Selasa

Heroisme Agama Melawan Korupsi

TEROPONG
Muh Kholid AS *

Dalam suasana peringatan Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember 2007, dunia perkorupsian Indonesia mendapatkan 2 kado istimewa tentang buruknya wajah aparat eksekutornya. Pertama, Transparency International (TI) Indonesia mengumumkan kepolisian sebagai juara pertama lembaga terkorup, yang disusul dengan parlemen dan dunia peradilan. Kado kedua, terpilihnya Antasari Azhar, jaksa yang mempunyai track record kurang bagus dalam pemberantasan korupsi, sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011.
Buruknya performa kedua lembaga ini secara tidak langsung membuat agenda pemberantasan korupsi di Indonesia mendapatkan rintangan yang tidak ringan. Dua rentetan perostiwa ini seakan menjadi penegas, bahwa persoalan korupsi di Indonesia tidak kunjung usai dibasmi, bahkan semakin menggurita di setiap lini kehidupan. Korupsi dan sejenisnya tidak jauh beda dengan barang dagangan yang dijajakan di pasar, dengan rimbanya yang kompleks dan meriah, baik tingkat tinggi, menengah, maupun kecil.
Potret buram korupsi di Indonesia ini bisa dilihat dari “parsel” dari Transparency International (TI) Indonesia menjelang Idul Fitri 1428 H. Lembaga ini menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup pada urutan ke-143 dari 179 negara, dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,3, atau lebih buruk dibandingkan 2006 yang berada pada peringkat ke-130 dengan skor 2,4. IPK merupakan peringkat korupsi yang diamati dari pelaku usaha dan analis tiap negara yang mencakup 180 negara, dengan ukuran skor 0 sebagai indikator paling korup dan 10 paling bersih (Jawa Pos, 27/9/07).
Sebelumnya, pada pertengahan Maret lalu, kelompok konsultan yang berbasis di Hongkong Political and Economic Risk Consultancy (PERC) juga menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup (Jawa Pos, 14/3/07). Tidak jauh beda, Indonesian Corruption Watch (ICW) juga merilis kenaikan tindak korupsi dalam tahun 2006 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Terdapat 161 kasus pada 2006, dari sebelumnya 125 kasus pada 2005 dan 153 kasus pada 2004. Adapun kerugian negara pada tahun 2006 mencapai Rp 14,4 triliun, dari Rp 5,3 triliun pada 2005 dan Rp 4,3 triliun pada 2004 (Jawa Pos, 25/1/07).
Melihat lanskap korupsi yang panjang dan sistematis ini, sudah sewajarnya perlawanan terhadap korupsi dikategorikan jihad (holy war) kontemporer. Jika selama ini jihad dimaknai sebagai “perang” yang identik dengan pertumpahan darah, sudah saatnya term ini dikontekstualisasikan untuk memenangkan keadilan sosial. Jihad adalah aktualisasi tindakan ikhlas untuk mengorbankan harta dan jiwa bagi kemanusiaan universal, sesuai dengan misi agama dalam mewujudkan keselamatan (slavery) bagi manusia.
Berperang melawan korupsi dalam kekinian adalah jihad yang sesungguhnya. Sebab, meminjam istilah Ahmad Syafi’i Ma’arif, korupsi telah memorakporandakan pilar kehidupan bangsa, hingga bangsa ini semakin terpuruk ke lembah kehinaan paling sempurna. Tindakan para koruptor telah menzalimi sekian juta warga negara, bahkan membunuhnya secara massal dan berlahan. Sehingga perjuangan memberantas korupsi adalah perbuatan mulia untuk menegakkan fungsi manusia yang sesungguhnya sebagai wakil Tuhan di bumi.
Perlawanan massif terhadap korupsi semakin urgen, mengingat kejahatan ini telah bermetamorfosis menjadi “drakula” yang menghisap uang rakyat dan kekayaan negara, sehingga bangsa ini gagap dalam menatap masa depan yang sejahtera untuk warganya. Hak mendapatkan pendapatan yang layak, kesehatan yang memadai, pendidikan yang mumpuni, serta hak-hak lain yang seharusnya didapatkan masyarakat justru dirampas oleh koruptor.
Korupsi yang semasa Orde Baru dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy), dalam kekinian mengalami transformasi yang dahsyat, dengan metodenya yang semakin canggih dan bervariasi. Alih-alih reformasi menjadi momentum perlawanan terhadap praktik yang mempunyai imbas serupa terorisme itu, era ini malah menjadi awal dari menjamurnya koruptor di berbagai daerah. Jika korupsi pada Orde Baru berputar di Jakarta, praktik tersebut kini sudah menjalar hampir seluruh lapisan masyarakat.
Dalam upaya menerjemahkan jihad melawan korupsi, sudah saatnya institusi keagamaan, organisasi sosial, dan lain-lainnya harus turun tangan. Berbagai lembaga dan organisasi ini harus menyatakan perang secara lebih konsisten dan terarah terhadap korupsi. Bahkan, jika perlu lembaga-lembaga ini dapat mengeluarkan "fatwa" tentang wajibnya melakukan jihad melawan korupsi. Jihad semacam inilah yang sesungguhnya relevan dengan kondisi Indonesia kontemporer dan masa mendatang (Azyumardi Azra: 2003).
Pasalnya, korupsi lebih dari sekedar cacat moral, tetapi tindakan ini menjadi semacam kanker yang menggerogoti semua usaha serius bangsa untuk keluar dari keterpurukan. Meminjam istilah Haedar Nashir (2003), korupsi di negeri ini telah menjadi persoalan struktural, kultural, dan personal. Praktik korupsi telah menjadi bagian dari perilaku umum, tidak hanya melalui keseragaman, tetapi juga dengan tindakan yang bervariasi. Korupsi sudah menjadi sistem yang tidak lekang dengan berlalunya waktu, yang terus-menerus diproduksi, direproduksi, serta diwariskan.
Sudah saatnya agamawan mulai memaknai dakwahnya sebagai alat memperjuangkan keadilan, khususnya dalam melawan korupsi. Perlawanan ini bisa diimplementasikan melalui pesan-pesan dakwah di berbagai masjid, mushala, maupun forum pengajian. Jika selama ini ceramah biasa diisi dengan janji-janji surga, saatnya dirubah dengan semangat dan upaya melawan korupsi. Begitu juga halnya dengan lembaga pendidikan, di dalamnya harus digalakkan dengan kesadaran antikorupsi.
Korupsi adalah masalah legal, ethical, dan moral responsibility, maka upaya penanggulangannya memang harus menggunakan cara-cara yang extraordinary. Tetapi yang pasti, memberantas korupsi adalah tindakan mulia yang harus dilakukan setiap kaum beriman, karena korupsi adalah biang kejahatan dan kemaksiatan (corruption is the root of all evils). Genderang jihad membasmi korupsi harus ditabuh lebih kencang lagi sebagai panggilan dan kewajiban untuk menjawab tantangan dan jawaban zaman. Allah A’lam bi al-Shawab.
*) Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung