Oleh: Rijal Mumazziq Z*
Dengan membanjirnya media (cetak maupun elektronik), informasi yang tersaji begitu beragam. Sayang, setiap informasi tak selamanya membuat kita tercerahkan dan well informed. Sebab dari sekian banyak sajian media, menu kekerasan-lah yang paling tampak. Di televisi, kekerasan disajikan dengan berbagai program. Dari yang dikemas dengan reality show, sinetron, film hingga berita kriminal. Di media cetak, kekerasan tampil dengan vulgar melalui teks berita, gambar, teras berita (lead) yang mencolok, serta penggunaan kalimat bombastis, meski tak sesuai dengan EYD.
Kedua jenis media ini, tanpa sengaja telah melahirkan kekerasan psikologis terhadap masyarakat. Pemirsa dan pembaca diteror melalui sajian berita disertai gambar agar lebih valid, “wah”, dan dramatis. Namun efek yang tercipta justru sebaliknya, sisi positif dari pemberitaan malah tertutup efek negatifnya. Pendek kata, apa yang disajikan media massa tak lebih dari melakukan kekerasan ulang dan teror lewat komoditas informasi yang diberitakannya. Kekerasan yang tersaji di media (baik eksplisit maupun implisit) akan berpengaruh pada perilaku seseorang, baik temporer maupun permanen. Alhasil, tanpa sadar media telah menjustifikasi kekerasan adalah hal lumrah yang tak perlu disesali. Nah, inilah yang harus kita sesalkan.
Dalam konteks ini, masyarakat ditempatkan sebagai objek semata, yang dibombardir dengan begitu banyak informasi berupa gambar, teks, bunyi dan pesan-pesan visual. Dalam kondisi seperti ini masyarakat yang sebenarnya jenuh media (media saturated society) telah melahirkan apa yang disebut Paul F. Lazzarsfeld sebagai narcotizing dysfunction. Istilah yang menggambarkan media massa sebagai obat bius yang paling bisa diterima, yang efektif membuat orang kecanduan.
Meminjam terminologi di atas, orang mengonsumsi informasi apapun bukan karena butuh, tetapi hanya itulah yang terus menerus disuguhkan kepada mereka. Dengan media orang akan merasa semakin banyak memiliki informasi tentang dunia dan peristiwa di sekitar mereka, tetapi pengetahuan itu sebenarnya hanyalah permukaan saja. Dengan informasi yang melimpah orang seakan bisa menjadi tahu semua hal, meskipun sebenarnya hanyalah dangkal dan terpenggal-penggal.
Alhasil, antara informasi penting dan informasi “sampah”, berita penting atau berita menyesatkan tak tersaring dengan baik. Efek dominonya, kapasitas masyarakat untuk merefleksi dan berimajinasi kian tumpul. Lalu bagaimana agar masyarakat mampu menghadapi efek jangka panjang narkotisasi media ini?
Butuh media literacy
Selama ini sudah ada media watch, ombudsman, dan KPID, sebagai pemantau atau pengawas kinerja media. Namun peran ketiganya masih menjadi tanda tanya. Apakah mereka sepenuhnya netral, mandiri secara finansial, dan terbebas dari vested interest? Jika anggotanya mayoritas orang-orang pers, apakah mereka sepenuhnya akan bersikap kritis dan terbuka kalau sudah menyangkut kepentingan media mereka sendiri?
Inilah yang membedakan peran lembaga-lembaga di atas dengan media literacy, istilah bagus namun terlambat kita konsumsi. Program media literacy mengembalikan pemberdayaan sepenuhnya pada diri masyarakat (pembaca, pendengar, dan pemirsa). Bukan dipasrahkan pada lembaga-lembaga di atas.
Istilah di atas, lebih mudah dipahami sebagai pendidikan melek media, yang dibutuhkan untuk memahami, menganalisa serta bersikap kritis terhadap pesan-pesan dan isi media. Di samping itu, media literacy menanamkan kebiasaan selektif atas setiap mata acara yang akan ditonton atau setiap berita yang akan dibaca.
Art Silverblatt (1999; 86) mengidentifikasi paling tidak ada lima unsur fundamental dalam media literacy. Yaitu kesadaran terhadap dampak media; pemahaman terhadap proses komunikasi massa; strategi untuk menganalisa dan mendiskusikan pesan-pesan media; pemahaman terhadap isi media sebagai teks yang menyajikan pandangan bagi kehidupan dan budaya kita; serta kesanggupan untuk menikmati, memahami, dan mengapresiasi isi media.
Mula-mula, kampanye pendidikan melek media haruslah dimulai dari rumah, sekolah, tempat ibadah, dan lembaga sosial umumnya. Sebab, dengan mengawalinya dari tempat-tempat tersebut, maka program pendidikan melek media akan berjalan sebagaimana “gerakan budaya”; lebih halus namun massif, yang tampil secara informal tapi mengena. Sebagai “gerakan budaya”, ia harus ditopang oleh kurikulum pendidikan melek media yang sistematis dan terencana, yang dijadikan untuk memberantas “buta huruf media”.
Selanjutnya, sebagai “patokan” program pendidikan melek media, maka bisa diawali dengan mengetahui (ke)pemilik(an) media, menganalisa orientasi profitnya, sekaligus membedah efek setiap “menu” yang disajikan media. Pada tataran ini, segala macam bias yang tersembunyi dan disengaja (hidden and intended bias) dalam pemberitaan dan kepentingan di balik media bisa dilacak. Bukankah masyarakat yang kritis akan menuntut media semakin bertanggungjawab?
Lalu bagaimana posisi KPID, media watch, dan ombudsman? Sebagai orang-orang yang mengerti “jeroan” media, tentu ketiganya tetap dibutuhkan dalam rangka penyusunan kurikulum media literacy yang tepat dan silabus yang sistematis, agar arah pemberantasan “buta huruf media” bisa berjalan dengan tepat dan efektif. Peran mereka dibutuhkan untuk membantu mensosialisasikan dan mengawal pendidikan melek media, agar masyarakat merasakan efek positif keberadaan lembaga-lembaga di atas.
*) Pemerhati media, mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Surabaya.
Dengan membanjirnya media (cetak maupun elektronik), informasi yang tersaji begitu beragam. Sayang, setiap informasi tak selamanya membuat kita tercerahkan dan well informed. Sebab dari sekian banyak sajian media, menu kekerasan-lah yang paling tampak. Di televisi, kekerasan disajikan dengan berbagai program. Dari yang dikemas dengan reality show, sinetron, film hingga berita kriminal. Di media cetak, kekerasan tampil dengan vulgar melalui teks berita, gambar, teras berita (lead) yang mencolok, serta penggunaan kalimat bombastis, meski tak sesuai dengan EYD.
Kedua jenis media ini, tanpa sengaja telah melahirkan kekerasan psikologis terhadap masyarakat. Pemirsa dan pembaca diteror melalui sajian berita disertai gambar agar lebih valid, “wah”, dan dramatis. Namun efek yang tercipta justru sebaliknya, sisi positif dari pemberitaan malah tertutup efek negatifnya. Pendek kata, apa yang disajikan media massa tak lebih dari melakukan kekerasan ulang dan teror lewat komoditas informasi yang diberitakannya. Kekerasan yang tersaji di media (baik eksplisit maupun implisit) akan berpengaruh pada perilaku seseorang, baik temporer maupun permanen. Alhasil, tanpa sadar media telah menjustifikasi kekerasan adalah hal lumrah yang tak perlu disesali. Nah, inilah yang harus kita sesalkan.
Dalam konteks ini, masyarakat ditempatkan sebagai objek semata, yang dibombardir dengan begitu banyak informasi berupa gambar, teks, bunyi dan pesan-pesan visual. Dalam kondisi seperti ini masyarakat yang sebenarnya jenuh media (media saturated society) telah melahirkan apa yang disebut Paul F. Lazzarsfeld sebagai narcotizing dysfunction. Istilah yang menggambarkan media massa sebagai obat bius yang paling bisa diterima, yang efektif membuat orang kecanduan.
Meminjam terminologi di atas, orang mengonsumsi informasi apapun bukan karena butuh, tetapi hanya itulah yang terus menerus disuguhkan kepada mereka. Dengan media orang akan merasa semakin banyak memiliki informasi tentang dunia dan peristiwa di sekitar mereka, tetapi pengetahuan itu sebenarnya hanyalah permukaan saja. Dengan informasi yang melimpah orang seakan bisa menjadi tahu semua hal, meskipun sebenarnya hanyalah dangkal dan terpenggal-penggal.
Alhasil, antara informasi penting dan informasi “sampah”, berita penting atau berita menyesatkan tak tersaring dengan baik. Efek dominonya, kapasitas masyarakat untuk merefleksi dan berimajinasi kian tumpul. Lalu bagaimana agar masyarakat mampu menghadapi efek jangka panjang narkotisasi media ini?
Butuh media literacy
Selama ini sudah ada media watch, ombudsman, dan KPID, sebagai pemantau atau pengawas kinerja media. Namun peran ketiganya masih menjadi tanda tanya. Apakah mereka sepenuhnya netral, mandiri secara finansial, dan terbebas dari vested interest? Jika anggotanya mayoritas orang-orang pers, apakah mereka sepenuhnya akan bersikap kritis dan terbuka kalau sudah menyangkut kepentingan media mereka sendiri?
Inilah yang membedakan peran lembaga-lembaga di atas dengan media literacy, istilah bagus namun terlambat kita konsumsi. Program media literacy mengembalikan pemberdayaan sepenuhnya pada diri masyarakat (pembaca, pendengar, dan pemirsa). Bukan dipasrahkan pada lembaga-lembaga di atas.
Istilah di atas, lebih mudah dipahami sebagai pendidikan melek media, yang dibutuhkan untuk memahami, menganalisa serta bersikap kritis terhadap pesan-pesan dan isi media. Di samping itu, media literacy menanamkan kebiasaan selektif atas setiap mata acara yang akan ditonton atau setiap berita yang akan dibaca.
Art Silverblatt (1999; 86) mengidentifikasi paling tidak ada lima unsur fundamental dalam media literacy. Yaitu kesadaran terhadap dampak media; pemahaman terhadap proses komunikasi massa; strategi untuk menganalisa dan mendiskusikan pesan-pesan media; pemahaman terhadap isi media sebagai teks yang menyajikan pandangan bagi kehidupan dan budaya kita; serta kesanggupan untuk menikmati, memahami, dan mengapresiasi isi media.
Mula-mula, kampanye pendidikan melek media haruslah dimulai dari rumah, sekolah, tempat ibadah, dan lembaga sosial umumnya. Sebab, dengan mengawalinya dari tempat-tempat tersebut, maka program pendidikan melek media akan berjalan sebagaimana “gerakan budaya”; lebih halus namun massif, yang tampil secara informal tapi mengena. Sebagai “gerakan budaya”, ia harus ditopang oleh kurikulum pendidikan melek media yang sistematis dan terencana, yang dijadikan untuk memberantas “buta huruf media”.
Selanjutnya, sebagai “patokan” program pendidikan melek media, maka bisa diawali dengan mengetahui (ke)pemilik(an) media, menganalisa orientasi profitnya, sekaligus membedah efek setiap “menu” yang disajikan media. Pada tataran ini, segala macam bias yang tersembunyi dan disengaja (hidden and intended bias) dalam pemberitaan dan kepentingan di balik media bisa dilacak. Bukankah masyarakat yang kritis akan menuntut media semakin bertanggungjawab?
Lalu bagaimana posisi KPID, media watch, dan ombudsman? Sebagai orang-orang yang mengerti “jeroan” media, tentu ketiganya tetap dibutuhkan dalam rangka penyusunan kurikulum media literacy yang tepat dan silabus yang sistematis, agar arah pemberantasan “buta huruf media” bisa berjalan dengan tepat dan efektif. Peran mereka dibutuhkan untuk membantu mensosialisasikan dan mengawal pendidikan melek media, agar masyarakat merasakan efek positif keberadaan lembaga-lembaga di atas.
*) Pemerhati media, mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar