Senin

Perempuan Menangisi Kemerdekaan

WACANA
Oleh: Etika Ernawati*
Kemerdekaan diidentikkan dengan istilah kebebasan, otonomi, serta kedaulatan. Isu ini secara luar biasa menganut interpretasi individualistik yang menyita banyak perhatian, termasuk pemahaman berbeda secara gender. Karena pengalaman laki-laki dan perempuan berbeda dalam merasakan dan memahami ketertindasan (penjajahan) serta perjuangannya.
Sosok perempuan kerapkali muncul di garda depan melawan penjajah dan penindasan. Di dunia internasional tercatat nama Aleksandra Kolontai, Kraupskaya, Rosa Luxemburg, Giaconda Belli, Mianerva Mirabal sang ‘kupu-kupu Dominika’, dan lain-lain. Indonesia juga punya Tjoet Njak Dhien, Tjoet Moetia, Nyi Ageng Serang, Martha Tiahahu, Soelami, Dita Indah Sari, dll.
Kartini adalah tokoh penting yang menandai kebangkitan perempuan di Indonesia yang mulai sadar akan pentingnya membuat kegiatan selain melayani suami, merawat anak, atau menjalani peran wanita dalam kultur feodal (kerajaan). Pada masa pergerakan Indonesia (periode Budi Utomo), gerakan wanita baru berjuang untuk kedudukan sosial saja. Soal kemerdekaan tanah-air masih terlalu jauh dari penglihatan dan pemikirannya. Perempuan Berserikat
Perjuangan kaum perempuan ditandai dengan pembentukan wadah organisasi. Pada tahun 1912 muncul organisasi wanita pertama di Jakarta , "Putri Mardika", atas bantuan Budi Utomo. Lalu, Perkumpulan "Kartini Fonds" yang bertujuan mendirikan sekolah-sekolah Kartini di berbagai tempat di Jawa. Organisasi bernama ‘Keutamaan Istri’ didirikan di banyak tempat di Jawa Barat. Di kota Padang Panjang, "Kerajinan Amai Setia" di kota Gedang; "PIKAT" (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) berdiri pada tahun 1917 di Manado. Semua organisasi wanita (partai atau daerah) bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumahtangga.
Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta (22-25 Desember) 1928 menjadi lembaran sejarah baru gerakan perempuan Indonesia. Organisasi perempuan mulai menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan perempuan Indonesia pada masa ini ialah berasaskan kebangsaan dan menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia.
Kesadaran kebangsaan itulah yang mempercepat proses perjuangan melawan penjajahan. Ada perempuan yang memegang senjata, menjadi kurir, bagian kesehatan dan pendidikan kolektif, dan juru masak di dapur-dapur umum perang gerilya melawan Belanda. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dicapai dan dipertahankan pada masa-masa di mana penjajah ingin kembali merebut kemerdekaan.
Perempuan Me(na)ngisi Kemerdekaan
Kesadaran dan gerakan politik perempuan Indonesia habis ketika Orde Baru naik ke pentas kekuasaan. Posisi dan peran perempuan dikangkangi oleh pemerintahan militeristik yang memasung demokrasi dan mengenyahkan kesejahteraan. Julia Suryakusuma dalam bukunya ‘Sex, Power, and Nation’ (2004) mengulas Orba memanipulasi sistematis peranan perempuan dan memakainya sebagai instrumen belaka untuk negara agar dapat meluaskan hegemoni rezim tersebut. Asumsinya adalah perempuan merupakan unit dasar keluarga dan masyarakat sehingga mengontrol perempuan menjadi agenda politik rezim Orba dan secara efisien pula mengontrol bangsa secara keseluruhan. Organisasi-organisasi perempuan yang awalnya progresif dalam makna cara pandang, program, dan strategi-taktik perjuangan mulai dilokalisir ke dalam wadah-wadah bentukan pemerintah-militeristik seperti PKK, Dharma Wanita, dan organisasi-organisasi perempuan non-politis.
Lalu apakah setelah Soeharto jatuh, perempuan telah menikmati kemerdekaan? Memang, di era reformasi kini tentu cara praktik Orba sudah tak dapat diterima lagi. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan di era Gus Dur, Khofifah Indah Parawansa, dengan gigih mengangkat isu perempuan sebagai isu pemberdayaan dan bukan memperdayakan perempuan. Kerja keras kelompok perempuan dari Sabang hingga Merauke adalah bekerja untuk hak-hak perempuan, memformulasikan kepentingan perempuan untuk perempuan dan oleh perempuan tanpa campur tangan negara.
Akan tetapi, pemerintahan pasca Orba (mulai Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY) juga memasukkan rakyat dan kaum perempuan ke dalam lubang pembantaian baru yang bernama neo-liberalisme (pasar bebas). Lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi internasional memaksakan kebijakan pasar bebas memaksa pemerintah Indonesia yang kompromis dan pro-penjajah asing. Menurut Mariarosa Dalla Costa dan Giovanna F Dalla Costa dalam bukunya ‘Kaum Perempuan dan Politik Strategi Ekonomi Internasional’, kebijakan penyesuaian ekonomi yang dilancarkan oleh IMF/Bank Dunia untuk mengatasi krisis utang negeri-negeri Dunia Ketiga ternyata malah menyebabkan pemiskinan sebagaian besar penduduk. Kaum perempuan, yang peran kerjanya amat menentukan untuk memelihara keluarga dan masyarakat adalah yang paling parah terpukul kebijakan ini.
Perempuan dilemahkan iman gerakannya dengan serangan-serangan iklan melalui media, bersama dengan upaya kaum modal untuk menciptakan konsumerisme. Media cetak, radio, televisi, film, Internet, dan bentuk-bentuk akhir teknologi media lainnya telah menyediakan definisi-definisi untuk menjadi laki-laki atau perempuan, membedakan status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks. Dalam situasi ini, perempuan tetaplah terbelenggu dengan apa yang dilakukan kapitalisme, sebuah kekuatan sistematis yang menjajah dengan dibantu oleh media-media yang memang beroperasi di bawah kendali penumpuk modal. Inilah tantangan baru yang harus dipikirkan kaum perempuan yang masih hirau pada nasib perempuan dan rakyat di era sekarang ini.
*) Bergiat di Yayasan ‘Gelombang’ (Gelora Manusia Pembangunan) Jatim, tinggal di Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung