Senin

Formalin vs Nasionalisme

TEROPONG
Oleh: Ratih Indri Hapsari*

Di bulan Agustus ini bersamaan dengan momentum peringatan hari kemerdekaan RI ke-62, ada banyak (berita) kejutan bagi masyarakat ndonesia. Selain persoalan kekeringan yang rutin melanda setiap tahun, juga embargo Cina terhadap ekspor ikan dari Indonesia. Pemberitaan tentang embargo Cina pada ikan asal Indonesia diawali hiruk-pikuknya pemberitaan produk kosmetik dan makanan dari Cina di Indonesia yang terindikasi mengandung formalin.
Formalin di negara Uni Eropa dilarang dalam segala jenis penggunaan termasuk untuk pengawetan mayat sekalipun. Sebab, Formaldehid digolongkan sebagai bahan berbahaya yang bersifat toksik (beracun) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Terkait masalah ini, produk-produk Cina yang teridentifikasi formalin dilarang masuk ke Indonesia. Entah bagaimana prosedur pencegahan masuk dan dipasarkan produk berbahaya di Indonesia. Ada yang aneh dalam penanggulangan masalah produk berformalin asal Cina itu. Kosmetik dan gula-gula asal Cina dirasia secara langsung di pasar-pasar tradisional oleh dinas kesehatan diikuti pemberitaan tentang proses rasia, baik media elektronik maupun cetak di tanah air.
Eforia pemberitaan tentang produk Cina yang terkontaminasi bahan berbahaya itu kian gencar, padahal produk tersebut sudah lama ada dan terjual massal di pasaran jauh hari sebelumnya. Bukankah produk tersebut sudah berhasil lolos hingga masuk pasaran, yang seharusnya menandakan kualitas produk karena terlebih dahulu telah diuji kelayakan untuk dikonsumsi.
Cina sendiri langsung balik menampar Indonesia dengan melarang impor ikan dari negeri Katulistiwa ini. Disinyalir, tindakan Cina sebagai aksi balasan terhadap pemboikotan produk Cina di pasar Indonesia. Ikan asal Indonesia yang selama ini diandalkan dan diakui keamanannya oleh masyarakat dunia, oleh Cina diidentifikasi mengandung zat berbahaya seperti toksin, pathogen dan bahan kimia lain.
Yang membuat sia-sia secara substansial, pemberitaan tersebut cenderung digiring pada sudut perseteruan antara Indonesia-Cina, bukan pada substansi perlindungan hak asasi konsumen. Secara politis, perseteruan yang diciptakan akibat hiruk-pikuk pemberitaan memiliki kepentingan politis yang patut dicurigai. Selain persoalan tersebut sudah basi, pengangkatan pemberitaan yang berlebihan justru berbarengan dengan momentum HUT Kemerdekaan RI.
Tercabik
Selain Formalin, bumbu nasionalisme yang ditampilkan dalam rangka menyedapkan ritual tujuhbelasan adalah pemberitaan penemuan (padahal bukan hal baru) lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh Roy Suryo dari museum di Belanda dalam versi tiga stanza. Di mana menjadi alasan lagu ‘temuan’ tersebut terus menerus dilantunkan dan ditampilkan teksnya pada setiap ulasan yang juga menjadi item berita di tanah air belakangan ini.
Nasionalisme adalah ideologi yang sering dimanfaatkan elite penguasa untuk mempertahan kekuasan dan sistem pemerintahan atas nama kepentingan rakyat dan berlindung di balik tameng barisan rakyat cinta tanah air.
“Ganyang Malaysia” adalah politik slogan Soekarno untuk mengalihkan perhatian rakyat dan berkonsentrasi pada semangat nasionalisme. Selanjutnya, selama 32 tahun, Soeharto memerintah Indonesia dengan menggunakan strategi pasar untuk menaikkan pendapatan penduduk sehingga pertumbuhan ekonomi naik drastis disertai pemberitaan luar biasa tentang kemajuan pembangunan Indonesia. Namun, pada kenyataanya hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan, sebagian besar masyarakat digencet kemandirian ekonominya dan dikebiri kemerdekaan berpendapatnya.
Untuk mengatasi gejolak rakyat dalam tataran psikologi massa didistribusikan imaji bahwa Indonesia adalah bangsa berbudaya luhur yang tak boleh dinodai budaya asing. Anehnya, budaya asing dibayangkan sebagai sikap, nilai dan pandangan hidup yang tidak pantas, akan tetapi di sana tidak termasuk modal asing untuk dihindari.
Selama ini nasionalisme yang digunakan penguasa adalah jenis nasionalisme artikuaris, --nasionalisme yang selalu mengaitkan dengan sejarah kejayaan masa lalu tanpa melihat keterkaitan dengan masa sekarang, dan terlebih masa depan. Nasionalisme yang selalu mengagung-agungkan sejarah dan kebudayaan bangsa, namun pelaksanaanya pada keadaan aktual justru sebaliknya, menginjak-injak budaya dan sejarah bangsa serta dimanfaatkan demi kepentingan kekuasaan.
Di sini, transaksi ideologi dan penghianatan atas kepercayaan rakyat sulit dihindari. Hubungan antara nilai-nilai antik yang dimuliakan dan tingkah laku sosial-politik serba tidak jelas, sering sambil membanggakan kebudayaan bangsa, dengan mudahnya mencabut nyawa orang. Atau sambil menyerukan toleransi, tanpa malu-malu menculik orang-orang yang berbeda pendapat. Dan, sambil berkotbah tentang tepo sliro, tapi mencuri uang milik rakyat dan merampas paksa tanah penduduk.
Dalam sistem produksi dan reproduksi dengan sistem pasar bebas adalah Suffient --terimplikasi praktis yang diatasi secara divisional bukan perombakan sistem sosio ekonomi secara mendasar. Konflik dipahami secara parsonian, --seharusnya diperlakukan hal fungsional sebagai penguatan struktur. Berdasarkan kondisi obyektif, basis material masyarakat dengan cara produksi yang serba mengagungkan kekuatan pasar, sangat rentan terjadinya konflik yang bersifat sistemik.
Menurut Lewis Coser, konflik dipahami sebagai refleksi kondisi struktur sosial atau akibat instrumental dari ketidakcocokan isi struktur (1). Kekeliruan interpretasi atas konflik merupakan refleksi dan evaluasi tentang begitu merasuknya sebuah model pemaknaan realitas sampai-sampai kekeliruan bersifat total (2). Rasionalitas bertujuan praktis yang menunjukkan, arah sosial-keabsahan generalisasi konflik kultural dan bersamaan dengan itu dialogisme, demokrasi dan kerendahan hati para elite dianggap sebagai solusi pragmatis (3).
Persoalan yang dialami Indonesia tidak akan mereda dan tuntas dengan menelan mentah pil nasionalisme atas dasar resep salah pemerintah. Hal tersebut dipicu sifat konflik yang menimpa masyarakat Indonesia yang sangat sistemik dan merupakan imbas dari sistem konflik masyarakat kapitalis. Yaitu konflik yang berasal dari pelanggaran-pelanggaran kriteria-kriteria primer keamanan eksistensial, sebab proses-proses ke arah konflik mengikuti arah totalisasi, globalisasi dan kesamaan operasi sistem.
* Aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial), tinggal di Jember, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung