SOROT
Oleh: Etika Ernawati
Pada bulan Mei 2007 ini, usia reformasi genap sembilan tahun. Kita harus merefleksikan perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum Soeharto mundur dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998, proses ekonomi-politik bangsa ini jumud (mandeg). Kemandegan tersebut memuncak dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997.
Titik nadir sejarah bangsa manapun selalu didahului oleh situasi krisis ekonomi. Kehendak rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup berkontradiksi dengan kehendak segelintir orang yang ingin berkuasa untuk kepentingannya sendiri. Rakyat Indonesia selalu memiliki kehendak untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Terbukti, penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selalu menghadapi perlawanan dari rakyat. Meskipun perlawanan itu jatuh bangun, tetapi adalah fakta sejarah bahwa perjuangan untuk mewujudkan keadilan selalu terus berkobar.
20 Mei pun diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) karena rakyat atau bangsa yang terjajah akan terus bangkit dari kebodohan dan ketertindasan. Sehari setelah rakyat memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1998, Soeharto pun harus mengundurkan diri karena di berbagai penjuru kota dan kampung-kampung rakyat telah bangkit setelah selama 32 tahun dijajah oleh Orde Baru yang berkongkalikong dengan modal (kapitalis) asing.
Tatanan ekonomi-politik Orde Baru memang disandarkan pada hubunan imperialistik dengan mengundang perusahaan asing dan modal internasional masuk dengan disahkannya UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) pada tahun 1967. Pemerintahan Orde Baru, Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya, menjadi antek dengan menikmati kekayaan yang dibarengi dengan pemasungan atas hak-hak ekonomi-politik rakyat. Sejak berdirinya, Orde Baru telah mematahkan keinginan rakyat untuk mengontrol dan mengkritik pemerintahan. Sedikit bersuara akan dituduh “ekstrim Kiri” atau “ekstrim Kanan”. Sehingga tanpa sadar selama tida dekade lebih inisiatif dan partisipasi rakyat dimandulkan. Hingga kini, bahkan setelah Soeharto mundur dan pemerintahan berganti-ganti, partisipasi rakyat juga masih tumpul.
Belakangan bahkan rakyat kian apatis terhadap segala proses politik karena setiap proses yang ada bukannya menghasilkan perubahan yang baik bagi rakyat, tetapi justru membuat nasib rakyat semakin menderita. Rakyatpun kian pragmatis dalam melihat politik karena sejak awal diajarkan oleh para politisi bahwa politik identik dengan uang. Rakyat yang tidak lagi percaya pada elit juga melampiaskan kekesalan mereka dengan cara melakukan tindakan-tindakan anarkis, bahkan juga memusuhi kelompok yang lainnya. Kemarahan dengan serangannya yang seharusnya dialamatkan pada pemerintah yang menindasnya, justru menjadi konflik dan kekerasan horisontal yang meluas. Konflik agama dan suku, konflik antar kampung, antar kampus, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, merupakan gejala yang kian semarak.
Nalar kritis masyarakat belum terbangun dan kesadaran politiknya semakin dimanipulasi oleh para elit yang hanya ingin mencari keuntungannya sendiri. Ada yang mengatasnamakan agama untuk mengumpulkan massa dan mendapatkan suara, sehingga menyebarkan anggapan bahwa musuh dari rakyat atau sumber dari permasalahan rakyat adalah pemerintah yang selalu membuat kebijakan yang menyengsarakan dan tindakan yang koruptif dan memalukan. Rakyat dicekoki dengan kotbah-kotbah atau propaganda bahwa musuhnya adalah agama dan kelompok lain. Rakyat dibohongi dengan mengatakan bahwa sumber dari segala bencana dan penderitaan adalah karena kemarahan Tuhan dan setan, dan bukannya menyadari bahwa ada elit politik Indonesia yang terus saja menjual bangsanya untuk kepentingannya sendiri.
Contoh-contoh tersebut kian telanjang dan tidak lagi dapat ditutup-tutupi. Perjalanan bangsa ini menuju perbaikan terus saja mencari muara. Berbagai hambatan juga selalu muncul di hadapan mata. Kita harus mengevaluasi berdasarkan data-data konkrit dari kecenderungan-kecenderungan sejarah yang ada. Kita tidak bisa berandai-andai atau meramal-ramalkan masa depan berdasarkan suatu yang di luar jangkauan kenyataan-kenyataan material yang terjadi dan dapat dipelajari.
Rakyat yang bergerak atas dasar kemarahan dan ketidaktahumenahuan biasanya akan dimanfaatkan oleh elit yang lagi-lagi hanya menyusun agenda politiknya sendiri. Demokrasi di Indonesia masih tergantung pada kesadaran rakyat, kesadaran massa rakyat yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dan maju. Jika hingga saat ini rakyat “berpatisipasi” dengan kualitas yang rendah, yaitu mengekspresikan tuntutannya dengan cara-cara yang tidak taktis, maka ke depan adalah tugas dari elemen demokratik untuk memajukan cara mereka berpolitik.
Reformasi adalah perbaikan di segala bidang. Terutama perbaikan tersebut harus bermuara pada dua parameter tentang kehidupan berbangsa yang lebih baik: kesejahteraan ekonomi dan demokrasi. Hak-hak ekonomi adalah pilar penting bagi peradaban suatu bangsa. Karena kalau ekonomi tiap-tiap individu tidak terpenuhi, maka akan terjadi ketimpangan dan persoalan dalam bidang yang lain. Jika orang masih belum terjamin hak-hak ekonominya, masih sibuk dan mati-matian dalam memenuhi kebutuhan mencari makan, rumah, pakaian, kesehatan, pendidikan, dapat dipastikan maka secara budaya akan terjadi keterbelakangan.
Dari situ kita dapat mengevaluasi apakah dengan berjalannya reformasi sejak sembilan tahun yang lalu kesejahteraan rakyat sudah terwujud. Data statistik menunjukkan bahwa orang miskin semakin meningkat, baik di perkotaan maupun di pedesaan —meskipun mayoritas orang miskin masin berada di daerah pedesaan. Pemenuhan kesehatan dan pendidikan juga kian sulit. Apalagi kalau ngomong masalah pendidikan, biaya untuk memasuki sekolah kian hari kian mahal. Pada saat kebodohan dan kemiskinan terjadi secara bersamaan, kebudayaan rakyatpun kian mundur. Cara-cara orang di negeri ini dalam merespon dunianya semakin kacau, semakin tidak dapat berpikir dan bertindak secara objektif tetapi hanya didasarkan pada prasangka dan kemarahan yang ada dalam otak dan hatinya.Hal ini juga tidak lepas dari kepemimpinan nasional yang bukan hanya tidak merakyat tetapi mendasarkan diri pada premis-premis tidak ilmiah dalam menjalankan keputusannya.
*) Bergiat di Yayasan “Gelombang” (Gelora Manusia Pembangunan) Jawa Timur, tinggal di Trenggalek.
Oleh: Etika Ernawati
Pada bulan Mei 2007 ini, usia reformasi genap sembilan tahun. Kita harus merefleksikan perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum Soeharto mundur dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998, proses ekonomi-politik bangsa ini jumud (mandeg). Kemandegan tersebut memuncak dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997.
Titik nadir sejarah bangsa manapun selalu didahului oleh situasi krisis ekonomi. Kehendak rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup berkontradiksi dengan kehendak segelintir orang yang ingin berkuasa untuk kepentingannya sendiri. Rakyat Indonesia selalu memiliki kehendak untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Terbukti, penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selalu menghadapi perlawanan dari rakyat. Meskipun perlawanan itu jatuh bangun, tetapi adalah fakta sejarah bahwa perjuangan untuk mewujudkan keadilan selalu terus berkobar.
20 Mei pun diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) karena rakyat atau bangsa yang terjajah akan terus bangkit dari kebodohan dan ketertindasan. Sehari setelah rakyat memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1998, Soeharto pun harus mengundurkan diri karena di berbagai penjuru kota dan kampung-kampung rakyat telah bangkit setelah selama 32 tahun dijajah oleh Orde Baru yang berkongkalikong dengan modal (kapitalis) asing.
Tatanan ekonomi-politik Orde Baru memang disandarkan pada hubunan imperialistik dengan mengundang perusahaan asing dan modal internasional masuk dengan disahkannya UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) pada tahun 1967. Pemerintahan Orde Baru, Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya, menjadi antek dengan menikmati kekayaan yang dibarengi dengan pemasungan atas hak-hak ekonomi-politik rakyat. Sejak berdirinya, Orde Baru telah mematahkan keinginan rakyat untuk mengontrol dan mengkritik pemerintahan. Sedikit bersuara akan dituduh “ekstrim Kiri” atau “ekstrim Kanan”. Sehingga tanpa sadar selama tida dekade lebih inisiatif dan partisipasi rakyat dimandulkan. Hingga kini, bahkan setelah Soeharto mundur dan pemerintahan berganti-ganti, partisipasi rakyat juga masih tumpul.
Belakangan bahkan rakyat kian apatis terhadap segala proses politik karena setiap proses yang ada bukannya menghasilkan perubahan yang baik bagi rakyat, tetapi justru membuat nasib rakyat semakin menderita. Rakyatpun kian pragmatis dalam melihat politik karena sejak awal diajarkan oleh para politisi bahwa politik identik dengan uang. Rakyat yang tidak lagi percaya pada elit juga melampiaskan kekesalan mereka dengan cara melakukan tindakan-tindakan anarkis, bahkan juga memusuhi kelompok yang lainnya. Kemarahan dengan serangannya yang seharusnya dialamatkan pada pemerintah yang menindasnya, justru menjadi konflik dan kekerasan horisontal yang meluas. Konflik agama dan suku, konflik antar kampung, antar kampus, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, merupakan gejala yang kian semarak.
Nalar kritis masyarakat belum terbangun dan kesadaran politiknya semakin dimanipulasi oleh para elit yang hanya ingin mencari keuntungannya sendiri. Ada yang mengatasnamakan agama untuk mengumpulkan massa dan mendapatkan suara, sehingga menyebarkan anggapan bahwa musuh dari rakyat atau sumber dari permasalahan rakyat adalah pemerintah yang selalu membuat kebijakan yang menyengsarakan dan tindakan yang koruptif dan memalukan. Rakyat dicekoki dengan kotbah-kotbah atau propaganda bahwa musuhnya adalah agama dan kelompok lain. Rakyat dibohongi dengan mengatakan bahwa sumber dari segala bencana dan penderitaan adalah karena kemarahan Tuhan dan setan, dan bukannya menyadari bahwa ada elit politik Indonesia yang terus saja menjual bangsanya untuk kepentingannya sendiri.
Contoh-contoh tersebut kian telanjang dan tidak lagi dapat ditutup-tutupi. Perjalanan bangsa ini menuju perbaikan terus saja mencari muara. Berbagai hambatan juga selalu muncul di hadapan mata. Kita harus mengevaluasi berdasarkan data-data konkrit dari kecenderungan-kecenderungan sejarah yang ada. Kita tidak bisa berandai-andai atau meramal-ramalkan masa depan berdasarkan suatu yang di luar jangkauan kenyataan-kenyataan material yang terjadi dan dapat dipelajari.
Rakyat yang bergerak atas dasar kemarahan dan ketidaktahumenahuan biasanya akan dimanfaatkan oleh elit yang lagi-lagi hanya menyusun agenda politiknya sendiri. Demokrasi di Indonesia masih tergantung pada kesadaran rakyat, kesadaran massa rakyat yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dan maju. Jika hingga saat ini rakyat “berpatisipasi” dengan kualitas yang rendah, yaitu mengekspresikan tuntutannya dengan cara-cara yang tidak taktis, maka ke depan adalah tugas dari elemen demokratik untuk memajukan cara mereka berpolitik.
Reformasi adalah perbaikan di segala bidang. Terutama perbaikan tersebut harus bermuara pada dua parameter tentang kehidupan berbangsa yang lebih baik: kesejahteraan ekonomi dan demokrasi. Hak-hak ekonomi adalah pilar penting bagi peradaban suatu bangsa. Karena kalau ekonomi tiap-tiap individu tidak terpenuhi, maka akan terjadi ketimpangan dan persoalan dalam bidang yang lain. Jika orang masih belum terjamin hak-hak ekonominya, masih sibuk dan mati-matian dalam memenuhi kebutuhan mencari makan, rumah, pakaian, kesehatan, pendidikan, dapat dipastikan maka secara budaya akan terjadi keterbelakangan.
Dari situ kita dapat mengevaluasi apakah dengan berjalannya reformasi sejak sembilan tahun yang lalu kesejahteraan rakyat sudah terwujud. Data statistik menunjukkan bahwa orang miskin semakin meningkat, baik di perkotaan maupun di pedesaan —meskipun mayoritas orang miskin masin berada di daerah pedesaan. Pemenuhan kesehatan dan pendidikan juga kian sulit. Apalagi kalau ngomong masalah pendidikan, biaya untuk memasuki sekolah kian hari kian mahal. Pada saat kebodohan dan kemiskinan terjadi secara bersamaan, kebudayaan rakyatpun kian mundur. Cara-cara orang di negeri ini dalam merespon dunianya semakin kacau, semakin tidak dapat berpikir dan bertindak secara objektif tetapi hanya didasarkan pada prasangka dan kemarahan yang ada dalam otak dan hatinya.Hal ini juga tidak lepas dari kepemimpinan nasional yang bukan hanya tidak merakyat tetapi mendasarkan diri pada premis-premis tidak ilmiah dalam menjalankan keputusannya.
*) Bergiat di Yayasan “Gelombang” (Gelora Manusia Pembangunan) Jawa Timur, tinggal di Trenggalek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar