Sabtu

Anak Milik Publik

TEROPONG
Oleh: Ratih Indri Hapsari
Dewasa ini banyak bertebaran wacana yang merangsang kebutuhan seksual dan kesenangan yang sifatnya pragmatis. Belum lagi permainan para selebritis dalam film biru yang sekarang dengan mudah dapat diakses oleh para remajabahkan anak di bawah umurberkat kemajuan teknologi yang jauh dari kontrol lembaga keluarga semacam internet dan ponsel yang dilengkapi kamera serta video yang bisa diputar dimanapun.
Sebenarnya tidak bias digebyah uyah bahwa semua kaum muda melakukan free seks atau seks bebas, namun jika tayangan-tayangan budaya terus meneror setiap detik, jam, hari dan setiap waktu dengan berbagai macam cara dan budaya yang mendukung. Yang paling menderita adalah remaja dari kalangan kaum miskin yang sama sekali tidak siap untuk memenuhi ekonominya, juga kaum muda yang menganggur.
Jika pemuda dari kalangan kaya mampu merayakan hidup bebas dan melakukan berbagai pesta seks yang kadang tak lagi disembunyikan, kaum muda miskin seringkali hanya menjadi korban kebudayaan dengan tanggungan psikologis yang cukup besar. Ketika televisi, media cetak, dan bahkan film-film porno (secara diam-diam maupun terang-terangan) bertebaran di kalangan kaum muda melampaui batas kelas, maka sebenarnya ideologi seks bebas telah menjadi landasan masyarakat dalam memandang orang lain. Kaum perempuan biasanya menjadi korban, karena tayangan di film porno, TV dan gambar-gambar (foto-foto) di media-media itu justru menempatkan perempuan sebagai objek seksual.
Kita tidak bisa melarang orang untuk tidak menjalin hubungan sebagaimana hakekat mereka sebagai homo seksualis (makhluk seksual). Di kalangan kaum miskin (pemulung, pengemis, gelandangan) di sudut-sudut kota yang hidup secara bersama di bawah jembatan layang atau di rumah-rumah pinggir rel kereta api, mereka banyak yang melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak tanpa pernikahan. Karena untuk sekedar mengurus pernikahan (legal) mereka terbentur pada persoalan biaya.
Mereka tidak ubahnya seperti keluarga pada umumnya karena saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang bahkan emosi. Kita tidak bisa melarang mereka seperti kita juga tidak pernah mampu menggugat gaya hidup artis selebritis dan elite-elite pemerintah yang dengan mudah berganti-ganti pasangan, kumpul kebo dan menikah hanya sekedar memamerkan baju-baju bagus dan pesta besar.
Sepanjang jaman antik, perkawinan diatur oleh orang tua, dan pihak yang terlibat menerima pilihan mereka dengan diam. Sedikit cinta di antara suami dan istri pada jaman itu, sehingga cinta bukanlah kehendak hati subyektif, tapi tugas obyektif. Cinta bukanlah penyebab perkawinan tetapi akibat wajar sebuah perkawinan. Pada jaman antik, hubungan cinta dalam makna modern hanya muncul di luar pengakuan resmi masyarakat.
Cinta seksual kita secara materi berbeda dengan gairah seksual sederhana, atau Eros pada jaman kuno.
Pertama, cinta seksual mengamsumsikan, cinta seseorang dibalas cinta (saling timbal balik). Sulitnya membendung hasrat cinta seksual (eros) selalu membawa konsekuensi ketika dihadapkan pada kondisi yang belum siap untuk menindaklanjuti hubungan menuju pernikahan. Celakanya, terlalu moralis menilai permasalahan ini. Aborsi dilakukan karena kondisi sosial yang secara ekonomi bermasalah, yaitu adanya ketidakadilan yang ditunjukkan dari ketidaksiapan menikah. Menikah bukan persoalan yang mudah. Membangun relasi (plus pernikahan) apapun ternyata justru persoalan ekonomi.
Pada perkembangan dewasa ini, perkawinan monogami dalam masyarakat modern bukanlah rekonsiliasi antara laki-laki dan perempuan, tetapi bentuk terendah dari rekonsiliasi. Perkawinan monogami muncul sebagai bentuk penaklukkan satu seks terhadap yang lain, sebagai proklamasi konflik antar seks yang sebelumnya sama tidak dikenal manusia pada periode pra-sejarah.
Perkawinan monogami merupakan kemajuan besar dari sejarah. Tetapi bersama dengan perbudakan dan kekayaan pribadi, justru membuka jaman yang berlangsung hingga kini, setiap langkah kemajuan senantiasa dibarengi langkah kemunduran. Artinya, kemakmuran dan kemajuan beberapa orang diperoleh melalui kesengsaraan dan frustasi sejumlah orang yang lain. Sejarah perekembangannya, monogami yang dipaksakan secara resmi oleh masyarakat, tapi ternyata diam-diam diabaikan tanpa malu-malu.
Etika seks akhir-akhir ini telah dijadikan patokan moralitas yang telah mengkaburkan etika moralitas sosial lainnya yang lebih penting. Manyarakat sangat antusias membahas tarik ulur perda maksiat, penutupan lokalisasi, melarang aborsi. Namun, bagaimana dengan nasib perempuan dari keluarga miskin yang melahirkan dengan bantuan dukun hingga nyawa meregang? Bagaimana nasib jutaan anak yang meninggal karena menderita busung lapar?
Bagaimana dengan keinginan untuk menikah atau menyelenggarakan instink penyatuan (eros) secara halal dalam sistem ekonomi yang timpang bagaimana mau menikah kalau tidak ada kesiapan ekonomis? Bagaimana nasib keluarga monogami, jika peranannya dibentuk sebagai unit ekonomi masyarakat? Sehingga mengakibatkan anak-anak dibesarkan oleh TV dan dididik menjadi pembisnis bukan sebagai manusia?
Tidakkah ada alternatif lain? Keadaan yang menghapus semua kekawatiran, sehingga tidak ada lagi seorang gadis yang akan menikah hanya karena menginginkan hidupnya terjamin secara ekonomi. Kalau demikian apa bedanya lembaga perkawinan dengan pelacuran? Harus ada transformasi kepemilikan dengan cara memberikan keadilan pada semua orang, yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomis-seksual harus dijamin negara.
Privatisasi terhadap sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dihapuskan. Perawatan dan pendidikan anak-anak berada pada posisi sebagai pekerjaan publik, masyarakat menjaga semua anak, tidak peduli mereka dilahirkan dari rahim sendiri atau tidak. Inilah yang dimaksud kehancuran kontradiksi dalam relasi antar manusia.
Perombakan orientasi hubungan eksklusif menuju hubungan yang hangat, bersahabat dan bertangung jawab adalah manifestasi dari interaksi yang semata-mata tidak soal materi. Interaksi yang demikian akan terwujud pada tatanan masyarakat yang tidak kapitalistik. Di sini, cinta tidak akan menakutkan karena tidak manipulatif, bayi-bayi lahir bukanlah suatu bencana karena hubungan dilakukan dengan kesadaran manusiawi sehingga tidak perlu melakukan aborsi. Anak-anak bukanlah beban ekonomi maupun investasi ekonomi. Anak adalah milik dan menjadi tanggung jawab publik yang diasuh bersama untuk membangun dunia baru yang lebih indah dan manusiawi. Artinya, anak-anak tidak boleh mati sia-sia karena kelaparan apalagi teror norma.
*) Sarjana Sosiologi; aktif di KIPAS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung