Senin

Pilkada Jakarta, Sebuah Kecelakaan Politik

WACANA
Muh Kholid AS*

Pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta yang akan dilaksanakan Agustus mendatang, akan diikuti dua pasangan calon, yaitu Adang Daradjatun-Dani Anwar dan Fauzi Bowo-Prijanto. Pasangan Adang-Dani dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara sendirian, dan Fauzi-Prijanto diusung oleh koalisi raksasa 20 partai politik (parpol). Sedangkan nama-nama besar lainnya semacam Agum Gumelar, Sarwono Kusumaatmadja, Jeffri Geovani, Didik J Rachbini, Faisal Basri, dan lain-lainnya, yang sebelumnya sempat meramaikan bursa pilkada harus terpental di tengah jalan.
Munculnya 2 pasangan cagub-cawagub dalam pilkada Jakarta ini tentu patut disayangkan di era demokratisasi kontemporer. Sebagai daerah yang menjadi barometer perpolitikan Indonesia, seharusnya Jakarta bisa menjadi contoh ideal bagi pelaksanaan pilkada di daerah lainnya dalam menampung keinginan masyarakat. Sebagai daerah yang dihuni banyak tokoh besar, seharusnya Jakarta dapat memunculkan beragam figur untuk bersaing dalam memperebutkan jabatan yang ditinggalkan Sutiyoso tersebut.
Apalagi menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilansir 3 Juni kemarin, bahwa harapan masyarakat akan munculnya calon independen nonpartai dalam pilkada Jakarta ini kian menguat. Dalam surveinya yang melibatkan 1.090 warga Jakarta, terdapat 87-90 persen kecenderungan perilaku pemilih yang menghendaki hadirnya calon independen yang diajukan secara individu maupun kelompok masyarakat. Temuan ini menunjukkan bahwa masyarakat Jakarta memang menginginkan banyak calon yang berkompetisi dalam pilkada untuk dipilah dan dipilihnya.
Sayangnya, fakta pilkada Jakarta justru menunjukkan kebalikan dari ekspektasi besar masyarakat tersebut. Alih-alih calon independen bisa ikut berkompetensi dalam pilkada, bahkan hanya memunculkan beragam calon yang legal saja, Jakarta tidak mampu melakukannya. Padahal jika konstitusi pilkada dimaksimalkan oleh parpol yang ada, seharusnya tidak hanya dua pasang cagub-cawagub yang bertarung dalam pilkada. Sebab konstitusi yang ada saat ini, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebenarnya masih memberikan ruang yang cukup besar bagi munculnya banyak kandidat.
Dalam pasal 59 ayat (1) UU 32 Tahun 2004, ditegaskan bahwa pencalonan pasangan kepala daerah hanya bisa dilakukan lewat jalur kendaran parpol atau gabungan parpol. Adapun parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah tersebut adal mereka yang memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPRD, dan atau 15 persen akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan (ayat 2).
Dalam konteks Jakarta, pasal ini mensyaratkan parpol atau gabungan parpol yang ingin mengajukan pasangan cagub-cawagub harus mempunyai jumlah kursi di DPRD minimal 11. Adapun jika mengacu pada rekapitulasi suara sah dalam pemilu legislatif untuk DPRD DKI Jakarta, maka nominal 605.095 suara sah merupakan jumlah yang diperlukan untuk memunculkan cagub-cawagub. Jika peraturan dalam UU ini dilaksanakan secara konsekuen oleh parpol di Jakarta, maka pilkada ini seharusnya bisa diikuti oleh minimal 5 calon, 3 pasang dari parpol tanpa koalisi dan 2 dari parpol koalisi.
Berdasarkan pada akumulasi suara sah dalam pemilu legislatif 2004 maupun komposisi anggota DPRD Jakarta, di luar PKS (18 kursi/ 24 persen), Partai Demokrat (18 kursi/ 21,33 persen), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (11 kursi/ 14,67 persen), tidak terdapat satu parpol-pun yang mampu mencapai prosentase 15. Sebab, Partai Golkar hanya mempunyai 7 kursi yang setara dengan 9,33 persen, Partai Persatuan Pembangunan 7 kursi (9,33 persen), Partai Amanat Nasional 6 kursi (8 persen), Partai Kebangkitan Bangsa 4 kursi (5,33 persen), Partai Damai Sejahtera 4 kursi (5,33 persen), dan Partai Bintang Reformasi 2 kursi (2,67 persen).
Sayangnya, peluang memunculkan banyak calon ini dibuang secara sia-sia oleh berbagai parpol yang memenuhi syarat threshold itu. Mereka justru melakukan tindakan politik yang lebih didominasi oleh kepentingan pragmatis-oportunistik daripada pemberdayaan masyarakat. Yang ada dalam benak elit seakan-akan hanyalah bagaimana dapat memenangi kompetisi, serta membawa keuntungan bagi diri dan parpolnya. Hasrat berkuasa dan motivasi bertahan sebagai starter line up politik menjadi pertimbangan yang lebih utama daripada menampung aspirasi masyarakat.
Tidak heran jika masyarakat yang seharusnya mempunyai kedaulatan penuh untuk memilih siapa pemimpinnya, justru harus berhadapan dengan tembok oligarki parpol. Esensi demokrasi yang seharusnya memunculkan kompetisi pluralis dalam bentuk pengakuan terhadap kelompok beragam, justru disimplifikasikan oleh elite dalam pilihan yang sempit. Involusi dan pereduksian nilai-nilai demokrasi selalu dieksplorasi oleh elit parpol, hingga kedaulatan masyarakat untuk mengekspresikan kebebasan dan perbedaan ternegasikan dalam praktik politik.
Tuntutan realisasi demokrasi dalam perangkat sistem nilai yang menyeluruh tentang kebebasan dan kesetaraan, ternyata tidak diapresiasi secara positif oleh parpol yang ada. Pembonsaian dan reduksi nilai-nilai demokrasi senantiasa dilestarikan oleh elit parpol sebagai legitimator untuk mengamankan kepentingan sektariannya. Sistem yang menjamin adanya ruang publik dalam mengontrol sirkulasi kekuasaan tersebut banyak dimanipulasi oleh elit dalam berbagai tata cara yang sekan-akan demokratis.
Oleh karena itu, pilkada Jakarta 2007 ini memang harus dikatakan bukanlah contoh yang ideal dari perhelatan politik yang menghargai pluralitas aspirasi masyarakat. Sebab, pilkada Jakarta ini lebih banyak terlihat sebagai usaha mengumbar hasrat kekuasaan daripada memberdayakan masyarakat untuk memilih pemimpinnya sesuai nurani. Sehingga sudah selayaknya jika kecelakaan yang disengaja di Ibu Kota Indonesia ini diharapkan jangan terulang kembali di berbagai daerah lain, apalagi dijadikan percontohan.
*) Relawan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Pemilu 2004, tinggal di Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung