamaan seperti ini mengharuskan adanya konfrontasi realitas dengan normativitas teks suci secara berkesetaraan. Penafsiran haruslah dimaknai ‘seakan-akan’ berbicara langsung kepada umat manusia, sehingga diharapkan mampu melahirkan ritual yang sesuai dengan sejarah yang bergerak secara dinamis.
*)Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Muh Kholid AS*
Kemiskinan tampaknya akan tetap menjadi masalah yang membayangi perjalanan bangsa ini selama 12 bulan ke depan, tahun 2007. Dalam laporan berjudul Making the New Indonesia Work for the Poor (07/12/2006), Bank Dunia menilai hampir separuh warga Indonesia terpaksa hidup miskin. Meski pertumbuhan ekonomi telah mengalami kemajuan, tetapi jumlah orang miskin masih berkisar 49%, atau sekitar 108,78 juta dari total 220 juta penduduk Indonesia.
Kondisi elegis ini terjadi semenjak krisis moneter 1998 menghantam Indonesia, di mana banyak warga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan secara turun-temurun. Mereka tidak mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya, sehingga generasi berikutnya juga tidak bisa keluar dari kemiskinan. Karena masalah kemiskinan, seseorang menjadi fakir, hidup telantar, tinggal di kolong jembatan, serta berbagai kondisi memprihatinkan lainnya.
Sebagai sebuah negara yang kental dengan nuansa religiusitas, sudah barang tentu meniscayakan peran aktif dari kalangan agamawan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Sebab, diakui maupun tidak, ucapan ulama memang banyak didengarkan oleh masyarakat ketimbang aparatur negara. Meminjam istilah Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat membuka Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (25/07/2006), kalau ulama yang berbicara, setidaknya 90 hingga 100 persen masyarakat akan mendengar dan menjalankannya. Sebaliknya, jika yang berbicara adalah aparat, mungkin hanya 70 persen saja yang mau mendengar dan melaksanakan titahnya.
Meski statement ini membutuhkan validitasi lebih lanjut, namun kehadiran agama yang solutif menjadi sebuah keniscayaan untuk menjawab tantangan zaman. Ketika agama mampu menafsirkan makna zaman ini, tentu ia akan tetap eksis dalam percaturan dunia. Sebaliknya, jika agama tidak mau bersentuhan secara lagsung dengan problem kemanusiaan, sangat mungkin tesis Ernest Gellner (1994) benar-benar menjadi kenyataan. Menurutnya, agama akan terpinggirkan dalam era industrialisasi dan globalisasi, dengan tegaknya sekulerisme (murni) dan kapitalisme.
Tidak bisa dipungkiri kemiskinan sangatlah rentan menjadi penyebab bagi munculnya berbagai masalah sosial semacam pencurian, perampokan, dan lain sebagainya. Meski pemerintah telah berusaha mengantisipasi munculnya efek buruk akibat kemiskinan, tetapi masalah ini tetaplah membutuhkan program yang besar, terpadu, serta melibatkan komponen masyarakat secara sinergis. Ia bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua masyarakat yang masih mempunyai nurani dan jiwa solidaritas. Sebab, kemiskinan dalam kekinian bukan lagi menjadi monopoli kota-kota besar saja, melainkan telah menyusup ke hampir seluruh wilayah.
Agama sebagai sumber makna tentu mempunyai peran yang amat fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Dalam memerangi kemiskinan pada level individu, agama bisa berperan penting sebagai spirit untuk berjuang dan bertahan hidup, baik melalui makna yang simbolik, motivasi, kognitif, maupun normatif. Meminjam istilah almarhum Munir (2004), agama haruslah menjadi penawar bagi mereka yang terzalimi, memberikan jawaban terhadap problem sosial, serta memberi semangat perlawanan.
Selama ini, mungkin tidak sedikit masyarakat yang masih menganggap bahwa kemiskinan merupakan gejala nasib atau takdir Tuhan saja. Banyak yang meyakini bahwa penyebab kemiskinan adalah warisan dan mentalitas manusia yang malas, tidak mau bekerja, serta stereotipe negatif lainnya. Padahal kalau melihat kebijakan negara selama ini, lebih-lebih kenaikan harga BBM ‘tanpa’ ukuran pada tahun kemarin, sangat jelas bahwa kemiskinan adalah produk struktur, baik yang diakibatkan oleh sistem sosial, ekonomi maupun politik.
Agama sebagai sebuah sistem hidup tentu mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan ini, dengan spirit yang dikandung dalam ayat kitab sucinya. Selain itu, diyakini pula bahwa agama bukanlah entitas yang hanya berkutat pada ibadah ritual vertikal saja, melainkan juga mengatur hubungan antar manusia dan lingkungan (muamalah). Dalam posisi inilah dibutuhkan paradigma keagamaan yang manusiawi dan tertuju pada praksis penyadaran, pembebasan, serta perlawanan. Agama harus menjadi elan vital dalam men-support masyarakat dalam berjuang dan bertahan hidup melawan kemiskinan.
Sebagai konsekuensi logisnya, agamawan harus mampu mengkomunikasikan bahasa agama dengan realitas ketertindasan yang terjadi di sekitarnya. Paradigma keagamaan haruslah diubah dari sekedar memperbincangkan berbagai persoalan ajaran mana yang benar (orthodoxy) menuju kepada tindakan mana yang benar (orthopraxis). Keberagamaan tidak lagi hanya berkutat pada masalah akidah, ibadah, maupun ikhtilafiah saja, melainkan harus fungsional bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan.
Contoh kecil, dalam Islam diajarkan tentang kewajiban untuk peduli kepada kaum miskin, serta mengancam mereka yang tidak memperdulikannya. Penegasan Al-Qur’an yang seringkali menyebut ‘iman’ dan ‘amal saleh’ secara bersamaan, mengisyaratkan bahwa ketaqwaan hanya bisa dicapai saat keyakinan digabungkan dengan pembelaan atas kepentingan kemanusiaan. Sehingga keberagamaan adalah ritualitas yang mampu membangun solidaritas sosial dan kesejahteraan umat, tanpa mengenal kategori-kategori sosial tertentu (rahmatan lil’alamien).
Dengan demikian, yang diperlukan saat ini adalah upaya rekonstruksi berbagai ibadah ‘sosial’ yang dikandung agama, seperti zakat fithrah, zakat maal, kurban, 'shadaqah, hibah, dan lain sebagainya, baik dalam tataran pembayaran, pengelolaan, maupun distribusinya. Sebab, kalau mencermati manajemen berbagai ibadah tersebut secara konvensional, terlihat bahwa manfaatnya kurang bisa dirasakan oleh kaum miskin secara permanen. Realisasinya hanya mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dalam waktu temporer saja, setelah itu si miskin akan tetap berstatus miskin dan menderita.
Dalam hal ini, tentu saja penafsiran ayat-ayat Tuhan harus lebih difokuskan pada kritik realitas ketidakadilan. Sudah barang tentu keberagamaan seperti ini mengharuskan adanya konfrontasi realitas dengan normativitas teks suci secara berkesetaraan. Penafsiran haruslah dimaknai ‘seakan-akan’ berbicara langsung kepada umat manusia, sehingga diharapkan mampu melahirkan ritual yang sesuai dengan sejarah yang bergerak secara dinamis.
*)Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar