REFLEKSI
Oleh: SUDJATMAKA*
Jika kita mencermati kondisi kehidupan kaum remaja saat ini, berbagai macam cemooh terlontar atas kenakalan remaja yang tak jarang malah menjurus pada tindak kriminal. Budi pekerti dan sopan santun yang kurang, sungguh membuat miris hati para orang tua (meski tidak semua remaja demikian). Uniknya, tak ada jawaban dan pemecahan, yang ada justru penyesalan tak berkesudahan serta pemberian vonis ‘salah’ pada si remaja tersebut. Adilkah?
Kita tahu, bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa yang rentan oleh ‘rayuan maut’ setan. Sebab, masa remaja adalah usia di mana jati diri seseorang mulai terbentuk, usia yang sedikit banyak mempengaruhi baik tidaknya diri seseorang ketika dewasa.
Harus diingat, bahwa jati diri tidak terbentuk hanya dengan satu kata: sim-salabim saja. Masa remaja adalah waktu untuk mengubah pandangan-pandangan fantasi seseorang menjadi realita. Tidak mudah mendoktrin remaja untuk menyetujui bahwa ”hal yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah”. Remaja bukan lagi anak kecil beridealisme tinggi, namun sangat idealis dalam bertindak. Mereka tidak lagi percaya kepada ksatria baja hitam, namun sejatinya sangat ingin tampil sebagai pahlawan --menggantikan si baja hitam dengan dirinya.
Untuk mencapai tindakan idealis, telinga dan mata mereka terlalu peka terhadap apa dan siapa yang mempengaruhinya. Mereka punya ‘baja hitam’ dan ‘Cinderella’ dalam bentuk ‘lain’ yang ingin sekali ditiru oleh alam bawah sadarnya (id). Dalam bentuk apa dan siapa idolanya itu, jelas sangat berarti bagi diri mereka.
Harus diakui, bahwa ketika memasuki masa-masa remaja, seorang remaja belum pasti seratus persen mau dan mampu melepas masa kanak-kanak mereka. Setidaknya mereka telah memiliki ‘alternatif’ cara sendiri demi mewujudkan apa yang mereka inginkan, yang jika dilakukan, kita belum tahu apakah akan berdampak positif atau negatif. Jadi, masa-masa ini adalah masa-masa ‘khusus’, di mana para orangtua seyogianya memberikan perhatian secara khusus pula.
Ironisnya, saat ini, banyak orangtua, yang entah apakah karena begitu terobsesi pada karir sehingga inderanya menjadi ‘kurang peka’ terhadap perubahan psikologis anak remajanya. Inilah perilaku orangtua yang tak peduli dengan ‘nasib’ anak-anak mereka. Mereka tak mau ambil pusing dengan masalah psikologis anak remaja mereka.
Banyak orangtua yang tidak memberikan perlindungan, penjagaan, dan pengawasan terhadap anak remajanya. Mereka berdalih, bahwa asal sudah terpenuhi semua kebutuhan material anak-anak mereka, selesai masalah. Sikap orangtua yang seperti inilah yang biasa disebut pola tidak peduli (non-protective action).
Ada pula orangtua, yang karena terlalu takut pada dunia, sehingga anaknya ‘dipasung’ atau ‘dihimpit’ dengan kegiatan-kegiatan yang sama sekali tak menyisakan waktu luang bagi si anak untuk berinteraksi dengan lingkungan remajanya. Tindakan orangtua ini disebut pola yang terlalu peduli (over-protective action).
Terlepas dari dampak apa yang bisa ditimbulkan dari penerapan dua pola tindakan orangtua tersebut di atas --baik non-protective action maupun over-protective action--yang pasti, dari dua perlakuan tersebut, ternyata justru banyak membawa dampak buruk bagi sang anak.
Kita juga tahu, bahwa tindakan orangtua yang buruk, tidak dekatnya orangtua dengan anak, atau orangtua yang terlalu domineering (dominan) dalam pengaturan hidup sang anak, tidak akan membuat sang anak merasakan kenyamanan dalam keluarga. Mereka kemudian mencari ‘sosok lain’ atau ‘dunia lain’, di mana segala ‘aksi’ mereka bisa didengar, diterima, dan mereka memiliki hak untuk bersuara.
Celakanya, karena tak ada yang memberitahu dampak buruk dari perilaku mereka serta tak ada contoh baik yang menyentuh jiwa mereka, maka sudah barang tentu mereka akan mencontoh figur yang membuat mereka merasa ‘lebih berarti’, sekalipun tindakan figur itu tidak masuk kategori ‘terpuji’. Dalam konteks ini, mereka merasa baru diakui sebagai laki-laki jika berani merokok dan diakui sebagai perempuan jika berhasil menggaet pacar yang membawa Jaguar ke sekolah. Harus diakui, dengan hal-hal semacam ini, mereka tentu merasa tertantang!
Kini, masyarakat harus bisa memahami dengan lebih gamblang, terkait ‘perseteruan’ yang sebenarnya terjadi di antara dua pihak, ”Remaja vs Dewasa”. Orang dewasa sering men-judge (menghakimi) remaja nakal, yakni mereka yang kebut-kebutan, merokok, mabuk, hamil di luar nikah, dan putus sekolah sebagai sosok yang ‘tidak tahu aturan’. Sedangkan remaja baik adalah yang duduk manis dengan tangan terlipat di atas meja, pergi les setiap hari, jarang berbicara, dan penurut.
Dari fenomena-fenomena di atas, orang dewasa dengan seenaknya malah melontarkan komentar-komentar tajam terhadap kenakalan remaja. Mereka bertindak sebagai hakim yang paling benar. Mereka merasa ‘sempurna’ dengan kedewasaan mereka. Padahal bila orang dewasa mau membuka mata dan membandingkan, ternyata banyak sekali tindakan orang dewasa --yang katanya sempurna itu-- yang jauh menyimpang dari apa yang telah diharuskan oleh orang dewasa itu sendiri.
Lihat saja, para anggota dewan yang (katanya) wakil rakyat, justru paling banyak makan duit rakyat. Siapa pula yang datang ke lokalisasi malam-malam dan mengabarkan pada keluarganya bahwa hari itu lembur? ltu pendiskreditan namanya! Jika orangtua boleh, kenapa anak tidak? Toh mereka sama-sama manusia bukan?
Hal yang membedakan kenakalan remaja dengan ‘kenakalan’ orang dewasa adalah bahwa remaja tidak benar-benar kehilangan kreativitasnya. Pada dasarnya mereka selalu ingin tahu, ingin mencoba, tidak tahan pada tantangan. Itu manusiawi! Maka jelas tidak adil, bila ada orang dewasa yang ‘merenggut’ pikiran-pikiran mereka dengan doktrin yang akan menghapus arti seorang remaja sebagai manusia. Semua orang normal pasti pernah mengalami hasrat yang begitu menggebu pada usia remaja mereka. Dan dalam benak remaja pasti tersimpan berbagai macam pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang tepat.
Uniknya, lagi-lagi, kebanyakan orang selalu berpikir siapa kambing hitamnya dan siapa yang paling pantas disalahkan. Dan tentu saja, kebanyakan orang (dewasa) pasti menempatkan si remaja pada pihak yang lebih bersalah. Sungguh ironis! Orang dewasa sepertinya hanya ingin menangnya sendiri. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana cara menghapuskan kesalahan tersebut, supaya tidak ada lagi remaja yang menjadi korban-korban setan selanjutnya.
*) Aktif bergiat di Divisi Sosial, Pusat Pengkajian Kebangsaan, Yogyakarta.
Oleh: SUDJATMAKA*
Jika kita mencermati kondisi kehidupan kaum remaja saat ini, berbagai macam cemooh terlontar atas kenakalan remaja yang tak jarang malah menjurus pada tindak kriminal. Budi pekerti dan sopan santun yang kurang, sungguh membuat miris hati para orang tua (meski tidak semua remaja demikian). Uniknya, tak ada jawaban dan pemecahan, yang ada justru penyesalan tak berkesudahan serta pemberian vonis ‘salah’ pada si remaja tersebut. Adilkah?
Kita tahu, bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa yang rentan oleh ‘rayuan maut’ setan. Sebab, masa remaja adalah usia di mana jati diri seseorang mulai terbentuk, usia yang sedikit banyak mempengaruhi baik tidaknya diri seseorang ketika dewasa.
Harus diingat, bahwa jati diri tidak terbentuk hanya dengan satu kata: sim-salabim saja. Masa remaja adalah waktu untuk mengubah pandangan-pandangan fantasi seseorang menjadi realita. Tidak mudah mendoktrin remaja untuk menyetujui bahwa ”hal yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah”. Remaja bukan lagi anak kecil beridealisme tinggi, namun sangat idealis dalam bertindak. Mereka tidak lagi percaya kepada ksatria baja hitam, namun sejatinya sangat ingin tampil sebagai pahlawan --menggantikan si baja hitam dengan dirinya.
Untuk mencapai tindakan idealis, telinga dan mata mereka terlalu peka terhadap apa dan siapa yang mempengaruhinya. Mereka punya ‘baja hitam’ dan ‘Cinderella’ dalam bentuk ‘lain’ yang ingin sekali ditiru oleh alam bawah sadarnya (id). Dalam bentuk apa dan siapa idolanya itu, jelas sangat berarti bagi diri mereka.
Harus diakui, bahwa ketika memasuki masa-masa remaja, seorang remaja belum pasti seratus persen mau dan mampu melepas masa kanak-kanak mereka. Setidaknya mereka telah memiliki ‘alternatif’ cara sendiri demi mewujudkan apa yang mereka inginkan, yang jika dilakukan, kita belum tahu apakah akan berdampak positif atau negatif. Jadi, masa-masa ini adalah masa-masa ‘khusus’, di mana para orangtua seyogianya memberikan perhatian secara khusus pula.
Ironisnya, saat ini, banyak orangtua, yang entah apakah karena begitu terobsesi pada karir sehingga inderanya menjadi ‘kurang peka’ terhadap perubahan psikologis anak remajanya. Inilah perilaku orangtua yang tak peduli dengan ‘nasib’ anak-anak mereka. Mereka tak mau ambil pusing dengan masalah psikologis anak remaja mereka.
Banyak orangtua yang tidak memberikan perlindungan, penjagaan, dan pengawasan terhadap anak remajanya. Mereka berdalih, bahwa asal sudah terpenuhi semua kebutuhan material anak-anak mereka, selesai masalah. Sikap orangtua yang seperti inilah yang biasa disebut pola tidak peduli (non-protective action).
Ada pula orangtua, yang karena terlalu takut pada dunia, sehingga anaknya ‘dipasung’ atau ‘dihimpit’ dengan kegiatan-kegiatan yang sama sekali tak menyisakan waktu luang bagi si anak untuk berinteraksi dengan lingkungan remajanya. Tindakan orangtua ini disebut pola yang terlalu peduli (over-protective action).
Terlepas dari dampak apa yang bisa ditimbulkan dari penerapan dua pola tindakan orangtua tersebut di atas --baik non-protective action maupun over-protective action--yang pasti, dari dua perlakuan tersebut, ternyata justru banyak membawa dampak buruk bagi sang anak.
Kita juga tahu, bahwa tindakan orangtua yang buruk, tidak dekatnya orangtua dengan anak, atau orangtua yang terlalu domineering (dominan) dalam pengaturan hidup sang anak, tidak akan membuat sang anak merasakan kenyamanan dalam keluarga. Mereka kemudian mencari ‘sosok lain’ atau ‘dunia lain’, di mana segala ‘aksi’ mereka bisa didengar, diterima, dan mereka memiliki hak untuk bersuara.
Celakanya, karena tak ada yang memberitahu dampak buruk dari perilaku mereka serta tak ada contoh baik yang menyentuh jiwa mereka, maka sudah barang tentu mereka akan mencontoh figur yang membuat mereka merasa ‘lebih berarti’, sekalipun tindakan figur itu tidak masuk kategori ‘terpuji’. Dalam konteks ini, mereka merasa baru diakui sebagai laki-laki jika berani merokok dan diakui sebagai perempuan jika berhasil menggaet pacar yang membawa Jaguar ke sekolah. Harus diakui, dengan hal-hal semacam ini, mereka tentu merasa tertantang!
Kini, masyarakat harus bisa memahami dengan lebih gamblang, terkait ‘perseteruan’ yang sebenarnya terjadi di antara dua pihak, ”Remaja vs Dewasa”. Orang dewasa sering men-judge (menghakimi) remaja nakal, yakni mereka yang kebut-kebutan, merokok, mabuk, hamil di luar nikah, dan putus sekolah sebagai sosok yang ‘tidak tahu aturan’. Sedangkan remaja baik adalah yang duduk manis dengan tangan terlipat di atas meja, pergi les setiap hari, jarang berbicara, dan penurut.
Dari fenomena-fenomena di atas, orang dewasa dengan seenaknya malah melontarkan komentar-komentar tajam terhadap kenakalan remaja. Mereka bertindak sebagai hakim yang paling benar. Mereka merasa ‘sempurna’ dengan kedewasaan mereka. Padahal bila orang dewasa mau membuka mata dan membandingkan, ternyata banyak sekali tindakan orang dewasa --yang katanya sempurna itu-- yang jauh menyimpang dari apa yang telah diharuskan oleh orang dewasa itu sendiri.
Lihat saja, para anggota dewan yang (katanya) wakil rakyat, justru paling banyak makan duit rakyat. Siapa pula yang datang ke lokalisasi malam-malam dan mengabarkan pada keluarganya bahwa hari itu lembur? ltu pendiskreditan namanya! Jika orangtua boleh, kenapa anak tidak? Toh mereka sama-sama manusia bukan?
Hal yang membedakan kenakalan remaja dengan ‘kenakalan’ orang dewasa adalah bahwa remaja tidak benar-benar kehilangan kreativitasnya. Pada dasarnya mereka selalu ingin tahu, ingin mencoba, tidak tahan pada tantangan. Itu manusiawi! Maka jelas tidak adil, bila ada orang dewasa yang ‘merenggut’ pikiran-pikiran mereka dengan doktrin yang akan menghapus arti seorang remaja sebagai manusia. Semua orang normal pasti pernah mengalami hasrat yang begitu menggebu pada usia remaja mereka. Dan dalam benak remaja pasti tersimpan berbagai macam pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang tepat.
Uniknya, lagi-lagi, kebanyakan orang selalu berpikir siapa kambing hitamnya dan siapa yang paling pantas disalahkan. Dan tentu saja, kebanyakan orang (dewasa) pasti menempatkan si remaja pada pihak yang lebih bersalah. Sungguh ironis! Orang dewasa sepertinya hanya ingin menangnya sendiri. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana cara menghapuskan kesalahan tersebut, supaya tidak ada lagi remaja yang menjadi korban-korban setan selanjutnya.
*) Aktif bergiat di Divisi Sosial, Pusat Pengkajian Kebangsaan, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar