OLEH : AGUS SALAM
Belasan anak-anak sedang asyik bermain bola. Keringat bercucuran di wajah mereka yang polos. Baju mereka yang dekil ini seakan menunjukan bahwa mereka adalah anak-anak jalanan. Mereka pun tak terusik dengan suara bising kereta api. Mereka terus mengejar bola, menendang bahkan berguling-gulingan di tanah dalam kegembiraan sejati seorang anak.
Tempat bocah-bocah itu bermain hanyalah tempat parkiran, yang berada beberapa sentimeter dari bantalan rel kereta api. Setiap sore, sepulang ngamen atau berjualan, bocah-bocah itu bermain di sana. Kalau tak bermain kelereng, mereka bermain bola.
Apa yang berlangsung di seberang stasiun itu hanyalah sebuah contoh. Betapa Jakarta, sebagaimana kota besar lainnya di Indonesia, sudah tak sedemikian “ramah terhadap anak-anak. Soal ini, sebenarnya, sudah diprediksi oleh badan PBB yang khusus mengurus anak, yakni UNICEF. Disebutkan UNICEF, lebih dari separuh anak di kota kehilangan tempat bermain. Anak-anak itu bermain di lahan-lahan “tak resmi”, seperti jalan, bantaran kali, bantalan rel kereta api dan lain-lain.
Zinedin Zidane kecil, David Beckham kecil, Ronaldo kecil adalah anak jalanan yang memiliki obsesi menjadi pemain-pemain bola dunia. Namun sayangnya, obsesi-obsesi pemain bola cilik ini terhalang oleh tembok tinggi dan jalan yang melingkar dengan arus lalu-lintas yang padat. Tak jarang, bola plastik yang mereka beli dari hasil mengamen, dalam sekejap rusak karena tergilas roda mobil, atau terbawa arus sungai, bahkan tergilas roda kereta api.
Semakin hilangnya lahan bermain anak-anak di perkotaan (khususnya ekonomi bawah) adalah akibat dari economic booming dan arus urbanisasi yang meningkat pesat. Begitu juga dengan pembangunan kota, biasanya hanya dilihat dari sisi ekonomi maupun bisnis.
Perkembangan kota yang pesat, menyebabkan banyak masalah, salah satu di antaranya adalah terjadinya perubahan fungsi lahan. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh pemerintah kota dan pihak swasta adalah merubah fungsi ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Akibatnya hilanglah fasilitas umum yang biasa digunakan oleh warga kota diganti dengan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan atau mall-mall.
Meski mall-mall dilengkapi arena bermain anak-anak, namun hanya diperuntukan bagi mereka yang hanya memiliki kantong tebal. Lalu, bagaimana dengan anak pinggiran?
Mungkin benar apa yang dikatakan Iwan Fals, bahwa bermain bola adalah permainan yang mahal karena tidak semua anak bisa bermain bola dengan sarana dan prasarana yang baik.
Padahal aktivitas bermain sekaligus berfungsi sebagai kesempatan anak berlajar bersosialisasi dan mengembangkan kemampuan motorik serta belajar “bersentuhan” dengan alam. Kreativitas dan kecerdasan anak akan terangsang dengan aktivitas bermain. Hilangnya kesempatan bermain telah mengucilkan anak dari interaksi sosial dalam masyarakat. Jika anak-anak menjadi lebih egois dan individualis, itu bisa menunjukkan rendahnya kualitas dan kuantitas lingkungan bermain anak.
Belasan anak-anak sedang asyik bermain bola. Keringat bercucuran di wajah mereka yang polos. Baju mereka yang dekil ini seakan menunjukan bahwa mereka adalah anak-anak jalanan. Mereka pun tak terusik dengan suara bising kereta api. Mereka terus mengejar bola, menendang bahkan berguling-gulingan di tanah dalam kegembiraan sejati seorang anak.
Tempat bocah-bocah itu bermain hanyalah tempat parkiran, yang berada beberapa sentimeter dari bantalan rel kereta api. Setiap sore, sepulang ngamen atau berjualan, bocah-bocah itu bermain di sana. Kalau tak bermain kelereng, mereka bermain bola.
Apa yang berlangsung di seberang stasiun itu hanyalah sebuah contoh. Betapa Jakarta, sebagaimana kota besar lainnya di Indonesia, sudah tak sedemikian “ramah terhadap anak-anak. Soal ini, sebenarnya, sudah diprediksi oleh badan PBB yang khusus mengurus anak, yakni UNICEF. Disebutkan UNICEF, lebih dari separuh anak di kota kehilangan tempat bermain. Anak-anak itu bermain di lahan-lahan “tak resmi”, seperti jalan, bantaran kali, bantalan rel kereta api dan lain-lain.
Zinedin Zidane kecil, David Beckham kecil, Ronaldo kecil adalah anak jalanan yang memiliki obsesi menjadi pemain-pemain bola dunia. Namun sayangnya, obsesi-obsesi pemain bola cilik ini terhalang oleh tembok tinggi dan jalan yang melingkar dengan arus lalu-lintas yang padat. Tak jarang, bola plastik yang mereka beli dari hasil mengamen, dalam sekejap rusak karena tergilas roda mobil, atau terbawa arus sungai, bahkan tergilas roda kereta api.
Semakin hilangnya lahan bermain anak-anak di perkotaan (khususnya ekonomi bawah) adalah akibat dari economic booming dan arus urbanisasi yang meningkat pesat. Begitu juga dengan pembangunan kota, biasanya hanya dilihat dari sisi ekonomi maupun bisnis.
Perkembangan kota yang pesat, menyebabkan banyak masalah, salah satu di antaranya adalah terjadinya perubahan fungsi lahan. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh pemerintah kota dan pihak swasta adalah merubah fungsi ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Akibatnya hilanglah fasilitas umum yang biasa digunakan oleh warga kota diganti dengan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan atau mall-mall.
Meski mall-mall dilengkapi arena bermain anak-anak, namun hanya diperuntukan bagi mereka yang hanya memiliki kantong tebal. Lalu, bagaimana dengan anak pinggiran?
Mungkin benar apa yang dikatakan Iwan Fals, bahwa bermain bola adalah permainan yang mahal karena tidak semua anak bisa bermain bola dengan sarana dan prasarana yang baik.
Padahal aktivitas bermain sekaligus berfungsi sebagai kesempatan anak berlajar bersosialisasi dan mengembangkan kemampuan motorik serta belajar “bersentuhan” dengan alam. Kreativitas dan kecerdasan anak akan terangsang dengan aktivitas bermain. Hilangnya kesempatan bermain telah mengucilkan anak dari interaksi sosial dalam masyarakat. Jika anak-anak menjadi lebih egois dan individualis, itu bisa menunjukkan rendahnya kualitas dan kuantitas lingkungan bermain anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar