Oleh: MOHAMMAD AFIFUDDIN*
Krisis ekonomi kerap dituding sebagai satu-satunya penyebab dari banyaknya anak jalanan di kota-kota besar. Namun, saat perekonomian nasional berangsur-angsur pulih (terbukti dengan membaiknya indikator ekonomi makro), jumlah anak jalanan justru meningkat.
Artinya, selain minimnya peluang kerja, ada sebab lain yang lebih fundamental terkait dengan fenomena anak jalanan. Salah satu faktor tersebut berasal dari persepsi sebagian besar masyarakat kita terhadap anak jalanan.
Sadar maupun tidak, kita telah terjebak oleh rasa “kasihan” serta “ketakutan akan tindak kejahatan di jalanan”. Rasa “kasihan” tersebut yang selalu menjadi senjata bagi anak jalanan untuk memperoleh uang. Tidak heran jika anak jalanan dijadikan komoditas “kasihan” bagi orangtua mereka. Ibu-ibu ngamen dengan membawa anak yang digendongnya. Lebih tragis lagi, anak-anak dikelola di jalanan oleh koordinator (mafia/sindikat) yang mengeruk pendapatan anak-anak dari jalanan.
Sekedar gambaran, dalam sehari anak jalanan dapat memperoleh uang pemberian paling sedikit antara Rp 20.000 - Rp 40.000. Itu berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh Rp 750.000 – Rp 1.200.000. Jumlah yang cukup besar tentunya. Sehingga tidak heran jika mereka memilih untuk tetap di jalan (www.stopberjuang.or.id)
Uang tersebut biasanya diberikan kepada orangtuanya (jika masih memiliki), koordinator, atau untuk diri sendiri. Tapi ada beberapa anak yang menggunakan uang tersebut selain untuk menyambung hidup, juga untuk biaya sekolah. Namun parahnya, sebagian besar justru mereka gunakan untuk berjudi, mabuk, merokok bahkan untuk beli narkoba.
Beberapa usaha sudah dilakukan untuk membantu mengeluarkan mereka dari kehidupan jalanan. Banyak pihak dan yayasan yang telah mencoba menolong mereka dengan memberikan sekolah gratis, makanan gratis, dan rumah singgah. Namun mereka tetap kembali ke jalan. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Ternyata usaha tersebut terkendala adanya “easy money” tadi. Beberapa anak jalanan yang dibina di rumah singgah dengan diberikan bimbingan pendidikan, keterampilan, dan pemberian kesempatan kerja, hanya bertahan beberapa bulan. Ironisnya, sekeluarnya dari tempat penampunagan, mereka kembali hidup di jalanan. Beberapa anak disekolahkan dan ditanggung biaya hidupnya pun kembali ke jalanan. Ternyata setelah ditanyakan alasan kembalinya mereka karena lebih mudah memperoleh uang di jalan dari pada bekerja atau kembali sekolah.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pemberian uang secara cuma-cuma itu berdampak mengerikan bagi nasib si anak jalanan. Karena secara tidak langsung uang tersebut menginvestasikan kemalasan, kebodohan, tingkat kriminalitas, dan masa depan suram bagi anak-anak itu .
Investasi Jangka Panjang
Dengan kita berhenti memberikan "uang cuma-cuma" berarti kita telah menjadi sukarelawan pasif dalam usaha pemulihan hak asasi anak. Di satu sisi kita kasihan melihat mereka. Walaupun dengan memberi uang, maka mereka akan tetap seperti itu dan tidak mau menyambut uluran tangan dari yayasan-yayasan yang berniat membantu mereka.
Sedangkan di sisi lain dengan tidak memberikan uang maka kita berharap masa depan mereka akan lebih baik dari sekarang ini. Karena jika dana bantuan itu dikelola oleh yayasan-yayasan sosial, keberlangsungan uang bantuan tersebut akan berjalan lebih terorganisir. Dan kepastian masa depan anak jalanan lebih terjamin.
Dalam pandangan penulis, uang bantuan yang disalurkan secara tepat, akan menjelma dalam wujud yang konkrit dan berguna dalam jangka waktu panjang. Paling tidak terdapat empat macam model perwujudan tersebut.
Pertama, pendampingan. Perlakuan keluarga dan lingkungan yang tidak ramah menyebabkan anak jalanan terkadang merasa bahwa mereka adalah anak yang tersingkirkan dan tidak dikasihi. Uang bantuan itu dapat dialihkan untuk mendampingi mereka dalam proses memulihkan kepercayaan dirinya atas “luka masa lalu” mereka.
Kedua, bantuan pendidikan. Kita dapat membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar, memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi dengan beasiswa, bimbingan uper (Ujian Persamaan) untuk anak yang telah melewati batas usia sekolah. Bahkan uang itu dapat dikonversi menjadi beasiswa.
Ketiga, bantuan kesehatan. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan yang tidak sehat mengakibatkan mereka rentan dengan penyakit. Pada kondisi sekarang mereka bukanlah tidak memiliki uang untuk berobat namun kesadaran akan pentingnya kesehatan sangat rendah dalam lingkungan mereka. Uang kita dapat kita ubah menjadi penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk awareness, subsidi obat-obatan serta subsidi perawatan kesehatan.
Keempat, bantuan pangan. Dengan tingginya harga sembako membuat rakyat marginal tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya uang tersebut dapat kita konversi dengan bantuan pangan.
Kepedulian terhadap anak jalanan merupakan tindakan yang mulia. Namun jika dilakukan dengan kurang tepat terkadang bukan sedang menolong mereka namun sedang membunuh secara perlahan masa depan mereka. Dengan adanya upaya konversi terhadap uang bantuan yang diberikan, diharapkan dapat meningkatkan minat dari anak jalanan untuk keluar dari jalanan, dan kembali ke dalam kehidupan normal.
*) Pegiat Lingkar Studi Filsafat dan Budaya “SOAC” (Sense of Aufklarung Community) Jember
Krisis ekonomi kerap dituding sebagai satu-satunya penyebab dari banyaknya anak jalanan di kota-kota besar. Namun, saat perekonomian nasional berangsur-angsur pulih (terbukti dengan membaiknya indikator ekonomi makro), jumlah anak jalanan justru meningkat.
Artinya, selain minimnya peluang kerja, ada sebab lain yang lebih fundamental terkait dengan fenomena anak jalanan. Salah satu faktor tersebut berasal dari persepsi sebagian besar masyarakat kita terhadap anak jalanan.
Sadar maupun tidak, kita telah terjebak oleh rasa “kasihan” serta “ketakutan akan tindak kejahatan di jalanan”. Rasa “kasihan” tersebut yang selalu menjadi senjata bagi anak jalanan untuk memperoleh uang. Tidak heran jika anak jalanan dijadikan komoditas “kasihan” bagi orangtua mereka. Ibu-ibu ngamen dengan membawa anak yang digendongnya. Lebih tragis lagi, anak-anak dikelola di jalanan oleh koordinator (mafia/sindikat) yang mengeruk pendapatan anak-anak dari jalanan.
Sekedar gambaran, dalam sehari anak jalanan dapat memperoleh uang pemberian paling sedikit antara Rp 20.000 - Rp 40.000. Itu berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh Rp 750.000 – Rp 1.200.000. Jumlah yang cukup besar tentunya. Sehingga tidak heran jika mereka memilih untuk tetap di jalan (www.stopberjuang.or.id)
Uang tersebut biasanya diberikan kepada orangtuanya (jika masih memiliki), koordinator, atau untuk diri sendiri. Tapi ada beberapa anak yang menggunakan uang tersebut selain untuk menyambung hidup, juga untuk biaya sekolah. Namun parahnya, sebagian besar justru mereka gunakan untuk berjudi, mabuk, merokok bahkan untuk beli narkoba.
Beberapa usaha sudah dilakukan untuk membantu mengeluarkan mereka dari kehidupan jalanan. Banyak pihak dan yayasan yang telah mencoba menolong mereka dengan memberikan sekolah gratis, makanan gratis, dan rumah singgah. Namun mereka tetap kembali ke jalan. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Ternyata usaha tersebut terkendala adanya “easy money” tadi. Beberapa anak jalanan yang dibina di rumah singgah dengan diberikan bimbingan pendidikan, keterampilan, dan pemberian kesempatan kerja, hanya bertahan beberapa bulan. Ironisnya, sekeluarnya dari tempat penampunagan, mereka kembali hidup di jalanan. Beberapa anak disekolahkan dan ditanggung biaya hidupnya pun kembali ke jalanan. Ternyata setelah ditanyakan alasan kembalinya mereka karena lebih mudah memperoleh uang di jalan dari pada bekerja atau kembali sekolah.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pemberian uang secara cuma-cuma itu berdampak mengerikan bagi nasib si anak jalanan. Karena secara tidak langsung uang tersebut menginvestasikan kemalasan, kebodohan, tingkat kriminalitas, dan masa depan suram bagi anak-anak itu .
Investasi Jangka Panjang
Dengan kita berhenti memberikan "uang cuma-cuma" berarti kita telah menjadi sukarelawan pasif dalam usaha pemulihan hak asasi anak. Di satu sisi kita kasihan melihat mereka. Walaupun dengan memberi uang, maka mereka akan tetap seperti itu dan tidak mau menyambut uluran tangan dari yayasan-yayasan yang berniat membantu mereka.
Sedangkan di sisi lain dengan tidak memberikan uang maka kita berharap masa depan mereka akan lebih baik dari sekarang ini. Karena jika dana bantuan itu dikelola oleh yayasan-yayasan sosial, keberlangsungan uang bantuan tersebut akan berjalan lebih terorganisir. Dan kepastian masa depan anak jalanan lebih terjamin.
Dalam pandangan penulis, uang bantuan yang disalurkan secara tepat, akan menjelma dalam wujud yang konkrit dan berguna dalam jangka waktu panjang. Paling tidak terdapat empat macam model perwujudan tersebut.
Pertama, pendampingan. Perlakuan keluarga dan lingkungan yang tidak ramah menyebabkan anak jalanan terkadang merasa bahwa mereka adalah anak yang tersingkirkan dan tidak dikasihi. Uang bantuan itu dapat dialihkan untuk mendampingi mereka dalam proses memulihkan kepercayaan dirinya atas “luka masa lalu” mereka.
Kedua, bantuan pendidikan. Kita dapat membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar, memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi dengan beasiswa, bimbingan uper (Ujian Persamaan) untuk anak yang telah melewati batas usia sekolah. Bahkan uang itu dapat dikonversi menjadi beasiswa.
Ketiga, bantuan kesehatan. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan yang tidak sehat mengakibatkan mereka rentan dengan penyakit. Pada kondisi sekarang mereka bukanlah tidak memiliki uang untuk berobat namun kesadaran akan pentingnya kesehatan sangat rendah dalam lingkungan mereka. Uang kita dapat kita ubah menjadi penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk awareness, subsidi obat-obatan serta subsidi perawatan kesehatan.
Keempat, bantuan pangan. Dengan tingginya harga sembako membuat rakyat marginal tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya uang tersebut dapat kita konversi dengan bantuan pangan.
Kepedulian terhadap anak jalanan merupakan tindakan yang mulia. Namun jika dilakukan dengan kurang tepat terkadang bukan sedang menolong mereka namun sedang membunuh secara perlahan masa depan mereka. Dengan adanya upaya konversi terhadap uang bantuan yang diberikan, diharapkan dapat meningkatkan minat dari anak jalanan untuk keluar dari jalanan, dan kembali ke dalam kehidupan normal.
*) Pegiat Lingkar Studi Filsafat dan Budaya “SOAC” (Sense of Aufklarung Community) Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar