Oleh: Syarif Hidayat Santoso*
Kemerdekaan harus selaras dengan hakikat 17 Agustus yang dilahirkan secara kreatif oleh para pemuda cerdas dan berani di masa lalu. Bukankah Indonesia klasik adalah benih yang disemaikan di atasnya kepemimpinan kaum muda yang progresif revolusioner, yang tidak antipati terhadap injeksi pemikiran asing, namun berani mengolahnya dalam sebuah tradisi yang subtil, humanis dan sangat memukau romantika peradaban. Pertanyaannya, adakah semangat progresif revolusioner itu masih melekat di benak dan jiwa kita?
Indonesia di tahun 1945 merupakan perpaduan harmonis dari nasionalisme radikalnya Soekarno, kelembutan tradisi Islamnya Wahid Hasyim, sosialisme revolusionernya Syahrir, tamaddun Islam modernisnya Natsir serta beraneka tradisi berpikir substantif menggairahkan lainnya. Mengapa pribadi mereka bisa merdeka, bahkan capable memerdekan bangsanya? Bukankah mereka adalah kaum muda yang dibesarkan, diasuh bahkan dijajah nalar pikirnya dalam lingkungan sekolah Belanda yang tak pernah berniat untuk menjadikan pemuda pribumi selain robot mekanis yang dapat dibayar murah. Mereka inilah sebenarnya yang disebut Mc Gregor Burns sebagai transforming leadership intellectual, yaitu intelektual yang berani membentuk lingkungan dengan imajinasi teratur, memadukan antara teori plus gagasan normatif dengan kerja kreatif di lapangan. Kaum muda masa lalu adalah mereka yang tidak mencipta disharmonisasi lingkungan dengan hanya menekuni teori dan data lapangan.
Adakah semangat transforming leadership itu kita miliki sekarang? Justru disaat kepemimpinan pemuda sendiri menempatkan intelektualitasnya sangat eksklusif tanpa matriks atmosfer masyarakat. Di mana kepemimpinan pemuda masa kini telah dijebak rayuan-rayuan eksklusifitas keilmuan tak membumi. Lingkungan edukasi kita bahkan lebih parah dari apa yang pernah diajarkan Belanda. Daya juang intelektualitas kita dilumpuhkan dengan format pendidikan serba pasar dan selalu berorientasi how to get job dan bukannya bagaimana mereformulasikan sebuah kepemimpinan partisipatif bagi bangsa yang kemerdekaannya baru sebatas imajinasi.
Memang, problem pemuda masa kini lebih berat dari beban yang ada di pundak Soekarno dulu. Tak dapat dipungkiri kalau pemuda masa kini adalah pemuda yang dibesarkan dalam sebuah biosfer baru yang lebih parah dari udara kolonialisasi yang pernah dihirup Soekarno. Pemuda kontemporer adalah mereka yang biasa disebut oleh Douglas Coupland (1990) sebagai generasi X.
Generasi X merupakan istilah sosiologi dari Paul Fussel yang menggambarkan sosok-sosok yang ingin lepas dari aturan baku yang stabil. Arus besar kaum ini terlihat terutama di kota-kota besar dengan ciri-ciri dandanan necis ala kaum profesional, penikmat café dan resto, aktif menggunakan internet, berpendikan tinggi serta juga banyak yang hobi baca buku.
Terdapat persamaan sebagaimana terdapat pula perbedaan akbar antara generasi Soekarno dan generasi X Indonesia modern. Tatanan baku yang dilawan generasi X justru tatanan lokal domestik bangsanya sendiri. Meskipun berpendidikan tinggi, generasi X tak bercitarasa kepemimpinan intelektual kritis. Generasi ini melanggengkan kepemimpinan global kapitalis dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai medium akomodatif yang mengiklankan kultur kolonial. Membaca buku bagi generasi X hanyalah mode, sebagaimana posisi trend setter lainnya seperti kafe dan internet. Tak pernah terlintas dalam benak generasi X untuk memimpin bangsanya dengan transformasi ilmu dan power pembebasan semassif mungkin bagi permukaan (surface) orde bangsa yang stabil.
Pemuda seperti ini telah mengalami hegemoni integratif imperialisme modern. Mereka tak lebih cerdas dari Agus Salim yang tak pernah kuliah, namun mampu mendiplomasikan kepemimpinan sinergis di dunia internasional. Bangku kuliah bagi generasi X hanyalah fashion ultra komersialis. Walhasil, jangankan memimpin bangsa, sebuah kepribadian otonom yang mandiripun mereka tak punya. Berharap dari kaum muda yang terhegemoni seperti ini sama saja dengan melegalisasi sebangsa imperialisme baru
Sudah saatnya stabilitas kepemimpinan kita tidak lagi terhegemoni. Kemerdekaan yang hakiki mestilah dimulai dari keterbebasan dari penjara kultur berpikir asosiatif yang berjalin dengan korporasi pemikiran kolonialisme. Jika memori kita telah lepas dari katastrofi asing yang tanpa sadar menjadikan kita sebagai integral part dari sebuah imperium asing yang mengglobal, maka mempimpin kemerdekaan bagi bangsa yang termarjinalkan pasti terlaksana. Merdekakanlah otak lebih dulu sebelum kerja akbar memerdekakan struktur ekonomi, politik dan kultur dilakukan. Kita berharap kepemimpinan pemuda di masa kini dimulai dari sebuah kemerdekaan intelektual dalam peradaban kemudian menghijrahkannya dalam public sphere yang humanis.
*) Pembina Kajian kebudayaan dan Agama di PMII FISIP Universitas Jember
Kemerdekaan harus selaras dengan hakikat 17 Agustus yang dilahirkan secara kreatif oleh para pemuda cerdas dan berani di masa lalu. Bukankah Indonesia klasik adalah benih yang disemaikan di atasnya kepemimpinan kaum muda yang progresif revolusioner, yang tidak antipati terhadap injeksi pemikiran asing, namun berani mengolahnya dalam sebuah tradisi yang subtil, humanis dan sangat memukau romantika peradaban. Pertanyaannya, adakah semangat progresif revolusioner itu masih melekat di benak dan jiwa kita?
Indonesia di tahun 1945 merupakan perpaduan harmonis dari nasionalisme radikalnya Soekarno, kelembutan tradisi Islamnya Wahid Hasyim, sosialisme revolusionernya Syahrir, tamaddun Islam modernisnya Natsir serta beraneka tradisi berpikir substantif menggairahkan lainnya. Mengapa pribadi mereka bisa merdeka, bahkan capable memerdekan bangsanya? Bukankah mereka adalah kaum muda yang dibesarkan, diasuh bahkan dijajah nalar pikirnya dalam lingkungan sekolah Belanda yang tak pernah berniat untuk menjadikan pemuda pribumi selain robot mekanis yang dapat dibayar murah. Mereka inilah sebenarnya yang disebut Mc Gregor Burns sebagai transforming leadership intellectual, yaitu intelektual yang berani membentuk lingkungan dengan imajinasi teratur, memadukan antara teori plus gagasan normatif dengan kerja kreatif di lapangan. Kaum muda masa lalu adalah mereka yang tidak mencipta disharmonisasi lingkungan dengan hanya menekuni teori dan data lapangan.
Adakah semangat transforming leadership itu kita miliki sekarang? Justru disaat kepemimpinan pemuda sendiri menempatkan intelektualitasnya sangat eksklusif tanpa matriks atmosfer masyarakat. Di mana kepemimpinan pemuda masa kini telah dijebak rayuan-rayuan eksklusifitas keilmuan tak membumi. Lingkungan edukasi kita bahkan lebih parah dari apa yang pernah diajarkan Belanda. Daya juang intelektualitas kita dilumpuhkan dengan format pendidikan serba pasar dan selalu berorientasi how to get job dan bukannya bagaimana mereformulasikan sebuah kepemimpinan partisipatif bagi bangsa yang kemerdekaannya baru sebatas imajinasi.
Memang, problem pemuda masa kini lebih berat dari beban yang ada di pundak Soekarno dulu. Tak dapat dipungkiri kalau pemuda masa kini adalah pemuda yang dibesarkan dalam sebuah biosfer baru yang lebih parah dari udara kolonialisasi yang pernah dihirup Soekarno. Pemuda kontemporer adalah mereka yang biasa disebut oleh Douglas Coupland (1990) sebagai generasi X.
Generasi X merupakan istilah sosiologi dari Paul Fussel yang menggambarkan sosok-sosok yang ingin lepas dari aturan baku yang stabil. Arus besar kaum ini terlihat terutama di kota-kota besar dengan ciri-ciri dandanan necis ala kaum profesional, penikmat café dan resto, aktif menggunakan internet, berpendikan tinggi serta juga banyak yang hobi baca buku.
Terdapat persamaan sebagaimana terdapat pula perbedaan akbar antara generasi Soekarno dan generasi X Indonesia modern. Tatanan baku yang dilawan generasi X justru tatanan lokal domestik bangsanya sendiri. Meskipun berpendidikan tinggi, generasi X tak bercitarasa kepemimpinan intelektual kritis. Generasi ini melanggengkan kepemimpinan global kapitalis dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai medium akomodatif yang mengiklankan kultur kolonial. Membaca buku bagi generasi X hanyalah mode, sebagaimana posisi trend setter lainnya seperti kafe dan internet. Tak pernah terlintas dalam benak generasi X untuk memimpin bangsanya dengan transformasi ilmu dan power pembebasan semassif mungkin bagi permukaan (surface) orde bangsa yang stabil.
Pemuda seperti ini telah mengalami hegemoni integratif imperialisme modern. Mereka tak lebih cerdas dari Agus Salim yang tak pernah kuliah, namun mampu mendiplomasikan kepemimpinan sinergis di dunia internasional. Bangku kuliah bagi generasi X hanyalah fashion ultra komersialis. Walhasil, jangankan memimpin bangsa, sebuah kepribadian otonom yang mandiripun mereka tak punya. Berharap dari kaum muda yang terhegemoni seperti ini sama saja dengan melegalisasi sebangsa imperialisme baru
Sudah saatnya stabilitas kepemimpinan kita tidak lagi terhegemoni. Kemerdekaan yang hakiki mestilah dimulai dari keterbebasan dari penjara kultur berpikir asosiatif yang berjalin dengan korporasi pemikiran kolonialisme. Jika memori kita telah lepas dari katastrofi asing yang tanpa sadar menjadikan kita sebagai integral part dari sebuah imperium asing yang mengglobal, maka mempimpin kemerdekaan bagi bangsa yang termarjinalkan pasti terlaksana. Merdekakanlah otak lebih dulu sebelum kerja akbar memerdekakan struktur ekonomi, politik dan kultur dilakukan. Kita berharap kepemimpinan pemuda di masa kini dimulai dari sebuah kemerdekaan intelektual dalam peradaban kemudian menghijrahkannya dalam public sphere yang humanis.
*) Pembina Kajian kebudayaan dan Agama di PMII FISIP Universitas Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar