OLEH: Wuri Wigunaningsih & Hernawardi
Hampir di setiap kelurahan di Kota Surabaya ada komunitas pembuat obat tradisional. Kelompok ini ada yang mendapat dukungan dana dari lembaga keuangan luar negeri, partai tertentu atau modal sendiri. Obat tradisional hasil olahan mereka, ada yang dikemas dalam bentuk instan atau minuman.
Salah satunya kelompok ibu-ibu PKK di Kelurahan Kalirungkut
Selama ini, bila ada pesanan, yang membantu hanyalah anak dan suaminya. Beberapa ramuan yang telah dipasarkan di antaranya adalah jahe, kunyit putih dan beberapa tanaman obat lainnya.
Sebagian tanaman obat itu, ia ambil dari kebunnya. Bila tidak ada di kebun, ia akan membeli di Pusdakota yang memang membudidayakan tanaman obat keluarga (TOGA). Obat tradisional miliknya, sengaja dijadikan instan, karena lebih awet serta peminatnya juga lebih banyak. Cukup menambah gula putih dan kemudian disanggrai, obat tradisional instan sudah bisa dipasarkan. Selama ini, obat tradisional buatannya sudah melanglang buana ke dunia internasional berkat promosi dari Pusdakota.
Kelompok lain adalah Sujiana. Ia bersama tiga orang ibu rumah tangga di kawasan Tandes Surabaya membuat obat tradisional yang mereka sebut sebagai jamu. Kelompok mereka, mendapat pengawasan langsung dari salah satu partai. Sehingga pembinaan, baik dalam membuat atau memasarkan sering mereka dapat dari partai ini. Termasuk bagaimana membuat obat tradisional yang bersih dan sehat.
Bila Bu Yudi memasarkan dari warung ke warung atau pesanan, tapi lain halnya dengan Sujiana. Ia memasarkan obat tradisionalnya yang berbentuk minuman dari satu pertemuan ke pertemuan PKK di daerah sekitarnya. Selain itu, ia juga rajin membuka stand yang diselenggarakan oleh partainya. Berkat kualitas yang diberikan cukup memuaskan, jamu racikannya banyak dicari. Meskipun promosinya hanya dilakukan dari mulut ke mulut.
Sementara di NTB, budidaya dan pembinaan TOGA dilakukan Pemda lewat gerakan PKK hingga ke kelompok-kelompok Dasa Wisma PKK yang ada di desa-desa. Bahkan Dinas Kesehatan turut serta mensosialisasikan manfaat peningkatan tanaman obat. ”Kita punya kebun contoh sendiri untuk sosialisasi kepada masyarakat. Mudah-mudahan ke depan kita bisa pakai poly back-poly back yang bisa dibawa untuk contoh di kabupaten dan
Berdasarkan surveinya pada tahun 2003, prosentase penggunaan obat tradisional di NTB di desa-desa cukup tinggi, bisa mencapai 34 persen. Pembinaan untuk kabupaten/kota tetap dilakukan tiap tahun. ”Setiap tahun ada penilaian TOGA dengan BPMD NTB (Badan Pemusyawarakatan Masyarakat Desa) NTB lewat lomba TOGA. Di samping untuk mengembangkan TOGA juga untuk peningkatan pendapatan keluarga,” ujar Gita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar