Oleh: Abidar*
Hari AIDS Sedunia telah kita peringati 1 Desember yang lalu. Data dari AIDS Epidemic Update 2007 yang dirilis UNAIDS dan WHO, hingga kini 33,2 juta orang di dunia diduga mengidap virus HIV. Dalam 10 tahun terakhir, epidemi HIV di Indonesia kian mencemaskan. Departemen Kesehatan menyebutkan, jika pada 1998 jumlah kasus HIV ada 591 orang, September 2007 sudah mencapai 5.904 orang. Sejak Januari - September 2007, jumlah kasus HIV sebanyak 674 orang.
Kondisi ini seiring dengan lajunya epidemi AIDS. Jika pada 1998 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan 258 orang, September 2007 sudah mencapai 10.384 orang. Dari jumlah tadi, 2.287 orang telah meninggal. Sebagian di antara mereka bertatus menikah dan selebihnya belum/sudah merencanakan untuk menikah.
Kita bukan sedang mempersoalkan apakah peringatan Hari AIDS Sedunia itu layak ataukah tidak jika “dihargai” dengan cara mendedikasikan waktu selama 8 hari untuk program kondomisasi. Justru yang lebih mendesak untuk dipikirkan adalah mencari penyikapan paling efektif dan proporsional terhadap masalah AIDS.
Sejumlah penelitian menunjukkan, laju aktivitas prostitusi di Indonesia masih sukar dikendalikan, lebih-lebih dengan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Penderita HIV/AIDS di negeri kita cenderung meningkat. Namun sebagian pejabat maupun akademisi menilai lokalisasi sebagai salah satu jalan terbaik menekan kasus HIV/AIDS. Alasannya, dengan lokalisasi, kesehatan para WTS akan terkontrol.
Ada juga Perda yang mengatur masalah HIV/AIDS. Perda yang dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia merupakan adopsi dari Thailand, intinya adalah tentang "kewajiban memakai kondom 100% di lokalisasi pelacuran". Namun para penikmat WTS di sana konon tidak kehabisan akal. Mereka membawa WTS dari lokalisasi ke hotel, apartemen atau rumah agar merasa bebas dari kewajiban memakai kondom.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa kebanyakan hidung belang di Indonesia juga tak mau memakai kondom demi kepuasan yang optimal. Sebab itu, dalam menekan kasus AIDS diperlukan penataan kembali kebijakan pemda setempat tentang lokalisasi serta political will dari pemerintah, yang sekaligus mampu mencegah perdagangan perempuan dan anak-anak (trafficking) sebagai sumber prostitusi.
Untuk menanggulangi penularan HIV/AIDS di Indonesia, ada 3 usaha pokok yang harus diperhatikan. Pertama, mencekal seks bebas. Kedua, mencekal penggunaan jarum suntik pada pemakai narkoba. Ketiga, kerjasama yang sinergis antara pemerintah, LSM, media massa, masyarakat umum, pemuka agama/adat dan sektor usaha. Kasus AIDS di Indonesia juga kebanyakan menimpa kaum muda. Lembaga pendidikan harus membangkitkan kesadaran dan kewaspadaan mereka terhadap ancaman HIV/AIDS.
Metode paling efektif menekan kasus HIV adalah dengan meningkatkan penyuluhan tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, di samping kampanye bahaya AIDS harus disertai penyebaran informasi yang akurat tentang kelemahan kondom. Yakni dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis, di samping harus memotivasi gaya hidup sehat. Di Kamboja dan Myanmar menunjukkan adanya indikasi penurunan kasus HIV/AIDS yang signifikan dengan menerapkan metode ini secara konsisten.
Selain itu, berbagai penyuluhan harus dititikberatkan pada upaya mengajak mereka yang pernah/sering melakukan perilaku berisiko tinggi --WTS/hidung belang misalnya, untuk menjalani voluntary counseling and testing HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV, para korban akan lebih mudah diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV yang dimulai dari dirinya.
Meskipun angka penularan HIV terbesar melalui IDU (Intravenous Drug User) pada pemakaian narkoba, tetapi penularan melalui kontak seksual tidak bisa disepelekan. Berdasarkan penelitian, jumlah terbanyak virus HIV pada tubuh manusia berada di dalam sperma, kemudian pada cairan vagina dan darah. Kasus AIDS 95,7% diakibatkan perzinahan, pelacuran dan homoseksual.
Carey dari Division of Physical Sciences, Rockville, Maryland, USA, mengungkapkan hasil risetnya; “Virus HIV mampu menembus kondom”. Artinya, kondomisasi untuk mencegah penularan HIV/AIDS tidak efektif karena kondom tidak 100% aman untuk menangkal virus HIV. Kondom direkomendasikan kalangan medis hanya untuk program Keluarga Berencana (KB) karena kondom mampu mencegah masuknya sperma ke rahim, bukan untuk berzinah atau melacur.
Masih menurut Carey, pori-pori kondom berukuran 1/60 mikron. Pori-pori kondom itu akan melebar 10 kali lipat saat meregang (sewaktu hubungan seks). Padahal virus HIV berukuran 1/250 mikron. Dapat disimpulkan bahwa virus yang ukurannya jauh lebih kecil itu akan mudah lolos dari kondom dan masuk ke tubuh orang lain.
Kondomisasi memicu perzinahan dan pelacuran. Kita harapkan pemerintah cepat membuat kebijakan yang inovatif untuk --misalnya, mulai merintis pembentukan Gerakan Nasional Pengentasan Wanita Tuna Susila (GNP –WTS). Guna meminimalisasi kasus HIV/AIDS, pemerintah perlu bersinergi dengan pusat-pusat riset terkait, seperti Pusat Riset AIDS dan Avian Influenza di Universitas Indonesia.
Kondomisasi lebih mengampanyekan seks bebas. Hal itu melapangkan perilaku seks bebas yang di negara-negara Barat merupakan suatu wujud budaya permisif. Selama ini banyak warga masyarakat kita yang terkecoh sehingga memperbesar risiko kegagalan dalam mencekal penyebaran jutaan virus HIV/AIDS di seluruh dunia.
*) Aktifis Forum Indonesian Interfaith Networking on HIV/AIDS (Interna),
tinggal di Jakarta Selatan.
Hari AIDS Sedunia telah kita peringati 1 Desember yang lalu. Data dari AIDS Epidemic Update 2007 yang dirilis UNAIDS dan WHO, hingga kini 33,2 juta orang di dunia diduga mengidap virus HIV. Dalam 10 tahun terakhir, epidemi HIV di Indonesia kian mencemaskan. Departemen Kesehatan menyebutkan, jika pada 1998 jumlah kasus HIV ada 591 orang, September 2007 sudah mencapai 5.904 orang. Sejak Januari - September 2007, jumlah kasus HIV sebanyak 674 orang.
Kondisi ini seiring dengan lajunya epidemi AIDS. Jika pada 1998 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan 258 orang, September 2007 sudah mencapai 10.384 orang. Dari jumlah tadi, 2.287 orang telah meninggal. Sebagian di antara mereka bertatus menikah dan selebihnya belum/sudah merencanakan untuk menikah.
Kita bukan sedang mempersoalkan apakah peringatan Hari AIDS Sedunia itu layak ataukah tidak jika “dihargai” dengan cara mendedikasikan waktu selama 8 hari untuk program kondomisasi. Justru yang lebih mendesak untuk dipikirkan adalah mencari penyikapan paling efektif dan proporsional terhadap masalah AIDS.
Sejumlah penelitian menunjukkan, laju aktivitas prostitusi di Indonesia masih sukar dikendalikan, lebih-lebih dengan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Penderita HIV/AIDS di negeri kita cenderung meningkat. Namun sebagian pejabat maupun akademisi menilai lokalisasi sebagai salah satu jalan terbaik menekan kasus HIV/AIDS. Alasannya, dengan lokalisasi, kesehatan para WTS akan terkontrol.
Ada juga Perda yang mengatur masalah HIV/AIDS. Perda yang dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia merupakan adopsi dari Thailand, intinya adalah tentang "kewajiban memakai kondom 100% di lokalisasi pelacuran". Namun para penikmat WTS di sana konon tidak kehabisan akal. Mereka membawa WTS dari lokalisasi ke hotel, apartemen atau rumah agar merasa bebas dari kewajiban memakai kondom.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa kebanyakan hidung belang di Indonesia juga tak mau memakai kondom demi kepuasan yang optimal. Sebab itu, dalam menekan kasus AIDS diperlukan penataan kembali kebijakan pemda setempat tentang lokalisasi serta political will dari pemerintah, yang sekaligus mampu mencegah perdagangan perempuan dan anak-anak (trafficking) sebagai sumber prostitusi.
Untuk menanggulangi penularan HIV/AIDS di Indonesia, ada 3 usaha pokok yang harus diperhatikan. Pertama, mencekal seks bebas. Kedua, mencekal penggunaan jarum suntik pada pemakai narkoba. Ketiga, kerjasama yang sinergis antara pemerintah, LSM, media massa, masyarakat umum, pemuka agama/adat dan sektor usaha. Kasus AIDS di Indonesia juga kebanyakan menimpa kaum muda. Lembaga pendidikan harus membangkitkan kesadaran dan kewaspadaan mereka terhadap ancaman HIV/AIDS.
Metode paling efektif menekan kasus HIV adalah dengan meningkatkan penyuluhan tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, di samping kampanye bahaya AIDS harus disertai penyebaran informasi yang akurat tentang kelemahan kondom. Yakni dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis, di samping harus memotivasi gaya hidup sehat. Di Kamboja dan Myanmar menunjukkan adanya indikasi penurunan kasus HIV/AIDS yang signifikan dengan menerapkan metode ini secara konsisten.
Selain itu, berbagai penyuluhan harus dititikberatkan pada upaya mengajak mereka yang pernah/sering melakukan perilaku berisiko tinggi --WTS/hidung belang misalnya, untuk menjalani voluntary counseling and testing HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV, para korban akan lebih mudah diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV yang dimulai dari dirinya.
Meskipun angka penularan HIV terbesar melalui IDU (Intravenous Drug User) pada pemakaian narkoba, tetapi penularan melalui kontak seksual tidak bisa disepelekan. Berdasarkan penelitian, jumlah terbanyak virus HIV pada tubuh manusia berada di dalam sperma, kemudian pada cairan vagina dan darah. Kasus AIDS 95,7% diakibatkan perzinahan, pelacuran dan homoseksual.
Carey dari Division of Physical Sciences, Rockville, Maryland, USA, mengungkapkan hasil risetnya; “Virus HIV mampu menembus kondom”. Artinya, kondomisasi untuk mencegah penularan HIV/AIDS tidak efektif karena kondom tidak 100% aman untuk menangkal virus HIV. Kondom direkomendasikan kalangan medis hanya untuk program Keluarga Berencana (KB) karena kondom mampu mencegah masuknya sperma ke rahim, bukan untuk berzinah atau melacur.
Masih menurut Carey, pori-pori kondom berukuran 1/60 mikron. Pori-pori kondom itu akan melebar 10 kali lipat saat meregang (sewaktu hubungan seks). Padahal virus HIV berukuran 1/250 mikron. Dapat disimpulkan bahwa virus yang ukurannya jauh lebih kecil itu akan mudah lolos dari kondom dan masuk ke tubuh orang lain.
Kondomisasi memicu perzinahan dan pelacuran. Kita harapkan pemerintah cepat membuat kebijakan yang inovatif untuk --misalnya, mulai merintis pembentukan Gerakan Nasional Pengentasan Wanita Tuna Susila (GNP –WTS). Guna meminimalisasi kasus HIV/AIDS, pemerintah perlu bersinergi dengan pusat-pusat riset terkait, seperti Pusat Riset AIDS dan Avian Influenza di Universitas Indonesia.
Kondomisasi lebih mengampanyekan seks bebas. Hal itu melapangkan perilaku seks bebas yang di negara-negara Barat merupakan suatu wujud budaya permisif. Selama ini banyak warga masyarakat kita yang terkecoh sehingga memperbesar risiko kegagalan dalam mencekal penyebaran jutaan virus HIV/AIDS di seluruh dunia.
*) Aktifis Forum Indonesian Interfaith Networking on HIV/AIDS (Interna),
tinggal di Jakarta Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar