WACANA
Oleh: Tatik Chusniyati*
Ada sebuah pameo di kalangan perguruan tinggi di Amerika yang diyakini kebenarannya, yakni All scientists are the same, until one of them writes a book. “Semua ilmuwan adalah sama, sampai satu dari mereka menulis buku”. Motto ini mengisyaratkan bahwa warga perguruan tinggi seharusnya akrab dengan hal-hal yang berkaitan dengan dunia buku sebagai sumber pengetahuan.
Apakah motto tersebut berlaku di perguruan tinggi kita? Tampaknya belum. Memang ada warga perguruan tinggi, terutama dosen, yang menulis dan mempublikasikan buku. Namun jumlahnya masih sangat sedikit. Yang banyak adalah dosen yang menulis laporan penelitian demi mendapatkan “kum” (cumulative credit point) yang tujuannya untuk mendongkrak jenjang akademis mereka.
Dari sedikit dosen di Indonesia yang (mau) menulis buku bisa disebut Prof. Dr. Budi Darma, sastrawan ulung yang juga seorang dosen dan mantan rektor IKIP Surabaya. Beliau menulis buku --untuk menyebut beberapa contoh-- Orang-orang Bloomington, Olenka, dan Harmonium yang hingga kini masih menjadi bahan kajian dalam kesastraan Indonesia modern. Ada pula nama Prof. Dr. Azyumardi Azra, dosen dan mantan rektor Universitas Islam Negeri Jakarta yang sempat dinobatkan sebagai penulis buku paling produktif oleh penerbit Mizan.
Selebihnya, tak dapat dimungkiri, sebagian besar dosen perguruan tinggi kita belum getol menulis buku. Alasan mereka bisa bervariasi. Ada yang mengatakan bahwa mereka terlalu sibuk mengampu banyak mata kuliah atau waktunya tersita habis oleh berbagai jabatan struktural akademis. Ada pula yang lebih tergiur proyek penelitian karena kucuran dananya lebih segar ketimbang honor dari menulis buku. Apa pun alasannya, saya kira tidak ada dosen yang secara jujur mengakui kalau mereka sebetulnya malas membaca dan kurang memaksimalkan nalar kritisnya sehingga tidak mampu menulis buku.
Adalah Frank Laurence Lucas, seorang penyair asal Inggris, pernah berujar, “One learns to write by reading good books, as one learns to talk by hearing good talkers.” (Seseorang belajar menulis dengan membaca buku-buku yang baik, seperti halnya dia belajar bicara dengan mendengarkan para pembicara yang baik). Suatu pernyataan yang sulit ditolak dan sekaligus sulit dilakukan. Kenyataannya, tidak jarang dosen yang tampak alergi membaca buku. Terus terang saya mengiyakan asumsi banyak orang bahwa membaca dan menulis buku masih merupakan aktivitas wah di kalangan dosen.
Lantas, apakah sebab sesungguhnya kalangan akademikus kita, khususnya kaum dosen, tidak bisa menulis? Menurut Budi Darma, seperti dikutip Wishnubroto Widarso dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa (1997), antara lain sebagai berikut:
Pertama, kurangnya kemampuan berpikir kritis. Seseorang yang tidak dapat berpikir kritis dengan sendirinya tidak dapat mengidentifikasi dan memilah-milah persoalan dengan baik. Persepsi orang semacam ini senantiasa kabur. Dan kekaburan persepsi merupakan sumber kelemahan seseorang untuk menemukan persoalan yang bisa ditulisnya.
Kedua, kurangnya kemampuan mengorganisasi pikiran. Prof. Robert Pinckert dalam bukunya The Truth About English mengatakan, “Menulis adalah hasil olah pikir. Jika seseorang tidak bisa berpikir, niscaya ia tidak bisa menulis. Belajar menulis berarti belajar berpikir.” Demikian kata Pinckert. Dengan kata lain, orang yang berpikir dengan baik berarti mampu mengorganisasi pikirannya dengan baik pula (Lihat: Wishnubroto, 1997:312).
Ketiga, kurangnya kemampuan menggunakan bahasa. Kendala ketiga ini erat kaitannya dengan kendala kedua. Masih menurut Robert Pinckert, kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa verbal biasanya dianggap sebagai penanda paling baik dari kemampuan berpikirnya. Senada dengan Pinckert, Budi Darma menyatakan bahwa kekurangmampuan mempergunakan bahasa terletak pada kekurangmampuan menggunakan logika, dan dalam tulisan yang berwibawa dapat dijamin bahasanya berfungsi dengan baik dan lincah.
Jika kita setuju bahwa dosen merupakan simbol kehidupan baca-tulis di kampus, dari fakta di atas tampak jelas kalau aktivitas membaca dan menulis buku belum membudaya di perguruan tinggi kita. Hal ini terbukti dengan jarangnya dosen yang memiliki animo tinggi terhadap buku, terlebih mau meluangkan waktu untuk berjuang menulis buku.
Selayaknya, dosen mau menyisakan waktu, berjuang melawan kemalasan, serta berusaha membaca dan setelah itu coba menuliskan apa yang dia dapatkan dari buku-buku yang dibacanya dalam bentuk karangan buku. Saya yakin, para dosen mempunyai buah pikiran, selain bisa diajarkan secara lisan kepada mahasiswa, juga dapat ditularkan kepada masyarakat umum dengan cara menuangkannya lewat karya buku.
Bila bercermin pada dosen-dosen perguruan tinggi di Amerika dan negara maju lainnya, dosen perguruan tinggi di tanah air sudah semestinya berupaya menulis buku (bermutu) dan mempublikasikannya. Hasil karya buku itulah nantinya yang membedakan derajat intelektualitas seorang dosen dengan dosen lainnya. Mengutip motto di awal tulisan ini (dengan sedikit gubahan), “All lecturers are the same, until one of them writes a book” (Semua dosen adalah sama, sampai satu dari mereka menulis buku).
* ) Pengajar AMCF Universitas Muhammadiyah Malang.
Oleh: Tatik Chusniyati*
Ada sebuah pameo di kalangan perguruan tinggi di Amerika yang diyakini kebenarannya, yakni All scientists are the same, until one of them writes a book. “Semua ilmuwan adalah sama, sampai satu dari mereka menulis buku”. Motto ini mengisyaratkan bahwa warga perguruan tinggi seharusnya akrab dengan hal-hal yang berkaitan dengan dunia buku sebagai sumber pengetahuan.
Apakah motto tersebut berlaku di perguruan tinggi kita? Tampaknya belum. Memang ada warga perguruan tinggi, terutama dosen, yang menulis dan mempublikasikan buku. Namun jumlahnya masih sangat sedikit. Yang banyak adalah dosen yang menulis laporan penelitian demi mendapatkan “kum” (cumulative credit point) yang tujuannya untuk mendongkrak jenjang akademis mereka.
Dari sedikit dosen di Indonesia yang (mau) menulis buku bisa disebut Prof. Dr. Budi Darma, sastrawan ulung yang juga seorang dosen dan mantan rektor IKIP Surabaya. Beliau menulis buku --untuk menyebut beberapa contoh-- Orang-orang Bloomington, Olenka, dan Harmonium yang hingga kini masih menjadi bahan kajian dalam kesastraan Indonesia modern. Ada pula nama Prof. Dr. Azyumardi Azra, dosen dan mantan rektor Universitas Islam Negeri Jakarta yang sempat dinobatkan sebagai penulis buku paling produktif oleh penerbit Mizan.
Selebihnya, tak dapat dimungkiri, sebagian besar dosen perguruan tinggi kita belum getol menulis buku. Alasan mereka bisa bervariasi. Ada yang mengatakan bahwa mereka terlalu sibuk mengampu banyak mata kuliah atau waktunya tersita habis oleh berbagai jabatan struktural akademis. Ada pula yang lebih tergiur proyek penelitian karena kucuran dananya lebih segar ketimbang honor dari menulis buku. Apa pun alasannya, saya kira tidak ada dosen yang secara jujur mengakui kalau mereka sebetulnya malas membaca dan kurang memaksimalkan nalar kritisnya sehingga tidak mampu menulis buku.
Adalah Frank Laurence Lucas, seorang penyair asal Inggris, pernah berujar, “One learns to write by reading good books, as one learns to talk by hearing good talkers.” (Seseorang belajar menulis dengan membaca buku-buku yang baik, seperti halnya dia belajar bicara dengan mendengarkan para pembicara yang baik). Suatu pernyataan yang sulit ditolak dan sekaligus sulit dilakukan. Kenyataannya, tidak jarang dosen yang tampak alergi membaca buku. Terus terang saya mengiyakan asumsi banyak orang bahwa membaca dan menulis buku masih merupakan aktivitas wah di kalangan dosen.
Lantas, apakah sebab sesungguhnya kalangan akademikus kita, khususnya kaum dosen, tidak bisa menulis? Menurut Budi Darma, seperti dikutip Wishnubroto Widarso dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa (1997), antara lain sebagai berikut:
Pertama, kurangnya kemampuan berpikir kritis. Seseorang yang tidak dapat berpikir kritis dengan sendirinya tidak dapat mengidentifikasi dan memilah-milah persoalan dengan baik. Persepsi orang semacam ini senantiasa kabur. Dan kekaburan persepsi merupakan sumber kelemahan seseorang untuk menemukan persoalan yang bisa ditulisnya.
Kedua, kurangnya kemampuan mengorganisasi pikiran. Prof. Robert Pinckert dalam bukunya The Truth About English mengatakan, “Menulis adalah hasil olah pikir. Jika seseorang tidak bisa berpikir, niscaya ia tidak bisa menulis. Belajar menulis berarti belajar berpikir.” Demikian kata Pinckert. Dengan kata lain, orang yang berpikir dengan baik berarti mampu mengorganisasi pikirannya dengan baik pula (Lihat: Wishnubroto, 1997:312).
Ketiga, kurangnya kemampuan menggunakan bahasa. Kendala ketiga ini erat kaitannya dengan kendala kedua. Masih menurut Robert Pinckert, kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa verbal biasanya dianggap sebagai penanda paling baik dari kemampuan berpikirnya. Senada dengan Pinckert, Budi Darma menyatakan bahwa kekurangmampuan mempergunakan bahasa terletak pada kekurangmampuan menggunakan logika, dan dalam tulisan yang berwibawa dapat dijamin bahasanya berfungsi dengan baik dan lincah.
Jika kita setuju bahwa dosen merupakan simbol kehidupan baca-tulis di kampus, dari fakta di atas tampak jelas kalau aktivitas membaca dan menulis buku belum membudaya di perguruan tinggi kita. Hal ini terbukti dengan jarangnya dosen yang memiliki animo tinggi terhadap buku, terlebih mau meluangkan waktu untuk berjuang menulis buku.
Selayaknya, dosen mau menyisakan waktu, berjuang melawan kemalasan, serta berusaha membaca dan setelah itu coba menuliskan apa yang dia dapatkan dari buku-buku yang dibacanya dalam bentuk karangan buku. Saya yakin, para dosen mempunyai buah pikiran, selain bisa diajarkan secara lisan kepada mahasiswa, juga dapat ditularkan kepada masyarakat umum dengan cara menuangkannya lewat karya buku.
Bila bercermin pada dosen-dosen perguruan tinggi di Amerika dan negara maju lainnya, dosen perguruan tinggi di tanah air sudah semestinya berupaya menulis buku (bermutu) dan mempublikasikannya. Hasil karya buku itulah nantinya yang membedakan derajat intelektualitas seorang dosen dengan dosen lainnya. Mengutip motto di awal tulisan ini (dengan sedikit gubahan), “All lecturers are the same, until one of them writes a book” (Semua dosen adalah sama, sampai satu dari mereka menulis buku).
* ) Pengajar AMCF Universitas Muhammadiyah Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar