Oleh: Putu Sugih Arta*
Dunia seni pewayangan, salah satu bentuk kesenian tertua di dunia. Umurnya, sudah mencapai ratusan tahun. Menurut perkiraan Dr. Hazeu, seni wayang di Jawa telah dikenal luas kira-kira pada tahun 800 Saka (878 M). Bahkan lebih meyakinkan lagi, Dr. Brandes menyimpulkan seni wayang di Jawa sudah dikenal pada tahun 700 Saka (778M). Alasannya, istilah-istilah teknis dalam pewayangan sudah sangat tua sekali, sehingga sulit sekali dijelaskan. Perkiraan, Dr. Hazeu berdasarkan pada kondisi perkembangan kesenian ini begitu marak di zaman Raja Erlangga, Raja Kediri. Di keraton sering dipertunjukkan kesenian wayang kulit ( awayang i haji ).
Namun, apabila kita merujuk pertunjukkan wayang kulit di masa Erlangga, tentu tak akan lepas dari silsilah panjang leluhurnya. Leluhur Erlangga, justru berasal dari Bali, karena raja ini adalah putra pertama dari Dharma Udayana Warmadewa dengan Gunapriya Dharmapatni. Erlangga memerintah di Jawa, sedangkan adik-adiknya secara bergilir yakni Marakata dan Anak Wungsu memerintah Bali. Berarti, bisa saja, di jaman pendahulu Erlangga kesenian wayang sudah dikenal di Bali. Berdasarkan prasasti Blanjong, Panembahan dan Malat Gede, raja pertama yang memerintah Bali adalah Sri Kesari Warmadewa, kemudian dalam prasasti lainnya, beliau digantikan oleh Sri Ratu Ugrasena, selanjutnya Jayasingha Warmadewa, Janasadhu Warmadewa, Sri Maharaja Sri Mahadewi, baru kemudian orang tua Erlangga.
Kalau merujuk kenyataan sejarah, boleh saja disimpulkan kesenian wayang sudah sangat kental sebagai seni pertunjukkan di Bali, sebelum marak dipentaskan sebagai kesenian rakyat di Pulau Jawa. Kendati istilah parbwayang (yang artinya tontonan wayang) secara tertulis baru terungkap pada prasasti Bebetin yang dikeluarkan di zaman kekuasaan Raja Dharma Udayana Warmadewa dan Gunaprya Dharmapatni.
Kesenian adiluhung Nusantara ini, sarat dengan pesan-pesan moral sehingga mau tidak mau harus dilestarikan. Apalagi di era global paradoks saat ini, kecenderungan manusia akan terseret arus menyesatkan sangat gampang. Tentunya, dengan perantaraan wayang kekhawatiran terhadap kemerosotan akhlak perlahan-lahan bisa diminimalisir. Masalah media, kalau media tradisional ketinggalan zaman, tidak menutup kemungkinan inovasi teknologi modern, dapat menjadi alternatif pilihan yang lain.
Selain Jawa dan Bali, di Lombok pun berkembang pula kesenian wayang kulit. Pementasan yang mengambil tema perjalanan tokoh Prabu Jayeng Rana menjadi tontonan klasik rakyat Lombok dalam upaya mempertahankan semangat menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Banyak bermunculan sanggar pedalangan Sasak, antara lain, Wayang Kulit Sasak “Samar Katon” pimpinan Mohamad.
Adapun cerita yang dipentaskan berjudul “Kubarsih”. Yakni, menceritakan bahwa di kerajaan Kubarsih yang dipimpin oleh Parbu Maliat Kustur sedang mengadakan pesamuan atau rapat besar, beliau berdiskusi dengan dua orang adiknya Dewi Malik Kadarwati dan Raden Warhap Kustur serta punggawa-punggawa kerajaan lainnya. Adapun hasil dari pesamuan itu, sang raja marah besar pada Prabu Jayeng Rana raja kerajaan Puser Bumi yang telah menguasai tiga kerajaan yaitu: Sidang Dayang, Dayang Sengari dan Kulub. Maka, ia perintahkan pada punggawa untuk menyurati Prabu Jayeng Rana untuk menyerahkan ketiga kerajaan yang ditaklukkannya. Tentu saja, Prabu Jayeng Rana menolak. Saat itu, Prabu Jayeng Rana sedang di kerajaan Kusnimalebar dan sedang mendiskusikan dengan bawahannya mengenai ketentraman wilayah yang telah dikuasainya.
Tak pelak lagi, terjadilah perang dahsyat, yang diakhiri duel antara Prabu Maliat Kustur dengan Prabu Jayeng Rana, yang dimenangkan oleh Prabu Jayeng Rana. Prabu Maliat Kustur mampu menyelamatkan diri, dan mengancam suatu hari nanti, ia bersama sekutunya akan menyerbu negeri Mekah atau Kerajaan Puser Bumi.
Sanggar Wayang Kulit Sasak Samar Katon , Bonjeruk, Jonggat Lombok Tengah yang dipimpin oleh Dalang Mohamad, sejak tahun 1984 ini sudah seringkali menunjukkan kebolehannya baik pada acara roah (pesta pernikahan atau acara-acara budaya lainnya) maupun pementasan yang bersifat apresiasi. Dan, penonton kebanyakan merasa puas oleh gaya (style) yang diimprovisasikan sang dalang. Karena, Dalang Mohamad mengenal secara alami hakekat humaniora agar penonton tidak merasa bosan. Tampilan segar, punakawan sebagai pembawa cerita dan suara berat Ki Dalang ternyata menjadi kelebihan tersendiri di antara jajaran pedalang yang sudah eksis di Pulau Lombok. Sehingga patutlah, Mohamad memperoleh pujian tersendiri dalam upaya melestarikan seni klasik wayang kulit di NTB.
*) Budayawan, tinggal di Mataram
Dunia seni pewayangan, salah satu bentuk kesenian tertua di dunia. Umurnya, sudah mencapai ratusan tahun. Menurut perkiraan Dr. Hazeu, seni wayang di Jawa telah dikenal luas kira-kira pada tahun 800 Saka (878 M). Bahkan lebih meyakinkan lagi, Dr. Brandes menyimpulkan seni wayang di Jawa sudah dikenal pada tahun 700 Saka (778M). Alasannya, istilah-istilah teknis dalam pewayangan sudah sangat tua sekali, sehingga sulit sekali dijelaskan. Perkiraan, Dr. Hazeu berdasarkan pada kondisi perkembangan kesenian ini begitu marak di zaman Raja Erlangga, Raja Kediri. Di keraton sering dipertunjukkan kesenian wayang kulit ( awayang i haji ).
Namun, apabila kita merujuk pertunjukkan wayang kulit di masa Erlangga, tentu tak akan lepas dari silsilah panjang leluhurnya. Leluhur Erlangga, justru berasal dari Bali, karena raja ini adalah putra pertama dari Dharma Udayana Warmadewa dengan Gunapriya Dharmapatni. Erlangga memerintah di Jawa, sedangkan adik-adiknya secara bergilir yakni Marakata dan Anak Wungsu memerintah Bali. Berarti, bisa saja, di jaman pendahulu Erlangga kesenian wayang sudah dikenal di Bali. Berdasarkan prasasti Blanjong, Panembahan dan Malat Gede, raja pertama yang memerintah Bali adalah Sri Kesari Warmadewa, kemudian dalam prasasti lainnya, beliau digantikan oleh Sri Ratu Ugrasena, selanjutnya Jayasingha Warmadewa, Janasadhu Warmadewa, Sri Maharaja Sri Mahadewi, baru kemudian orang tua Erlangga.
Kalau merujuk kenyataan sejarah, boleh saja disimpulkan kesenian wayang sudah sangat kental sebagai seni pertunjukkan di Bali, sebelum marak dipentaskan sebagai kesenian rakyat di Pulau Jawa. Kendati istilah parbwayang (yang artinya tontonan wayang) secara tertulis baru terungkap pada prasasti Bebetin yang dikeluarkan di zaman kekuasaan Raja Dharma Udayana Warmadewa dan Gunaprya Dharmapatni.
Kesenian adiluhung Nusantara ini, sarat dengan pesan-pesan moral sehingga mau tidak mau harus dilestarikan. Apalagi di era global paradoks saat ini, kecenderungan manusia akan terseret arus menyesatkan sangat gampang. Tentunya, dengan perantaraan wayang kekhawatiran terhadap kemerosotan akhlak perlahan-lahan bisa diminimalisir. Masalah media, kalau media tradisional ketinggalan zaman, tidak menutup kemungkinan inovasi teknologi modern, dapat menjadi alternatif pilihan yang lain.
Selain Jawa dan Bali, di Lombok pun berkembang pula kesenian wayang kulit. Pementasan yang mengambil tema perjalanan tokoh Prabu Jayeng Rana menjadi tontonan klasik rakyat Lombok dalam upaya mempertahankan semangat menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Banyak bermunculan sanggar pedalangan Sasak, antara lain, Wayang Kulit Sasak “Samar Katon” pimpinan Mohamad.
Adapun cerita yang dipentaskan berjudul “Kubarsih”. Yakni, menceritakan bahwa di kerajaan Kubarsih yang dipimpin oleh Parbu Maliat Kustur sedang mengadakan pesamuan atau rapat besar, beliau berdiskusi dengan dua orang adiknya Dewi Malik Kadarwati dan Raden Warhap Kustur serta punggawa-punggawa kerajaan lainnya. Adapun hasil dari pesamuan itu, sang raja marah besar pada Prabu Jayeng Rana raja kerajaan Puser Bumi yang telah menguasai tiga kerajaan yaitu: Sidang Dayang, Dayang Sengari dan Kulub. Maka, ia perintahkan pada punggawa untuk menyurati Prabu Jayeng Rana untuk menyerahkan ketiga kerajaan yang ditaklukkannya. Tentu saja, Prabu Jayeng Rana menolak. Saat itu, Prabu Jayeng Rana sedang di kerajaan Kusnimalebar dan sedang mendiskusikan dengan bawahannya mengenai ketentraman wilayah yang telah dikuasainya.
Tak pelak lagi, terjadilah perang dahsyat, yang diakhiri duel antara Prabu Maliat Kustur dengan Prabu Jayeng Rana, yang dimenangkan oleh Prabu Jayeng Rana. Prabu Maliat Kustur mampu menyelamatkan diri, dan mengancam suatu hari nanti, ia bersama sekutunya akan menyerbu negeri Mekah atau Kerajaan Puser Bumi.
Sanggar Wayang Kulit Sasak Samar Katon , Bonjeruk, Jonggat Lombok Tengah yang dipimpin oleh Dalang Mohamad, sejak tahun 1984 ini sudah seringkali menunjukkan kebolehannya baik pada acara roah (pesta pernikahan atau acara-acara budaya lainnya) maupun pementasan yang bersifat apresiasi. Dan, penonton kebanyakan merasa puas oleh gaya (style) yang diimprovisasikan sang dalang. Karena, Dalang Mohamad mengenal secara alami hakekat humaniora agar penonton tidak merasa bosan. Tampilan segar, punakawan sebagai pembawa cerita dan suara berat Ki Dalang ternyata menjadi kelebihan tersendiri di antara jajaran pedalang yang sudah eksis di Pulau Lombok. Sehingga patutlah, Mohamad memperoleh pujian tersendiri dalam upaya melestarikan seni klasik wayang kulit di NTB.
*) Budayawan, tinggal di Mataram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar