Sabtu

Jawa Timur: Nomor Dua Peredaran Obat Palsu

OLEH: WURI WIGUNANINGSIH
Maraknya peredaran obat palsu memaksa Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (B2POM) Surabaya untuk rutin menggelar razia ke semua toko obat, apotik yang tidak bonafit hingga ke pinggiran kota Surabaya. Hingga kini, Jatim disinyalir menduduki peringkat kedua peredaran obat palsu.
Kabid Pemeriksaan dan Penyelidikan B2POM Surabaya, Drs M Muchtar Apt mengatakan, Surabaya dengan populasi penduduk terbesar kedua setelah Jakarta tetap menjadi bidikan para pebisnis. Karena itu, terkait peredaraan obat-obatan, pihaknya sering melakukan razia bersama Polda Jatim. “Setelah ditemukan pengedar obat palsu maka diserahkan ke pihak kepolisian supaya diproses secara hukum,” katanya. Meski sulit membedakan obat asli dan palsu, namun semua itu diketahui pasca tes laboratorium. Pihaknya pernah membongkar peredaran obat palsu di sejumlah daerah di Jatim seperti Surabaya, Malang dan Tulungagung. Sindikat ini dibongkar karena cara kerja yang masih amatiran, dibanding sindikat profesional yang suka pindah-pindah tempat.
Muchtar mengatakan, maraknya peredaran obat palsu tidak terlepas dari rendahnya kontrol terhadap aksesibilitas dan distribusi obat di pasaran, selain ditunjang dengan banyaknya toko obat yang tidak miliki izin operasi. Produksi, distribusi dan penjualan obat di Indonesia kondisinya terbuka dan di luar kontrol badan otoritas obat nasional sehingga sangat strategis terbuka peluang memalsukan, katanya.
Pada Juli lalu, B2POM Surabaya berhasil menyita ratusan obat-obatan dan jamu palsu dari sejumlah apotik dan toko obat. “Kita rutin melakukan razia. Tapi peredaran obat dan jamu palsu tetap ada di tengah masyarakat kita,” kata Kepala B2POM Surabaya, Sudiyanto.
Sejak 1999-2006, sudah ditemukan 89 merek obat yang dipalsukan di pasar domestik. Obat yang dipalsukan justru yang laku di pasaran seperti Ponstan, Taxegram, Clacef, Infanrit, Foxin, Plavix, dan Norvask. Berdasarkan estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO), peredaran obat palsu di Indonesia mencapai Rp 3 triliun per tahun (10%) dari total transaksi obat di pasar dalam negeri Rp 30 triliun.
Untuk menekan peredaran obat palsu, ilegal dan kadaluwarsa di Surabaya, Dinas Kesehatan mempermudah perizinan mendirikan apotek bagi pedagang eceran. Sebab, tidak jarang, peredaran obat palsu sering memanfaatkan toko obat dan kios obat eceran. Apotek rakyat ini tetap berada dalam tanggung jawab apoteker. Jika pedagang eceran mendirikan apotek rakyat, jalur mata rantai peredaran obat palsu bisa sedini mungkin diputus, jelas Kadis Kesehatan Pemkot Surabaya, Esti Martiana Rachmie.
Konsep apotek rakyat adalah menjual obat dalam jumlah besar dan tidak melayani peracikan obat seperti yang dilakukan apotek pada umumnya. Apotik rakyat juga tidak melayani obat-obatan yang tergolong narkotika dan psikotropika. ’’Apotek ini lebih mengutamakan permintaan obat generik. Untuk mendirikan opotik rakyat, pemilik harus melengkapi persyaratan administrasi dan memperoleh izin dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Tidak ada pungutan dalam perizinan. Apotek rakyat juga harus melengkapi diri dengan komoditas obat, lemari obat dan lingkungan yang terjaga kebersihan,’’ tegas Esti.
Kabid Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen BPOM, Drs Totok Sudjianto M.Kes mengatakan, pihaknya sudah melakukan sweeping di beberapa toko obat dan apotek yang ditengarai menjual obat palsu. “Terakhir kami menemukan pada 9 Januari lalu dan itu langsung di tempat produksi,” ujarnya.
Obat palsu yang paling banyak ditemukan, justru dalam bentuk injeksi (obat suntik). Modusnya, isi diganti antibiotik lain yang harganya lebih murah atau diisi air. “Biasanya kalau sudah jadi, harganya bisa sampai separo harga asli. Modus seperti itu biasanya terjadi di rumah-rumah sakit. Biasanya di rumah sakit itu, obat sisa dibuang tanpa dimusnahkan. Itu yang kemudian dijual lagi dengan mengganti kemasan,” buka Sudjianto.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung