Sabtu

Anak-Anak Sebagai Pahlawan Lingkungan

Nurfa Rosanti*

Manusia dan lingkungan iabarat dua sisi mata uang. Ia bernilai jika keduanya saling menunjang. Manusia tak akan berkembang jika tak ada lingkungan. Sedangkan lingkungan tak akan bisa meretas zaman tanpa sentuhan manusia. Seperti kata Paul Sears, “Manusia mampu mengekspresikan dirinya jika terjadi fungsi sosial dari sebuah ekologi (hubungan timbal balik antara mahkluk dan lingkungannya)”

Namun, Manusia kadang lupa tentang hubungan mutualisme tersebut. Alam seringkali dianggap sebagai bagian yang bisa dieksploitasi demi kepentingan manusia untuk bertahan hidup. Lihat saja, Jadilah kemudian, penjarahan hutan, pembakaran hutan, pengerukan pasir, dan penimbunan sampah, sebagai fenomana biasa. Demi kepentingan kapitalis tentunya.

Beberapa bulan lalu sebuah organisasi Pangan dan Pertanian melansir sebuah riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Bayangkan, laju kerusakan hutan kita, menurut data tersebut, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 kilometer persegi hutan kita rusak setiap hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jam.

Sebuah lembaga lain, yakni UNEP/GRID-Arendal pada Mei lalu juga mempublikasikan perihal kerusakan lingkungan di salah satu wilayah di Indonesia yang tak kalah tragisnya. Menurut lembaga tersebut, terjadi perubahan mencolok pada wajah pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah decade ke depan. Pada tahun 1950 Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005 Kalimantan sudah kehilangan 50 persen hijaunya. Dan pada tahun 2020 diestimasikan di pulau Borneo itu hanya akan ada 25 persen warna hijau yang tertinggal.

Padahal kita tahu Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia. Hutan kalimantan adalah penyuplai oksigen tersebesar setelah Amazon. Dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi jika hutan di Kalimantan habis karena pembalakan liar. Umat manusia dalam ancaman kepunahan.

Itu masih soal hutan. Kalau kita bicara masalah kerusakan lingkungan di kawasan pesisir data yang ada jauh lebih parah lagi. Di Jawa Timur, misalnya, dari 53.000 hektar hutan mangrove yang ada, 13.000 hektar diantaranya rusak berat. Selain untuk membuka tambak, banyak areal mangrove yang rusak karena tercemar limbah industri (Kompas, 24/9). Sebenarnya daftar kerusakan lingkungan di negeri ini bisa bertambah panjang kalau saja kita mau memasukkan data mengenai pencemaran air dan pencemaran udara.

Makanya jangan heran jika unsur-unsur biotic pedesaan menjadi semakin terkuras. Upacara adat yang biasanya menggunakan tumbuhan segar sebagai bukti adanya perlindungan dari alam kini digantikan dengan aneka tumbuhan hias yang terbuat dari plastik. Sebab semakin sulit kita menemukan hutan-hutan yang rimbun. Tanah lapang yang luas. Atau udara yang sejuk.

Padahal tanpa mereka sadari eksploitasi semacam itu seringkali menjadi bencana. Lihat saja, bagaimana negeri ini selalu menjadi langganan bencana. Mulai dari longsor, banjir bandang, hingga luapan lumpur. Dan berjuta-juta orang menjadi korban. Terpuruk dalam luka yang tidak ada habisnya.

Sebenarnya, sudah banyak warning yang diserukan mengenai upaya-upaya melestarikan lingkungan. Namun peringatan semacam masih dianggap sebagai sebuah tontonan. Bahkan dianggap menyebalkan. Contoh sederhana saja. Misalnya larangan membuang sampah di sembarang tempat. Meski larangan tersebut sudah dipasang dengan huruf besar, toh masih banyak saja manusia yang tak mau tahu.

Mereka baru saja sadar ketika banjir melanda daerahnya. Kemudian berbondong-bondong mulai membersihkan lingkungannya. Namun nasi telah jadi bubur. Sebab korban telah berjatuhan. Baik secara psikologi maupun materiil. Ya. Begitulah Indonesia. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Memang ada benarnya sikap semacam itu. Tetapi lebih banyak salahnya.

Meski begitu, bukan tidak ada cara untuk mengembalikan lingkungan kita menjadi asri kembali. Cara adalah gerakan partisipatoris. Memang yang harus melibatkan adalah masyarakat (orang dewasa). Tapi gerakan ini harus secara khusus melibatkan anak-anak. Sebab diharapkan generasi mendatang bisa menjadi pahlawan lingkungan. Untuk memulaikan tentunya dengan tindakan yang sederhana. Ambil contoh misalnya dengan Clean World yang baru saja digagas oleh Negara-negara maju. Berupa kesediaan warga masyarakat memungut sampah di sekitarnya. Serta menanam pohon atau yang lebih dikenal dengan satu jiwa satu pohon. Ini untuk mengurangi udara kota yang dipenuhi polusi.

Alangkah efektifnya langkah ini jika dijadikan kurikulum dalam sekolah. Argumen dasarnya sekolah merupkan tempat menabur nilai kolektif budaya sadar lingkungan, karena itu pengarusutamaan lingkungan dalam kurikulum sekolah penting. Di samping itu, dengan merangkul naka-anak sejak dini untuk peduli lingkungan merupakan investasi yang akan memberikan hasil jangka panjang, dimana lahirnya walikota, desainer, presiden serta politisi masa depan akan membuat kebijakan yang prolingkungan. Selain itu anak-anak harus juga digiring untuk sadar dan melawan siapapun yang merusak lingkungan. Termasuk negara sendiri.
* Guru SMP Darussyahid Sampang, Madura, Jatim.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung