SOROT
Oleh: Nurfa Rosanti*
Sastra merupakan unsur utama yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, persepektif, harmoni, irama, proporsi dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Manusia yang mengesampingkan sastra, menurut Pramoedya Ananta Toer tak lebih dari hewan yang berakal. "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” (Bumi Manusia, hal. 233)
Sindiran Pramoedya Ananta Toer agar masyarakat mencintai sastra sepertinya dianggap angin lalu. Bagi masyarakat negeri ini sastra justru kian terpinggirkan dari kehidupan. Parahnya lagi, keterpinggiran sastra tidak hanya dialami masyarakat perkotaan, tetapi juga mulai merambah masyarakat pedesaan. Tidak lagi kita dengar dendang ibu-ibu di Madura menyanyikan Dung-Tedung Anak Jeludin (Nina Bobo berbahasa Madura, Red) ketika bayinya menangis. Tidak pula kita dengar hikayat Madura mothak ajer ngajih (Kera belajar mengaji, Red) yang kerap diceritakan nenek menjelang tidur dulu. Yang kita tahu sekarang, ibu-ibu lebih sibuk menonton sinetron atau arisan daripada belajar sastra lokal warisan nenek moyang. ”Toh, cerita-cerita semacam itu sudah ada di tivi-tivi sekarang,’’ begitu dalih mereka.
Bagaimana dengan sekolah? Bukankah sastra diajarkan di sekolah? Dan peluang anak sekolahan paham dan mengerti sastra jauh lebih besar daripada anak yang tidak mengenyam pendidikan? Tapi nyatanya keadaan nyaris tidak jauh beda. Benar memang bahasa dan sastra Indonesia telah diajarkan di sekolah-sekolah formal sejak kelas 1 SD hingga kelas 3 SMA. Ini artinya 12 tahun anak-anak Indonesia bergelut dengan bahasa dan sastra. Namun, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia justru masuk deretan pelajaran paling membosankan. Sastra hanyalah dianggap hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Olenka, dan sebagainya hanya karena mereka ‘terpaksa’ atau mungkin ‘dipaksa’ menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran, yang mereka khawatirkan muncul ketika ujian.
Akibatnya bagi siswa, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, lalu ujian dan selesai. Dengan metode yang hampir sama dari tahun ke tahun dari generasi kegenerasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas di benak kebanyakan generasi kita. Mereka lebih senang nongkrong di mall, berburu gadis-gadis, atau bermain playstation daripada bersusah payah membaca Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer. Dengan kata lain, sastra benar-benar terasing di hadapan generasi muda.
Ironisnya lagi, di tengah keterasingan sastra, kaum muda justru tengah dikepung oleh budaya pop yang mengacak-acak libido dan keinginan manusia untuk tenggelam dalam budaya konsumerisme, hedonisme dan cara-cara serba instan. Bahkan tak jarang juga menghalalkan cara-cara kekerasan.
Memang akhir-akhir ini kita kerap disuguhi peristiwa-peristiwa bulliying yang menimpa dunia pendidikan. Dan pelakunya justru generasi muda. Mulai dari kematian Cliff Muntu (19), Praja Tingkat II IPDN yang tewas karena dianiaya seniornya 3 April lalu. Kemudian, kematian Edo Einaldo (8) siswa kelas II SD Santa Maria Immaculata di Pondok Bambu, Duren Sawit, karena dikeroyok empat teman sebayanya. Seorang pelakunya adalah siswa kelas IV SD, sedangkan tiga lainnya adalah teman sekelasnya dan ketiganya adalah perempuan. Bahkan yang terbaru adalah Patah tulang yang diderita Muhammad Fadhil Harkaputra Sirath 15), siswa kelas X SMA 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan, karena disiksa seniornya(Kompas, 11/11/07).
Peristiwa diatas hanya contoh kecil tindak kekerasan yang dilakukan generasi muda. Pasalnya, fenomena kekerasan ibarat gunung es. Artinya yang terungkap media massa hanyalah sebagian kecil dari realitas yang sebenarnya. Sampai disini pernyataan Pramoedya Ananta Toer pada awal tulisan ini semakin terasa kebenarannya.
Tentu akan lain ceritanya, jika sekolah lebih mengembangkan sastra kepada siswa-siswinya. Sebab sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradap. Tak hanya itu. Selain keseimbangan olah jiwa, kepekaan terhadap lingkungan yang memiliki unsur-unsur keindahan, siswa akan semakin mengerti tentang hakekat dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan semakin tebalnya jiwa kemanusiaan, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam diri manusia akan tenggelam dengan sendirinya. Sebab jarang sekali sastra dan kekerasan tampil dalam tubuh dan kalimat yang sama.
Perampasan Sastra
Sebenarnya keterasingan sastra di kalangan generasi muda tidak serta merta terjadi dengan sendirinya tanpa klausul yang jelas. Rendahnya minat sastra pada generasi muda sebenarnya merupakan turunan dari rendahnya minat sastra masyarakat. Sementara rendahnya minat sastra masyarakat disebabkan karena perampasan alat-alat produksi dari tangan masyarakat primitif oleh kaum penguasa dan pemodal yang juga berimbas pada perampasan pengetahun, budaya (termasuk juga sastra).
Awalnya sastra adalah milik semua kalangan masyarakat. Tanpa membedakan ras kulir, golongan, maupun pangkat. Hal tersebut dipertegas oleh Pramoedya Ananta Toer. "Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. (Bumi Manusia, Hal. 233).
Namun kini sastra berada dalam genggaman pemodal dan penguasa, maka sastra kini mulai dijadikan alat untuk memperbesar kekayaan dan kekuasaan mereka. Dan lembaga sekolah adalah yang paling memungkinkan untuk memperlancar akumulasi modal mereka melalui dagangannya bernama ’sastra’ itu.(Ariel Heryanto, 1985). Sementara sastra berkisah tentang kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, serta penyebar semangat perlawanan atas penindasan itu sendiri, dibuangnya ke ’keranjang sampah.’ Kemudian diupayakan segala macam siasat agar masyarakat, suka atau tidak suka hanya mengenal, mengakui dan mengangungkan sastra milik orang sekolahan.
Karena itu sastra harus dikembalikan pada posisinya semula sebagai sebuah bagian perjalanan kebudayaan masyarakat. Semua lapisan masyarakat harus dikenalkan paa sastra dan dipaksa untuk mendalami kaidah bersastra. Tentu saja bukan sastra yang melangit yang cerita tentang awang-awang dan keindahan, melainkan sastra yang bicara tentang lingkungan sekitar. Sastra yang mengungkap realitas sosial. Dan ini adalah tugas semua lapisan masyarakat, baik sastrawan, pemuda, politisi, akademisi dan praktisi yang peduli akan peradaban dan masa depan bangsa.
*) Pengajar di SMP Darussyahid Sampang, Madura dan anggota Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura.
Oleh: Nurfa Rosanti*
Sastra merupakan unsur utama yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, persepektif, harmoni, irama, proporsi dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Manusia yang mengesampingkan sastra, menurut Pramoedya Ananta Toer tak lebih dari hewan yang berakal. "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” (Bumi Manusia, hal. 233)
Sindiran Pramoedya Ananta Toer agar masyarakat mencintai sastra sepertinya dianggap angin lalu. Bagi masyarakat negeri ini sastra justru kian terpinggirkan dari kehidupan. Parahnya lagi, keterpinggiran sastra tidak hanya dialami masyarakat perkotaan, tetapi juga mulai merambah masyarakat pedesaan. Tidak lagi kita dengar dendang ibu-ibu di Madura menyanyikan Dung-Tedung Anak Jeludin (Nina Bobo berbahasa Madura, Red) ketika bayinya menangis. Tidak pula kita dengar hikayat Madura mothak ajer ngajih (Kera belajar mengaji, Red) yang kerap diceritakan nenek menjelang tidur dulu. Yang kita tahu sekarang, ibu-ibu lebih sibuk menonton sinetron atau arisan daripada belajar sastra lokal warisan nenek moyang. ”Toh, cerita-cerita semacam itu sudah ada di tivi-tivi sekarang,’’ begitu dalih mereka.
Bagaimana dengan sekolah? Bukankah sastra diajarkan di sekolah? Dan peluang anak sekolahan paham dan mengerti sastra jauh lebih besar daripada anak yang tidak mengenyam pendidikan? Tapi nyatanya keadaan nyaris tidak jauh beda. Benar memang bahasa dan sastra Indonesia telah diajarkan di sekolah-sekolah formal sejak kelas 1 SD hingga kelas 3 SMA. Ini artinya 12 tahun anak-anak Indonesia bergelut dengan bahasa dan sastra. Namun, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia justru masuk deretan pelajaran paling membosankan. Sastra hanyalah dianggap hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Olenka, dan sebagainya hanya karena mereka ‘terpaksa’ atau mungkin ‘dipaksa’ menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran, yang mereka khawatirkan muncul ketika ujian.
Akibatnya bagi siswa, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, lalu ujian dan selesai. Dengan metode yang hampir sama dari tahun ke tahun dari generasi kegenerasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas di benak kebanyakan generasi kita. Mereka lebih senang nongkrong di mall, berburu gadis-gadis, atau bermain playstation daripada bersusah payah membaca Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer. Dengan kata lain, sastra benar-benar terasing di hadapan generasi muda.
Ironisnya lagi, di tengah keterasingan sastra, kaum muda justru tengah dikepung oleh budaya pop yang mengacak-acak libido dan keinginan manusia untuk tenggelam dalam budaya konsumerisme, hedonisme dan cara-cara serba instan. Bahkan tak jarang juga menghalalkan cara-cara kekerasan.
Memang akhir-akhir ini kita kerap disuguhi peristiwa-peristiwa bulliying yang menimpa dunia pendidikan. Dan pelakunya justru generasi muda. Mulai dari kematian Cliff Muntu (19), Praja Tingkat II IPDN yang tewas karena dianiaya seniornya 3 April lalu. Kemudian, kematian Edo Einaldo (8) siswa kelas II SD Santa Maria Immaculata di Pondok Bambu, Duren Sawit, karena dikeroyok empat teman sebayanya. Seorang pelakunya adalah siswa kelas IV SD, sedangkan tiga lainnya adalah teman sekelasnya dan ketiganya adalah perempuan. Bahkan yang terbaru adalah Patah tulang yang diderita Muhammad Fadhil Harkaputra Sirath 15), siswa kelas X SMA 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan, karena disiksa seniornya(Kompas, 11/11/07).
Peristiwa diatas hanya contoh kecil tindak kekerasan yang dilakukan generasi muda. Pasalnya, fenomena kekerasan ibarat gunung es. Artinya yang terungkap media massa hanyalah sebagian kecil dari realitas yang sebenarnya. Sampai disini pernyataan Pramoedya Ananta Toer pada awal tulisan ini semakin terasa kebenarannya.
Tentu akan lain ceritanya, jika sekolah lebih mengembangkan sastra kepada siswa-siswinya. Sebab sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradap. Tak hanya itu. Selain keseimbangan olah jiwa, kepekaan terhadap lingkungan yang memiliki unsur-unsur keindahan, siswa akan semakin mengerti tentang hakekat dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan semakin tebalnya jiwa kemanusiaan, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam diri manusia akan tenggelam dengan sendirinya. Sebab jarang sekali sastra dan kekerasan tampil dalam tubuh dan kalimat yang sama.
Perampasan Sastra
Sebenarnya keterasingan sastra di kalangan generasi muda tidak serta merta terjadi dengan sendirinya tanpa klausul yang jelas. Rendahnya minat sastra pada generasi muda sebenarnya merupakan turunan dari rendahnya minat sastra masyarakat. Sementara rendahnya minat sastra masyarakat disebabkan karena perampasan alat-alat produksi dari tangan masyarakat primitif oleh kaum penguasa dan pemodal yang juga berimbas pada perampasan pengetahun, budaya (termasuk juga sastra).
Awalnya sastra adalah milik semua kalangan masyarakat. Tanpa membedakan ras kulir, golongan, maupun pangkat. Hal tersebut dipertegas oleh Pramoedya Ananta Toer. "Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. (Bumi Manusia, Hal. 233).
Namun kini sastra berada dalam genggaman pemodal dan penguasa, maka sastra kini mulai dijadikan alat untuk memperbesar kekayaan dan kekuasaan mereka. Dan lembaga sekolah adalah yang paling memungkinkan untuk memperlancar akumulasi modal mereka melalui dagangannya bernama ’sastra’ itu.(Ariel Heryanto, 1985). Sementara sastra berkisah tentang kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, serta penyebar semangat perlawanan atas penindasan itu sendiri, dibuangnya ke ’keranjang sampah.’ Kemudian diupayakan segala macam siasat agar masyarakat, suka atau tidak suka hanya mengenal, mengakui dan mengangungkan sastra milik orang sekolahan.
Karena itu sastra harus dikembalikan pada posisinya semula sebagai sebuah bagian perjalanan kebudayaan masyarakat. Semua lapisan masyarakat harus dikenalkan paa sastra dan dipaksa untuk mendalami kaidah bersastra. Tentu saja bukan sastra yang melangit yang cerita tentang awang-awang dan keindahan, melainkan sastra yang bicara tentang lingkungan sekitar. Sastra yang mengungkap realitas sosial. Dan ini adalah tugas semua lapisan masyarakat, baik sastrawan, pemuda, politisi, akademisi dan praktisi yang peduli akan peradaban dan masa depan bangsa.
*) Pengajar di SMP Darussyahid Sampang, Madura dan anggota Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura.
2 komentar:
"sastra dan keterasingan"
entahlah, belakangan, semenjak beberapa tahun silam sastra madura memang nyaris pupus, atau bahkan sudah pupus, dan anehnya tak ada yang peduli, keculia segelintir orang. saya tidak tahu, apakah mereka karena tidak paham dengan lokalitas, atau sengaja demi sebuah tren posmo?
Posting Komentar