TEROPONG
Oleh: Sudjamaka*
DUNIA infotaintment di negeri ini tak pernah sepi pemberitaan seputar artis, selebritis plus ragam ‘pertelingkahan’ yang mereka lakukan. Semua yang terkait selebritis pasti selalu menarik diberita. Bukan soal prestasi ‘wah’ dan gaya hidup glamor, tapi juga berita kelam seputar berbagai kasus (kejahatan).
Kini, dunia selebritis Indonesia kembali disorot dari sisi kelam; kebiasaan kalangan artis yang menyalahgunakan narkoba. Ini tentu bukan berita dan sensasi yang menggembirakan, tetapi potret ironis dibalik glamoritas dunia hiburan Indonesia. Sebab, artis yang dikenal sebagai public figure dan idola bagi kalangan remaja, seharusnya jadi panutan dan memberi contoh yang baik kepada penggemar. Jika seorang public figure mengonsumsi narkoba, bukan tidak mungkin perilakunya ditiru kaum muda penggemarnya.
Tertangkapnya Gogon, --pelawak kondang yang tergabung dalam grup lawak Srimulat-- yang terbukti konsumsi narkoba (shabu-shabu dan ekstasi) pada medio an Agustus lalu, kian menambah daftar panjang jumlah artis, pelawak atau selebritis Indonesia yang dicokok polisi terkait narkoba. Sebelumnya, 2006 lalu, Revaldo dan Roy Marten diamankan polisi karena tengah konsumsi shabu-shabu.
Sebelum Gogon, Revaldo dan Roy Marten, sebenarnya sudah ada nama-nama artis beken lain yang sempat jadi tahanan polisi gara-gara kasus serupa seperti Doyok, Polo, Derry (ketiganya pelawak), Zarima, Avi Stavia, Ibra Azhari, Yoan Tanamal, Faisal (pemain sinetron ABG), Hengky Tornando dan Ria Irawan.
Daftar para artis yang konsumsi narkoba tak lebih dari sebuah fenomena gunung es, --yang hanya terlihat di permukaan. Bukan tidak mungkin, lebih banyak artis yang telah lebih dulu terpuruk dalam kubangan dan jerat barang haram ini. Pasalnya, tercatat setiap tahun pasti ada saja artis dan selebritis yang tertangkap tangan.
Terjaringnya sejumlah artis ternama di dalam sebuah diskotik setiap ada razia, atau di tempat mana pun, seolah mengingatkan kita, betapa rawannya dunia artis terkait narkoba. Artis dan narkoba, pada masanya seolah jadi dua dunia yang sulit terpisahkan. Bukan hanya dengan alasan untuk mendongkrak kreativitas, tetapi saat mereka berada di tengah suasana pesta pora.
Celakanya, kalangan artis sepertinya tak pernah mau mengambil hikmah dan belajar dari kasus-kasus yang menimpa kolega mereka. Mereka masih konsumsi narkoba hingga terperosok ke dalam lubang yang sama. Apakah mentang-mentang mereka punya banyak uang hingga seenaknya berfoya-foya dan ‘mengangkangi’ aturan hukum?
Jika kita cermati, penyebab utama banyaknya artis yang terperangkap dalam kasus narkoba adalah karena sikap dan budaya hidup yang telah jauh terseret oleh arus hedonisme, liberalisme, budaya funny, games dan hyppies. Lihat, mereka senang menyelami dugem (dunia gemerlap malam), baik di diskotek, bar, pub atau café. Sudah jadi rahasia umum, tempat-tempat semacam itu berpotensi besar menjadi basis peredaran narkoba jenis ekstasi dan shabu-shabu.
Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di negeri ini cenderung meningkat. Tak dipungkiri, Indonesia bukan lagi jadi negara transit mata rantai perdagangan dan peredaran gelap narkoba, tapi lebih dari itu, --pasar empuk. Selain jadi tempat pemasaran yang dilakukan oleh orang-orang asing dan kaki tangannya, Indonesia telah menyandang predikat sebagai produsen dan eksportir narkoba terbesar di Asia. Buktinya, banyak pabrik ekstasi beromzet miliaran rupiah yang ditemukan beroperasi di Indonesia. Sungguh ironis!
Harus diakui, ancaman bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah berkembang pesat dan mengguncang kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Bila tidak disikapi secara multidimensional, disinyalir kita akan kehilangan lebih dari satu generasi penerus bangsa. Bahwa upaya memberantas narkoba hanya maksimal, bila dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi.
Jadi tidak hanya diperlukan pengarahan dan daya pemerintah, tapi juga melibatkan unsur-unsur organisasi masyarakat, termasuk lembaga pendidikan, ormas, LSM, organisasi keagamaan secara sinergis komprehensif dan sinergis multidimensional.
Penegakan aturan hukum adalah sebuah keniscayaan. Ingat, semua orang statusnya sama di depan hukum. UU 5/1997 tentang Psikotropika secara gamblang mengatur sanksi hukum yang harus diterapkan. Kita berharap, pihak kepolisian, kejaksaan dan hakim tidak pilih kasih melakukan proses hukum terhadap para tersangka, meski ia seorang artis tenar. Artis atau siapapun, jika memang bersalah harus diganjal hukuman setimpal. Ini lebih merupakan upaya memberikan efek jera bagi artis dan pihak lain. Dengan begitu, siapapun pasti berpikir seribu kali jika ingin ‘bermain-main’ sama narkoba.
Selebihnya, kita tentu berharap agar para artis segera sadar dan bertobat untuk tidak ulangi konsumsi narkoba. Akan lebih baik, para artis memiliki sense of crisis terhadap berbagai permasalahan sosial yang dialami bangsa dengan mendedikasikan diri dalam berbagai kegiatan sosial, jadi aktivis anti narkoba, sosialisasikan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS kepada para remaja dan sebagainya. Dengan begitu, peluang para artis memperoleh simpati dan apresiasi rakyat sebagai public figure yang benar-benar bisa jadi panutan.
Jika tidak, stigma negatif yang menganggap selebritis sebagai sosok yang hanya doyan jalan-jalan, ngelencer, shopping, ‘nyabu’, pamer dandanan, pesta-pora, dan dugem ria merupakan sebuah realitas yang tak terbantahkan. Biasnya, pasti. Jangan pernah berharap rakyat akan respek kepada para artis.
*) Bergiat di Divisi Sosial, Pusat Pengkajian Kebangsaan, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar