Selasa

Konversi Energi: Saatnya Garap Biogas Dan Biofuel

Pengantar Redaksi: Pasokan minyak tanah cepat atau lambat di berbagai daerah akan dikurangi pemerintah. Pasalnya, konversi energi dari minyak tanah ke tabung gas LPG menjadi pilihan pemerintah dalam penghematan keuangan negara sekaligus mendukung gerakan penggunaan energi alternatif. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki potensi menjadi sentra produksi biogas dan biofuel yang berasal dari tanaman pertanian dan peternakan. Pengembangan energi alternatif ini sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat dan petani Indonesia. Kini tinggal pemerintah konsisten dalam gerakan sosialisasi dari Sabang sampai Merauke.

OLEH: AGUS SALAM
Langkah konversi minyak tanah ke tabung gas elpiji saat ini berbenturan dengan tradisi masyarakat yang sudah terbiasa memasak dengan kompor minyak tanah. Pemerintah tetap konsisten untuk membatasi ’kuota’ minyak tanah di daerah yang sudah masuk dalam peta konversi. Untuk merubah kebiasaan masyarakat menggunakan minyak tanah ke bahan bakar gas memang sangat sulit.
Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriyantono butuh sosialisasi dan pembelajaran yang intens. Apalagi pemerintah kini sedang merintis program penggunaan gas dan bioenergi. Kini saatnya, pemerintah mendukung penuh komponen swasta yang mau berinvestasi dalam pengembangan biogas dan biofuel yang berbasis tanaman pertanian.
‘’Program bioenergi dengan memanfaatkan hasil pertanian akan menjadi program yang didukung semua kalangan. Terkait dengan kesadaran masyarakat menggunakan sumber daya yang tidak bisa diperbaharui dan semakin habis. Sedang bioenergi ini sifatnya bisa diperbaharui,’’ katanya dalam acara dialog bioenergi, temu karya dan Pameran Bioenergi Pedesaan dan Pemanfaatan Limbah Pertanian di Auditorium Deptan beberapa waktu lalu.
Menurut Apriyantono, dengan melakukan program bioenergi dari hasil dan limbah pertanian diharapkan juga dapat menyerap tenaga kerja dan dapat memberikan kesejahteraan bagi petani. ’’Karena itu Deptan terus mencoba untuk mensosialisasikan penggunaaan bioenergi ini sehingga penggunaan bioenergi sebagai pengganti minyak tanah bisa diterima masyarakat,’’ katanya.
Begitu juga yang diungkap kepala Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) Alhilal Hamdi, bahwa salah satu permasalahan nasional yang dihadapi akhir-akhir ini (terkait kebijakan pemerintah tentang pengurangan bahan bakar minyak tanah, red) harus dicarikan jalan keluarnya, baik untuk keperluan rumah tangga, maupun untuk industri dan transportasi.
Lebih jauh, Hamdi menjelaskan,program pengembangan bioenergi di Indonesia dapat mengatasi tiga masalah besar yaitu kemiskinan yang saat ini mencapai 36,1 juta jiwa dengan memberikan lapangan kerja baru dan pendapatan bagi petani, menekan penggunaan BBM di Indonesia yang sudah sangat tinggi berkisar 60 juta kiloliter per tahun dengan subsidi Rp 136 triliun. ‘’Ini berarti mengatasi masalah lingkungan dan penanaman jarak pagar (jatropha) di lahan kritis akan mengatasi problem lingkungan yang luas,’’ katanya.
Begitu juga dengan pemanfaatan lahan kritis, Hamdi menjelaskan, luas lahan kritis di Indonesia diperkirakan telah mencapai 25 juta hektare dengan tingkat penggundulan tiga juta hektare per tahun atau satu hektare per menit. Maka, untuk menghambat laju kerusakan akan dilaksanakan gerakan rehabilitasi 10 juta hektare lahan kritis dengan jarak pagar. Program ini juga bertujuan untuk pengembangan energi hijau dalam mengatasi krisis BBM dan menanggulangi kemiskinan.
Sementara itu, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, Paulus Tjakrawan menganggap dalam dialog tersebut berharap, pemerintah lebih serius dalam mengembangkan proyek biofuel. Sebab, hingga kini, pemerintah belum mengeluarkan peraturan khusus soal pengadaan bahan bakar nabati. Sehingga penggunaan minyak tanah bisa terkurangi dan beralih hasil bumi yang dapat diperbaharui.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung