SOROT
Oleh: Denok Hanggarsari*
Sungguh menyedihkan kalau kita mengikuti perkembangan bencana lumpur Lapindo yang bukan hanya membawa dampak ekonomis, tetapi juga sosial, budaya, dan semuanya mengarah pada dekadensi kemanusiaan. Belum lagi muncul
berita-berita mengenaskan tentang para pengungsi yang tak terurus oleh pihak yang bertanggungjawab, anak-anak terlantar tanpa sekolah dan tempat tinggal, sumbangan nasi bungkus yang basi dan beracun, kini situasinya tambah menyedihkan.
Sangat menyedihkan lagi ada indikasi anak warga korban lumpur jadi korban perdagangan manusia. Berdasarkan laporan Kelompok Peduli Perempuan dan Anak Korban Lumpur (Kepak) yang diterima Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A), setidaknya dua anak di bawah umur (disinyalir asal Desa Jatirejo, Kec Porong) yang dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di kawasan lokalisasi Tretes, Kec Prigen, Kab Pasuruan. Dugaan awal, anak korban lumpur yang berhasil dibawa itu dijadikan PSK di kawasan pelacuran Dolly, Surabaya dan Tretes, Pasuruan.
Modus operandi penjualan manusia tersebut juga sama dengan kejadian yang kerap kali terulang tersebut. Mulanya mereka menawarkan pekerjaan kepada anak-anak korban lumpur dengan iming-iming gaji besar. Selain menggunakan modus menawari pekerjaan, aksi para pelaku perdagangan anak itu diduga dengan berpura-pura mengajak kencan anak korban lumpur. Setelah terlena, mereka dipaksa untuk menjadi PSK.
Bencana dan Kehampaan
Bukan rahasia lagi bahwa bencana yang telah menghabiskan harta benda telah merenggut harapan para remaja dan anak-anak perempuan. Korban lumpur merasa bahwa di pengungsian mereka tidak memiliki masa depan karena daerah tempat tinggalnya telah hilang, jaminan kehidupan di hari depannya pun hingga saat ini masih belum jelas.
Memang ada beberapa bantuan kemanusiaan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Misalnya apa yang dilakukan oleh Rieke Dyah Pitaloka dengan membangun taman-taman bacaan anak di daerah pengungsian. Hal itu memang mampu memberikan anak-anak ruang berpartisipasi dengan belajar dan membaca. Tetapi tetap saja terdapat luka yang dalam akibat direbutnya kehidupan mereka. Hilangnya tempat tinggal adalah sebuah kepedihan karena orang-orang tersebut (sebagai makhluk hidup) tercerabut dari alam. Hakekat manusia adalah menyatu dengan alam.
Keterasingan menyebabkan manusia lupa diri dan mudah terilusi dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan. Anak-anak perempuan dan para gadis tentu saja terlunta-lunta. Mereka pasti ingin segera keluar dari tragedi bencana yang memundurkan peradabannya. Orang-orang di daerah lain yang tidak tertimpa musibah dengan bebasnya menikmati hidup. Alangkah enaknya membayangkan kebebasan karena terlepas dari bencana.
Sayangnya, pemerintah tidak juga bertindak tegas untuk menangani kasus yang telah berjalan lebih dari satu tahun ini. Kasus Lapindo bukannya direspon dengan tindakan tegas dengan memutuskan siapa yang harus bertanggungjawab, tetapi justru menjadi komoditas politik di dewan perwakilan rakyat. Sudah berkali-kali rakyat ’ngluruk’ ke Jakarta untuk menuntut ganti-rugi, tetapi tetap saja nasib mereka masih belum jelas.
Bencana lumpur Lapindo adalah tragedi terbesar yang tidak ada preseden sebelumnya dalam sejarah. Tak heran jika belum jelas kapan tragedi itu akan berakhir. Para korban juga menyadari bahwa ujung dari bencana itu juga masih belum jelas. Sebagian besar mereka putus asa, marah, dan bahkan juga menimbulkan tekana jiwa yang dapat saja terjadi.
Tingkat harapan hidup yang rendah itu membuat mereka pasrah. Yang menyedihkan adalah gadis-gadis yang justru dijual itu. Juga anak-anak yang masa depannya tercabut. Padahal anak-anak tersebut seharusnya menikmati masa-masa belajar, agar masa depannya menjadi produktif. Tetapi mereka kehilangan dua hal sekaligus. Pertama, harapan akan kelanjutan hidup mereka saat rumahnya telah (di)tenggelam(kan) oleh banjir lumpur. Dalam pikiran mereka, kehidupan hilang, semangat hidup dan pandangan masa depannya gelap. Kedua, ruang-waktu untuk belajar agar memiliki kemampuan berpikir dan ketrampilan sebagaimana manusia modern yang beradab juga telah hilang.
Bencana lumpur Lapindo, hingga kini, juga masih berjalan sebagai sebuah kejadian yang oleh para elit, tokoh, intelektual, dan mahasiswa sebagai kejadian yang biasa, wajar dan bahkan dianggap sebagai ’takdir Tuhan’. Para korban terus bertanya, “Di manakah kepedulian kalian?”
*) Sekretaris IRED (Institute of Research and Education for Democracy) Jember.
Oleh: Denok Hanggarsari*
Sungguh menyedihkan kalau kita mengikuti perkembangan bencana lumpur Lapindo yang bukan hanya membawa dampak ekonomis, tetapi juga sosial, budaya, dan semuanya mengarah pada dekadensi kemanusiaan. Belum lagi muncul
berita-berita mengenaskan tentang para pengungsi yang tak terurus oleh pihak yang bertanggungjawab, anak-anak terlantar tanpa sekolah dan tempat tinggal, sumbangan nasi bungkus yang basi dan beracun, kini situasinya tambah menyedihkan.
Sangat menyedihkan lagi ada indikasi anak warga korban lumpur jadi korban perdagangan manusia. Berdasarkan laporan Kelompok Peduli Perempuan dan Anak Korban Lumpur (Kepak) yang diterima Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A), setidaknya dua anak di bawah umur (disinyalir asal Desa Jatirejo, Kec Porong) yang dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di kawasan lokalisasi Tretes, Kec Prigen, Kab Pasuruan. Dugaan awal, anak korban lumpur yang berhasil dibawa itu dijadikan PSK di kawasan pelacuran Dolly, Surabaya dan Tretes, Pasuruan.
Modus operandi penjualan manusia tersebut juga sama dengan kejadian yang kerap kali terulang tersebut. Mulanya mereka menawarkan pekerjaan kepada anak-anak korban lumpur dengan iming-iming gaji besar. Selain menggunakan modus menawari pekerjaan, aksi para pelaku perdagangan anak itu diduga dengan berpura-pura mengajak kencan anak korban lumpur. Setelah terlena, mereka dipaksa untuk menjadi PSK.
Bencana dan Kehampaan
Bukan rahasia lagi bahwa bencana yang telah menghabiskan harta benda telah merenggut harapan para remaja dan anak-anak perempuan. Korban lumpur merasa bahwa di pengungsian mereka tidak memiliki masa depan karena daerah tempat tinggalnya telah hilang, jaminan kehidupan di hari depannya pun hingga saat ini masih belum jelas.
Memang ada beberapa bantuan kemanusiaan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Misalnya apa yang dilakukan oleh Rieke Dyah Pitaloka dengan membangun taman-taman bacaan anak di daerah pengungsian. Hal itu memang mampu memberikan anak-anak ruang berpartisipasi dengan belajar dan membaca. Tetapi tetap saja terdapat luka yang dalam akibat direbutnya kehidupan mereka. Hilangnya tempat tinggal adalah sebuah kepedihan karena orang-orang tersebut (sebagai makhluk hidup) tercerabut dari alam. Hakekat manusia adalah menyatu dengan alam.
Keterasingan menyebabkan manusia lupa diri dan mudah terilusi dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan. Anak-anak perempuan dan para gadis tentu saja terlunta-lunta. Mereka pasti ingin segera keluar dari tragedi bencana yang memundurkan peradabannya. Orang-orang di daerah lain yang tidak tertimpa musibah dengan bebasnya menikmati hidup. Alangkah enaknya membayangkan kebebasan karena terlepas dari bencana.
Sayangnya, pemerintah tidak juga bertindak tegas untuk menangani kasus yang telah berjalan lebih dari satu tahun ini. Kasus Lapindo bukannya direspon dengan tindakan tegas dengan memutuskan siapa yang harus bertanggungjawab, tetapi justru menjadi komoditas politik di dewan perwakilan rakyat. Sudah berkali-kali rakyat ’ngluruk’ ke Jakarta untuk menuntut ganti-rugi, tetapi tetap saja nasib mereka masih belum jelas.
Bencana lumpur Lapindo adalah tragedi terbesar yang tidak ada preseden sebelumnya dalam sejarah. Tak heran jika belum jelas kapan tragedi itu akan berakhir. Para korban juga menyadari bahwa ujung dari bencana itu juga masih belum jelas. Sebagian besar mereka putus asa, marah, dan bahkan juga menimbulkan tekana jiwa yang dapat saja terjadi.
Tingkat harapan hidup yang rendah itu membuat mereka pasrah. Yang menyedihkan adalah gadis-gadis yang justru dijual itu. Juga anak-anak yang masa depannya tercabut. Padahal anak-anak tersebut seharusnya menikmati masa-masa belajar, agar masa depannya menjadi produktif. Tetapi mereka kehilangan dua hal sekaligus. Pertama, harapan akan kelanjutan hidup mereka saat rumahnya telah (di)tenggelam(kan) oleh banjir lumpur. Dalam pikiran mereka, kehidupan hilang, semangat hidup dan pandangan masa depannya gelap. Kedua, ruang-waktu untuk belajar agar memiliki kemampuan berpikir dan ketrampilan sebagaimana manusia modern yang beradab juga telah hilang.
Bencana lumpur Lapindo, hingga kini, juga masih berjalan sebagai sebuah kejadian yang oleh para elit, tokoh, intelektual, dan mahasiswa sebagai kejadian yang biasa, wajar dan bahkan dianggap sebagai ’takdir Tuhan’. Para korban terus bertanya, “Di manakah kepedulian kalian?”
*) Sekretaris IRED (Institute of Research and Education for Democracy) Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar