SOROT
Oleh: Keisya Ruli Hapsari*
Harga susu naik. Anak balita di negeri ini sedang terancam kekurangan gizi. Kaum ibu mulai mengurangi takaran asupan gizi bagi balita dan anak-anak mereka. Padahal usia balita selama ini bergantung pada susu formula.
Yang paling tersiksa, tentu saja ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya. Mereka menginginkan buah hatinya dapat tumbuh sehat dilengkapi gizi dan nutrisi yang terjamin. Apalagi saat itu relasi emosional ibu dan anaknya demikian kental. Kesedihan dan kesakitan si bayi adalah siksaan dan kepedihan bagi sang ibu.
Menurut Erich Fromm dalam bukunya Love and Matriarchy, memang hanya ibulah yang paling mampu menyelami dan merasakan kasih sayang sang anak. Selain itu perasaan perempuan yang peka akibat pengalaman fisikalnya (sakit ketika menstruasi, misalnya) juga membentuk karakter yang melekat dengan watak mencintai karena lebih mudah merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain. Ketika ada ketakutan bahwa bayi dan anaknya akan terancam, biasanya sang ibu dulu yang merasakan kepedihan.
Negara ini memang telah lama mendustai hak-hak kaum ibu, kaum perempuan, dan juga anak-anak. Kisah kepedihan sang ibu kadang juga menimbulkan frustasi yang menyebabkan sang ibu bunuh diri, seperti dialami oleh seorang perempuan di Malang yang bunuh diri minum racun (potassium) setelah ia membunuh anaknya dengan cara yang sama. Dia mengasosiasikan penderitaannya bersama anak-anaknya sehingga harus mati bersama.
Kejahatan negara menular pada masyarakat. Indonesia bukan negara maju dan modern seperti Amerika Serikat (AS) yang tidak melupakan pembangunan pertaniannya sehingga sering mereka mengalami surplus produksi pertanian (termasuk susu). Harga susu di Amerika termasuk murah dan ditunjang oleh kebiasaan minum susu yang sudah berlangsung puluhan tahun, maka bangsa Amerika tergolong peminum susu yang tinggi. Dalam kerangka menjawab Global Food for Education Iniciatives, USDA (Departemen Pertanian AS) memimpin gerakan untuk memerangi kelaparan, antara lain melalui Program Susu Sekolah.
Pemerintah Inggris memberikan subsidi pada tiap ekor sapi sebesar 7 poundsterling, sementara pertanian dan peternakan di Indonesia justru dikurangi subsidinya bahkan kalau mungkin hendak dicabut. Bukanlah kebijakan negara yang menempuh neoliberalisme (pasar bebas) seperti pencabutan subsidi, penjualan aset-aset dan kekayaan bangsa adalah kebijakan yang mirip pahlawan kesiangan? Sementara negara-negara maju memberikan subsidi agar produk-produk pertanian dan pertaniannya berkualitas. Bahkan, pemerintah memberikan subsidi bagi sapi-sapi agar menghasilkan susu berkualitas (yang juga diimpor ke negara-negara berkembang seperti Indonesia).
Di negeri kita, kemiskinan terus berlanjut, tenaga produktif dan kreatifitas rakyat semakin tumpul (bahkan terbelakang) karena minim pendidikan akibat biaya pendidikan yang amat mahal. Seharusnya, tugas negara untuk memberikan jaminan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakatnya. Ibu-ibu hamil harus dijamin kesehatan reproduksinya, bayi dan anak-anak harus dijamin pertumbuhannya, juga pendidikannya. Kita kalah dengan apa yang dilakukan Venezuela. Hugo Chavez membuat Konstitusi Bolivarian yang menjamin kesehatan dan pendidikan pada anak. Bukan hanya pndidikan gratis yang diberikan, di sekolah anak-anak juga diberikan makanan dan susu gratis melalui program Mission Mercal, Robinson, dan Barrio Adentro.
Itu terjadi karena para pimpinan di sana menyadari bahwa murid-murid sekolah adalah aset sumber daya manusia (SDM) yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Mereka adalah generasi muda penerus bangsa. Sedangkan di Indonesia kita bisa melihat kualitas hidup dan kualitas sumber daya manusia yang merosot. Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, posisi kualitas SDM kita sungguh merisaukan diukur dari peringkat Human Development Index (berada pada urutan ke 111).
Mereka yang hidup di negeri ini jelas-jelas menderita akibat himpitan ekonomi seringkali tidak bisa mengakses pangan hewani (susu, daging, telur, dan ikan) yang bermutu tinggi. Padahal, mencetak generasi yang sehat dan cerdas harus dimulai sejak janin sampai remaja. Berbagai intervensi harus diberikan kepada anak-anak kita khususnya dalam hal gizi, kesehatan, dan pendidikan.
Pemerintah Indonesia harus lebih memperhatikan pembangunan di sektor kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan apabila ingin memperbaiki kualitas SDM-nya. Konsumsi susu rata-rata penduduk Indonesia adalah 7,7 liter/kap/th (2006). Angka ini masih lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti India (44,9 l), Malaysia (25,0 l), Filipina (11,0 l), dan Vietnam (8,5 l). Konsumsi susu yang rendah adalah cermin ketidakmampuan ekonomi alias kemiskinan.
Menarik apa yang dikemukakan ole Prof Dr Ali Khomsan Guru Besar IPB bahwa persoalan kemiskinan yang membelit bangsa kita tak kunjung selesai diatasi karena utang negara kita terlampau besar dan korupsi terjadi di mana-mana.
Susu, selain bergizi juga dikenal sebagai bahan makanan yang diperkirakan mempunyai kemampuan untuk mengikat polutan. Saat ini polusi akibat knalpot kendaraan dan industri bisa dijumpai di mana-mana. Kebiasaan minum susu secara tidak langsung dapat mengurangi dampak buruk polusi yang dihadapi anak-anak. Program gizi di negara maju senantiasa memasukkan susu sebagai komoditas wajib yang harus dikonsumsi.
Siswa- siswa di Amerika bisa menikmati Special Milk Program yang memberikan susu gratis atau bersubsidi. Anak-anak balita dan ibu hamil/menyusui dari kelas ekonomi rendah yang terdaftar dalam Program WIC (Women, Infants, and Children) bisa memperoleh susu sampai 15 liter per bulan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Program gizi anak sekolah di negara kita seringkali terabaikan karena jajaran kesehatan lebih memfokuskan diri pada perbaikan gizi anak balita. Padahal, anak usia sekolah yang masih dalam periode pertumbuhan fisik juga memerlukan perhatian di bidang gizi.
Kenaikan harga susu di satu sisi memang menguntungkan peternak peternak sapi perah. Di sisi lain, akan mendatangkan dampak serius karena terancamnya anak-anak berusia dini dari bahaya kekurangan gizi. Jumlah penderita gizi buruk mencapai 2,1 juta anak (2006) dan totalnya lebih dari 5 juta apabila ditambah penderita gizi kurang. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah untuk dapat kembali menekan harga susu. Hidup di Indonesia terasa semakin sulit setelah masyarakat didera kenaikan harga minyak goreng, kini mereka harus membeli susu yang harganya terus meroket.
*) Guru dan aktif di Lembaga Kajian Pendidikan dan Demokrasi NURANI DUNIA Jember
Oleh: Keisya Ruli Hapsari*
Harga susu naik. Anak balita di negeri ini sedang terancam kekurangan gizi. Kaum ibu mulai mengurangi takaran asupan gizi bagi balita dan anak-anak mereka. Padahal usia balita selama ini bergantung pada susu formula.
Yang paling tersiksa, tentu saja ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya. Mereka menginginkan buah hatinya dapat tumbuh sehat dilengkapi gizi dan nutrisi yang terjamin. Apalagi saat itu relasi emosional ibu dan anaknya demikian kental. Kesedihan dan kesakitan si bayi adalah siksaan dan kepedihan bagi sang ibu.
Menurut Erich Fromm dalam bukunya Love and Matriarchy, memang hanya ibulah yang paling mampu menyelami dan merasakan kasih sayang sang anak. Selain itu perasaan perempuan yang peka akibat pengalaman fisikalnya (sakit ketika menstruasi, misalnya) juga membentuk karakter yang melekat dengan watak mencintai karena lebih mudah merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain. Ketika ada ketakutan bahwa bayi dan anaknya akan terancam, biasanya sang ibu dulu yang merasakan kepedihan.
Negara ini memang telah lama mendustai hak-hak kaum ibu, kaum perempuan, dan juga anak-anak. Kisah kepedihan sang ibu kadang juga menimbulkan frustasi yang menyebabkan sang ibu bunuh diri, seperti dialami oleh seorang perempuan di Malang yang bunuh diri minum racun (potassium) setelah ia membunuh anaknya dengan cara yang sama. Dia mengasosiasikan penderitaannya bersama anak-anaknya sehingga harus mati bersama.
Kejahatan negara menular pada masyarakat. Indonesia bukan negara maju dan modern seperti Amerika Serikat (AS) yang tidak melupakan pembangunan pertaniannya sehingga sering mereka mengalami surplus produksi pertanian (termasuk susu). Harga susu di Amerika termasuk murah dan ditunjang oleh kebiasaan minum susu yang sudah berlangsung puluhan tahun, maka bangsa Amerika tergolong peminum susu yang tinggi. Dalam kerangka menjawab Global Food for Education Iniciatives, USDA (Departemen Pertanian AS) memimpin gerakan untuk memerangi kelaparan, antara lain melalui Program Susu Sekolah.
Pemerintah Inggris memberikan subsidi pada tiap ekor sapi sebesar 7 poundsterling, sementara pertanian dan peternakan di Indonesia justru dikurangi subsidinya bahkan kalau mungkin hendak dicabut. Bukanlah kebijakan negara yang menempuh neoliberalisme (pasar bebas) seperti pencabutan subsidi, penjualan aset-aset dan kekayaan bangsa adalah kebijakan yang mirip pahlawan kesiangan? Sementara negara-negara maju memberikan subsidi agar produk-produk pertanian dan pertaniannya berkualitas. Bahkan, pemerintah memberikan subsidi bagi sapi-sapi agar menghasilkan susu berkualitas (yang juga diimpor ke negara-negara berkembang seperti Indonesia).
Di negeri kita, kemiskinan terus berlanjut, tenaga produktif dan kreatifitas rakyat semakin tumpul (bahkan terbelakang) karena minim pendidikan akibat biaya pendidikan yang amat mahal. Seharusnya, tugas negara untuk memberikan jaminan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakatnya. Ibu-ibu hamil harus dijamin kesehatan reproduksinya, bayi dan anak-anak harus dijamin pertumbuhannya, juga pendidikannya. Kita kalah dengan apa yang dilakukan Venezuela. Hugo Chavez membuat Konstitusi Bolivarian yang menjamin kesehatan dan pendidikan pada anak. Bukan hanya pndidikan gratis yang diberikan, di sekolah anak-anak juga diberikan makanan dan susu gratis melalui program Mission Mercal, Robinson, dan Barrio Adentro.
Itu terjadi karena para pimpinan di sana menyadari bahwa murid-murid sekolah adalah aset sumber daya manusia (SDM) yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Mereka adalah generasi muda penerus bangsa. Sedangkan di Indonesia kita bisa melihat kualitas hidup dan kualitas sumber daya manusia yang merosot. Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, posisi kualitas SDM kita sungguh merisaukan diukur dari peringkat Human Development Index (berada pada urutan ke 111).
Mereka yang hidup di negeri ini jelas-jelas menderita akibat himpitan ekonomi seringkali tidak bisa mengakses pangan hewani (susu, daging, telur, dan ikan) yang bermutu tinggi. Padahal, mencetak generasi yang sehat dan cerdas harus dimulai sejak janin sampai remaja. Berbagai intervensi harus diberikan kepada anak-anak kita khususnya dalam hal gizi, kesehatan, dan pendidikan.
Pemerintah Indonesia harus lebih memperhatikan pembangunan di sektor kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan apabila ingin memperbaiki kualitas SDM-nya. Konsumsi susu rata-rata penduduk Indonesia adalah 7,7 liter/kap/th (2006). Angka ini masih lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti India (44,9 l), Malaysia (25,0 l), Filipina (11,0 l), dan Vietnam (8,5 l). Konsumsi susu yang rendah adalah cermin ketidakmampuan ekonomi alias kemiskinan.
Menarik apa yang dikemukakan ole Prof Dr Ali Khomsan Guru Besar IPB bahwa persoalan kemiskinan yang membelit bangsa kita tak kunjung selesai diatasi karena utang negara kita terlampau besar dan korupsi terjadi di mana-mana.
Susu, selain bergizi juga dikenal sebagai bahan makanan yang diperkirakan mempunyai kemampuan untuk mengikat polutan. Saat ini polusi akibat knalpot kendaraan dan industri bisa dijumpai di mana-mana. Kebiasaan minum susu secara tidak langsung dapat mengurangi dampak buruk polusi yang dihadapi anak-anak. Program gizi di negara maju senantiasa memasukkan susu sebagai komoditas wajib yang harus dikonsumsi.
Siswa- siswa di Amerika bisa menikmati Special Milk Program yang memberikan susu gratis atau bersubsidi. Anak-anak balita dan ibu hamil/menyusui dari kelas ekonomi rendah yang terdaftar dalam Program WIC (Women, Infants, and Children) bisa memperoleh susu sampai 15 liter per bulan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Program gizi anak sekolah di negara kita seringkali terabaikan karena jajaran kesehatan lebih memfokuskan diri pada perbaikan gizi anak balita. Padahal, anak usia sekolah yang masih dalam periode pertumbuhan fisik juga memerlukan perhatian di bidang gizi.
Kenaikan harga susu di satu sisi memang menguntungkan peternak peternak sapi perah. Di sisi lain, akan mendatangkan dampak serius karena terancamnya anak-anak berusia dini dari bahaya kekurangan gizi. Jumlah penderita gizi buruk mencapai 2,1 juta anak (2006) dan totalnya lebih dari 5 juta apabila ditambah penderita gizi kurang. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah untuk dapat kembali menekan harga susu. Hidup di Indonesia terasa semakin sulit setelah masyarakat didera kenaikan harga minyak goreng, kini mereka harus membeli susu yang harganya terus meroket.
*) Guru dan aktif di Lembaga Kajian Pendidikan dan Demokrasi NURANI DUNIA Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar