Senin

Makna Tranformatif Idul Fitri

TEROPONG
Oleh: Nurani Soyomukti*

Ajaran Islam tentang kesucian manusia telah inheren dengan misinya untuk menyelamatkan umat manusia, bahkan juga berusaha mensucikannya dalam sebuah keberadaan kehidupan dunia dan akhirat. Islam berasal dari kata “salama”, yang artinya selamat. Cita-cita Islam untuk membentuk ‘manusia dalam sebaik-baiknya bentuk’ (fiahsani taqwim) juga berkorelasi dengan hakekat kelahiran itu sendiri (Q.S. 95: 4).
Setiap kelahiran sebenarnya adalah potensi bagi kebajikan. Ketika seorang bayi lahir, ia bersih suci, murni, karena belum dibentuk oleh struktur sosial yang ada. Keburukan situasi sosial akan mencemari perkembangan bayi tersebut. Jadi, perjuangan untuk menciptakan situasi sosial yang kondusif bagi kemanusiaan adalah tugas sejarah yang diakui dan dianjurkan sebagai kewajiban ajaran semua agama, termasuk Islam.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan “manusia” adalah suatu konsep yang belum final kalau hanya ditinjau dari kondisi materinya. Kalau dipahami dari kenyataan bahwa ia memiliki logika biologis, memiliki kebutuhan-kebutuhan, pada dasarnya karakteristik itu juga dimiliki oleh binatang, bahkan tumbuhan. Sepanjang diamati berdasarkan bagaimana ia makan-minum, kegiatan seksual, adanya kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan-kesenangan, maka watak ini juga dimiliki oleh binatang. Hakekat manusia adalah makhluk yang sadar akan lingkungannya. Ini bisa ditempuh dengan menggunakan kapasitas hati dan pikiran untuk berpengetahuan. Dunia adalah taman firdaus dengan hati dan pikiran sebagai pintu gerbangnya.
Sekarang ini kita menganalisa syarat-syarat material bagi kondisi sosial yang kondusif bagi penemuan manusia yang berkualitas, bersih, dan suci. Kita harus berangkat dari fakta bahwa tapi manusia adalah produk dari masyarakat juga. Buanglah seorang bayi ke hutan belantara yang jauh dari peradaban manusia, maka dipastikan dia akan menjadi mahkluk yang secara peradaban mirip binatang, mulai dari cara makannya, pikirannya, bicaranya, dan lain-lain.
Sistem sosial yang tidak sehat seperti saat ini juga hanya menjadikan manusia hanya tunduk pada egonya: Ego spesies yang menghinggapi makhluk manusia, ego yang tidak bisa membukakan pikiran dan hatinya untuk mewujudkan harmoni kehidupan sebagai manusia yang otentik. Ego spesies inilah yang membuat mereka merasa sudah menjadi manusia (dalam pengertian kualitatif), merasa sudah jadi ‘fi ahsani taqwim’ (mahkluk yang sempurna). Pada hal mereka sama sekali belum sedikitpun berpikir tentang parameter apa yang menyebabkan mereka disebut sebagai manusia. Mereka mengaku berbeda dengan spesies lain, misalnya hewan dan tumbuhan; tetapi, sekali lagi, apakah hanya dengan aktivitas berupa makan, minum, seks, dan pelampiasan-pelampiasan kebutuhan (yang juga dimiliki mahkluk lain) telah memberikan penjelasan bahwa mereka “manusia jadi”?
Parameter kemanusiaan yang diperlihatkan oleh para nabi dan filsuf nampaknya, meskipun dalam hal tertentu sangat berbeda, bisa dikatakan bertemu dalam suatu titik temu—walaupun diagnosa kemanusiaan tersebut memang tidak akan pernah sempurna karena manusia selalu tunduk pada misteri kosmos. Tapi setidaknya diagnosa kemanusiaan dan rekomendasi yang dibuat bisa dijadikan dasar untuk menciptakan hubungan sosial yang lebih baik. Sejarah dibimbing oleh tenaga produktif dengan pikiran dan hati yang rindu masa depan, muaranya yang terus dicarinya. Air mengalir mencari muara tempat bertemu cita-cita kemanusiaan dari keeping-keping perjalanan sejarah yang melintasi semua bangsa, benua, dan bahasa.
Muara itu dapat direngkuh dengan hati dan pikiran untuk meraih objektifitas. Dunia adalah taman firdaus dengan hati dan pikiran manusia sebagai pintu gerbangnya. Manusia pilihan, otentik dan menyejarah. Mereka selalu merengkuh kehidupan dalam genggamannya, disinari pengetahuan tentang keberadaannya dan hubungan-hubungannya dengan hidup. Dan pengetahuanlah yang pertama kali bersalaman dengan cita-cita kemanusiaan.
Pengetahuan, hasil dari hati dan pikiran manusia untuk memeluk realitas. Dialah yang mencopot kedok-kedok. Yang mengetahui rencana jahat dan menyusun langkah untuk mencegahnya. Dialah tenaga produktif sejati yang mengembangkan sejarah hingga manusia telah melangkah pada peradabannya yang terus maju dan masih mencari muara.
Ketika masyarakat baru lahir, masyarakat lama ditinggalkan. Bayi baru telah lahir, mungkin mengorbankan banyak hal. Ibu bisa berdarah-darah (dan bahkan dijemput kematian), tetapi Ibu bisa sehat dan selamat atas kelahiran anaknya. Kelahiran adalah hasil dari pemberontakan. Darah lahir karena bertabrakan antara cita-cita baru dengan keinginan lama. Pengetahuan lama yang konservatif menginginkan kebodohan, pengetahuan baru menginginkan cita-cita mulia yang menaungi masa depan umat manusia. Pengetahuan baru yang objektif membawa pencerahan.
Ketika lahir di dunia manusia berada dalam keadaan bersih, tak ternoda, tak berdosa, putih kosong tanpa tulisan serta tiada coretan: Fitri. Ketika muncul suara yang keras dan merengek-menangis, telah ditandai munculnya sebuah kehidupan baru. Berlumur darah dan ketuban dari Ibu, telanjang tanpa selembar kainpun. Tanpa celana, baju dan kebudayaan… tanpa koteka tanpa jas almamater tanpa mahkota dan tanpa pakaian resmi seperti para legeslatif dan majikan yang telah terlanjur jadi orang kotor.
Sejak kelahirannya manusia telah ditakdirkan miskin, tapi murni, tulus, tanpa tuntutan dan tak ternoda apalagi oportunis. Siapa dan apa yang disalahkan kemudian?: Setelah besar mereka berlagak secara vulgar di hadapan dirinya, menyangkal keabsahan dan keotentikannya, menempatkan diri sebagai makhluk hipokrit dan penipu—dan terparah lagi menciptakan jaring-jaring penindasan dan kemunafikan yang dilembagakan: Perbudakan, Feodalisme, Kapitalisme yang membuat manusia dalam perkembangannya menjadi sakit, penakut, angkuh, hipokrit, peragu, dan pengecut.
Kondisi manusia pun dibentuk oleh sejarah dan struktur sosial. Maka kemanusiaan yang sejati akan bergerak untuk mencari muara, mengatasi kontradiksi dan bergerak maju dengan bimbingan kerja, hati dan otak, menuju cita-cita umum manusia: masyarakat yang kondusif bagi keberadaannya. Tenaga produktif terus berkembang dan akan menghancurkan hambatan-hambatan material dan hubungan produksi yang membelenggu dan mengasingkannya.
Manusia, untuk membedakannya dengan binatang, adalah makhluk yang berpikir. Kemampuan berpikir ini secara nyata terus berkembang dengan ditemukannya barang-barang dan peralatan-peralatan yang dipakai sebagai ukuran bagi keberadaban “manusia”. Ditemukannya alat-alat baru (modern) yang membantu kemudahan hidup serta memungkinkan besarnya pleasure yang semakin bertambah, celakanya, selalu dipahami sebagai patokan keberadaban itu. Pada saat yang sama kepemilikan pribadi dan kepemilikan akses-akses produksi memberanikan orang untuk menyebut diri mereka sebagai “manusia”. Perasaan “kemanusiaan” mereka diuji dengan memuasi kenyataan yang dilihat atas ketidakmampuan orang lain dalam mengakses hal-hal yang mampu memenuhi kebutuhan universalnya.
Esensi kemanusiaan, dalam anggapan spesies seperti itu, sebenarnya secara tidak disadari bergeser ke orientasi kebencian, keserakahan, narsisisme yang dibungkus dalam nuansa kesenangan, humor, dan pemuasan diri dalam dunia hiperrealnya. Akibatnya, manusia” tersebut merasa menjadi manusia hanya karena dia merasa kaya atas kepemilikan pribadi dan jangkauan akses-akses produksi yang dibanggakan. Kaya seperti itu barangkali lebih inheren dalam naluri spesies binatang yang selalu memuasi kemudahan pemenuhan kebutuhan laparnya serta kekuasaan untuk mendapat mangsa.
Sekarang, dari watak manusia sebagai makhluk berpikir, rasio manusia dalam corak produksi yang tidak setara dan menindas pada kenyataannya hanya lebih banyak digunakan untuk “memintari” orang lain. Hubungan ekonomi penindasan akan melahirkan pola pikir, kesadaran, dan ideologi yang melanggengkan penindasan itu.
Utamanya dalam masyarakat sekarang, watak manusia terutama adalah keniscayaan nafsu; maka kecerdasannya hanya akan digunakan semata-mata untuk memenuhi nafsu melalui kompetisi dalam masyarakat kapitalistik ini. Kepintaran dalam pengertian ini merupakan kepintaran yang menutup diri dari kemampuan dan kemauan untuk berbagi dengan orang lain dan masyarakat. Dalam sistem penindasan, watak ini telah mendapatkan fondasinya dalam struktur dan sistem ekonomi-politik, sosial dan budaya.
Sebagai manusia yang juga berada dalam hukum dialektika dengan alam, maka pencarian-pencarian bagi proses evolusi batin menuju makhluk yang berkualitas akan diikuti dengan tantangan-tantangan baru. Dan tentunya sebagai mahkluk yang dinamis terhadap alam, manusia akan selalau bergerak menghadapi perlakuan-perlakuan yang berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Wallahu’alam.
*) Sarjana Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember, kini aktif di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung