Senin

Dolanan Anak Kian Terpinggirkan

REFLEKSI
Oleh: Supadiyanto*

Kecanggihan teknologi dan kemajuan zaman dewasa ini berdampak negatif dalam menyingkirkan sejumlah pranata sosial. Salah satunya adalah kepunahan permainan tradisional bernama dolanan dan lagu anak-anak. Pranata sosial yang dahulu kala menjadi pegangan hidup bagi semua kalangan, kini telah luntur seiring dengan merebaknya budaya Barat --yang dianggap serba modern itu.
Eksistensi dolanan dan lagu anak-anak (permainan tradisional) dewasa ini kian teraleniasi. Padahal, permainan tradisional yang tersebar dari Sabang sampai Merauke itu, berjasa besar bagi pencapaian puncak sejarah bangsa ini.
Dahulu kala, anak-anak dimanjakan oleh orangtua dan keluarga mereka dengan beragam dolanan dan lagu anak-anak, kini telah tergantikan oleh budaya “hiphop” yang serba glamor. Anak-anak di desa, apalagi yang tinggal di daerah perkotaan sudah tak kenal lagi dengan permainan tradisional bernama gobag sodor, dakon, sekongan, benthik, jethungan, bekelan, teklek, waru-waru doyong, gundhul-gundhul pacul, ilir-ilir dan sebagainya. Semua telah tergantikan oleh budaya instan sekelas playstation, hingar-bingar mal dan lain-lain --yang membutuhkan biaya mahal.
Sebagai implikasi negatif, mulai lunturnya semangat nasionalisme yang menggelayuti seluruh anak bangsa. Amati saja, para siswa di sekolah sudah lupa dengan nama pahlawan nasional, malah lebih hafal tokoh komik seperti Batman, Superman atau Superboy.
Parahnya lagi, terjadi amnesia sejarah yang akut dan kronis. Publik secara bersamaan telah melupakan sejarah nasional 60 tahun silam. Buktinya, generasi 80-an mudah melupakan sejarah pra kemerdekaan. Senada dengan itu, generasi 90-an pun telah melupakan segala peristiwa nasional semenjak 70-an. Tragis lagi, anak muda zaman sekarang, terhipnotis melupakan kejadian penting semasa suksesi Orde Baru ke Orde Reformasi. Bahkan kejadian penting setahun atau dua tahun lalu, telah terkubur dalam memori sang pelupa. Bangsa ini, kini telah menderita amnesia permanen. Kalaupun ingat, hanya parsial, sepotong-potong dan ingatan pendek-pendek.
Akar permasalahan dari semua itu, hanyalah perkara sepele. Yaitu, publik mulai melupakan sejumlah pranata social --yang salah satunya tersurat dan tersiratkan melalui dolanan anak-anak itu. Lama kelamaan, orangtua sudah tak mengenal lagi jenis dolanan dan lagu anak-anak untuk dimainkan atau didendangkan setiap sore, malam hari atau saat paling romantis, ketika bulan purnama tiba. Akhirnya anak-anak mereka tak lagi bisa men-transfer of knowledge nilai-nilai budaya yang dianut orang tua mereka.
Pada skala makrologis, dolanan dan lagu anak-anak setiap daerah yang memiliki kekayaan beragam mulai musnah. Inilah yang menyebabkan semakin terasingnya sumber kearifan lokal. Pengaruh keraton --jumlahnya puluhan di Tanah Air—yang dulu masih sangat kuat bagi dinamika masyarakat mulai bergeser sejalan dengan kemajuan cara paradigma berpikir masyarakat.
Secara sederhana, pengaruh besar keraton menjadi tereliminir oleh kecanggihan teknologi bernama dengan “teve atau internet”. Melalui piranti canggih itu, pendapat serta opini publik mudah disetir oleh pihak tertentu guna menggolkan kepentingan primordialistisnya. Meski di sisi lain, kemajuan teknologi dan perkembangan zaman itu juga bermanfaat besar bagi pengakselerasian perkembangan budaya lokal jika dapat dimanfaat dengan baik.
Pemerintah daerah dan pusat perlu merestorasi kembali atau perevitalisasian dolanan dan lagu anak-anak itu untuk menumbuhkan rasa nasionalisme yang sempat sirna dari jagat Nusantara ini. Selama ini, semangat nasionalisme selalu melekat dengan terminologi bela negara. Padahal kalau dipahami lebih kompleks, elan nasionalisme juga pantas disandangkan pada karakter serta sikap publik yang berniat melestarikan kebudayaan lokal.
Karena sejatinya, elan nasionalisme bersumber pada rasa kecintaan Tanah Air melalui keragaman budaya lokal yang pernah eksis di dalamnya. Termasuk, dolanan dan lagu anak-anak yang mampu membangkitkan semangat juang warga negara semasa zaman kemerdekaan dahulu. Dolanan dan lagu anak-anak tak saja pernah berperan dalam membangkitkan semangat nasionalisme, sekaligus menjadi hiburan tersendiri bagi keluarga masa itu. Mungkinkah publik bisa menikmati kearifan lokal model dolanan dan lagu anak-anak itu di tengah hingar-bingar kemajuan teknologi dewasa ini?
*) Staf pengajar Jogja Writing School dan peneliti muda pada ICRC, FMIPA UNY& Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung