OLEH: SULIS STYAWAN*
Masalah Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang saat ini tengah digodok oleh DPR terus menuai kritik dan kecaman, terutama dari kalangan yang peduli terhadap masalah pendidikan.
Kalangan mahasiswa, LSM, maupun masyarakat di berbagai kota besar menggelar demonstrasi menolak RUU BHP. Alasannya, sebagian besar alur dalam RUU tersebut justru ”menjual” sektor pendidikan kepada pemodal-pemodal besar dan tak lagi berorientasi pada pencerdasan kehidupan bangsa, serta kian ”melanggengkan” sistem kapitalisme dalam jagat pendidikan.
Memang, terkait dengan RUU BHP, sikap kritis masyarakat mutlak diperlukan. RUU BHP harus dikritisi secara serius dan disikapi secara bijak sebelum disahkan menjadi UU yang pada gilirannya pasti diberlakukan bagi seluruh institusi pendidikan di negeri ini.
Hal ini sangat urgen, mengingat model yang ada dalam RUU BHP itu bukannya memberi peluang yang lebih luas bagi warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan (dasar hingga perguruan tinggi) yang bermutu, namun sebaliknya, malah akan ”merenggut” hak dan atau ”mengebiri” serta mempersempit akses warga negara --terutama wong cilik pada aras grassroots-- ntuk memperoleh layanan pendidikan yang murah (dan bermutu).
RUU BHP menghendaki agar pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi ”lepas” dari intervensi pemerintah dan dikelola dalam sebuah model ”privatisasi”. Publik tentu amat mafhum, bahwa istilah ”privatisasi” sangat kental dengan pendekatan modal. Artinya, konsep liberalisme dan kapitalisme --di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal-- begitu kuat melekat di dalamnya.
Dengan model BHP, berarti pula bahwa neoliberalisme dalam bidang ekonomi-politik bukan saja telah ”diizinkan” untuk menyusup, tetapi sudah nyata-nyata dibebaskan untuk ”mengintervensi” dan menguasai bidang pendidikan yang menjanjikan pendidikan berorientasi profit an sich.
Konsekuensi logis model pendidikan yang dikembangkan melalui upaya privatisasi (baca: pendekatan modal) ini adalah bahwa sekolah dan atau PT ”dipaksa” untuk saling berlomba-lomba ”memasarkan” dirinya. Tak pelak, aneka cara pasti akan ditempuh untuk menjaring siswa dan mahasiswa baru sebanyak-banyaknya untuk mengakumulasi dana.
Dalam tataran ini, jika tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin prinsip homo homini lupus akan terjadi dalam jagat pendidikan kita. Sekolah dan PT yang ”kuat” akan ”memakan” (mematikan) sekolah atau PT kelas ”teri” yang banyak dihuni oleh kaum miskin-papa.
Sebenarnya, tak usah menunggu RUU BHP disahkan menjadi UU, untuk saat ini saja, realitas homo homini lupus dalam dunia pendidikan sudah lazim terjadi dan tampak nyata di hadapan publik. Lihat saja, penyelenggaraan pendidikan berbiaya mahal telah merambah, tidak hanya di PT, tapi juga ke sekolah-sekolah di pelosok desa.
Pungutan biaya pendidikan dalam berbagai macam nama dan model, dengan dalih klasik ”untuk meningkatkan kualitas pendidikan”, kian marak dan besarnya juga kian melangit. Akibatnya, pendidikan hanya mampu dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi diuntungkan oleh struktur dan sistem sosial yang ada. Sedang mereka yang datang dari kelas yang dieksploitasi secara ekonomi, jelas tidak akan dapat menjangkau pendidikan (murah) yang sejatinya sangat mereka idam-idamkan.
Mereka yang memiliki uang dan mampu membayar, akan menikmati layanan pendidikan yang bermutu. Sebaliknya, mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan layanan pendidikan (yang bermutu). Artinya, orang miskin benar-benar dilarang sekolah!
Hal ini tentu menjadi sebuah ironi, mengingat kesempatan untuk memperoleh pendidikan (yang bermutu dan murah) adalah hak setiap warga negara, apapun status sosial ekonominya, serta tidak bisa diganggu gugat karena telah dijamin oleh konstitusi (pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD ’45).
Terkait RUU BHP dan bayangan masa depan kelam dunia pendidikan nasional dengan adanya realitas ”sekolah kian mahal” ini, tak terlalu berlebihan kiranya, jika kita ajukan satu pertanyaan retoris; ”Sebagai penentu kebijakan (decision maker), dalam tataran manakah pemerintah kita telah berhasil memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, jika sekadar niat memberikan akses seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengenyam pendidikan yang murah saja ternyata tak punya?”
Padahal hanya melalui pendidikan, optimalisasi kemanusiaan manusia peserta didik sangat dimungkinkan sehingga mereka dapat bersosialisasi, beradaptasi (dalam arti yang seluas-luasnya), dan mempertahankan keberlangsungan eksistensi kemanusiaannya di tengah berbagai tantangan dan perubahan yang terus terjadi saat ini.
Kini, seakan tak ada yang bisa menyangkal bahwa dalam tataran realitas, pendidikan tak lagi menjadi sarana yang bisa mewujudkan pencerahan (enlightenment) dan pemberdayaan (empowerment) kehidupan masyarakat. Pendidikan sudah tercemar oleh kepentingan ekonomi para penguasa dan pengusaha demi ”melanggengkan” atau melegitimasi kekuasaan dan dominasi mereka (Mansyur Fakih,2001).
Artinya, apa saja yang terkait dengan dunia pendidikan kita, seakan telah menjadi komodifikasi (commodification), dikamuflasekan, diperdagangkan, dan digunakan ”secara tidak benar” untuk mengakumulasi kapital demi mendapatkan keuntungan. Dalam tataran ini, sangat jelas bahwa konsep pendidikan untuk semua (education for all) --yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah-- menjadi ”tak berlaku” lagi, bahkan mandek sebatas utopia (mimpi) belaka.
Pun, gaung pendidikan murah --apalagi gratis-- yang selama ini diperjuangkan oleh mereka-mereka yang pro wong cilik juga akan semakin sayup. Dampaknya, tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaannya melalui media pendidikan menghadapi tantangan yang mahaberat.
Jika RUU BHP nantinya jadi disahkan menjadi UU BHP, maka kian jelas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kita mulai (bahkan benar-benar ”telah”) ”melenceng” jauh dari arah pendidikan sesuai amanat UUD 1945. Kian gamblang pula menggambarkan bagaimana proses ”pengingkaran” dan ”pencederaan” atas ideologi pendidikan sedang berlangsung di negeri berpenduduk 220 juta jiwa ini. Semoga konsep BHP tidak ”Bikin Hancur Pendidikan”!
*) Mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Masalah Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang saat ini tengah digodok oleh DPR terus menuai kritik dan kecaman, terutama dari kalangan yang peduli terhadap masalah pendidikan.
Kalangan mahasiswa, LSM, maupun masyarakat di berbagai kota besar menggelar demonstrasi menolak RUU BHP. Alasannya, sebagian besar alur dalam RUU tersebut justru ”menjual” sektor pendidikan kepada pemodal-pemodal besar dan tak lagi berorientasi pada pencerdasan kehidupan bangsa, serta kian ”melanggengkan” sistem kapitalisme dalam jagat pendidikan.
Memang, terkait dengan RUU BHP, sikap kritis masyarakat mutlak diperlukan. RUU BHP harus dikritisi secara serius dan disikapi secara bijak sebelum disahkan menjadi UU yang pada gilirannya pasti diberlakukan bagi seluruh institusi pendidikan di negeri ini.
Hal ini sangat urgen, mengingat model yang ada dalam RUU BHP itu bukannya memberi peluang yang lebih luas bagi warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan (dasar hingga perguruan tinggi) yang bermutu, namun sebaliknya, malah akan ”merenggut” hak dan atau ”mengebiri” serta mempersempit akses warga negara --terutama wong cilik pada aras grassroots-- ntuk memperoleh layanan pendidikan yang murah (dan bermutu).
RUU BHP menghendaki agar pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi ”lepas” dari intervensi pemerintah dan dikelola dalam sebuah model ”privatisasi”. Publik tentu amat mafhum, bahwa istilah ”privatisasi” sangat kental dengan pendekatan modal. Artinya, konsep liberalisme dan kapitalisme --di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal-- begitu kuat melekat di dalamnya.
Dengan model BHP, berarti pula bahwa neoliberalisme dalam bidang ekonomi-politik bukan saja telah ”diizinkan” untuk menyusup, tetapi sudah nyata-nyata dibebaskan untuk ”mengintervensi” dan menguasai bidang pendidikan yang menjanjikan pendidikan berorientasi profit an sich.
Konsekuensi logis model pendidikan yang dikembangkan melalui upaya privatisasi (baca: pendekatan modal) ini adalah bahwa sekolah dan atau PT ”dipaksa” untuk saling berlomba-lomba ”memasarkan” dirinya. Tak pelak, aneka cara pasti akan ditempuh untuk menjaring siswa dan mahasiswa baru sebanyak-banyaknya untuk mengakumulasi dana.
Dalam tataran ini, jika tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin prinsip homo homini lupus akan terjadi dalam jagat pendidikan kita. Sekolah dan PT yang ”kuat” akan ”memakan” (mematikan) sekolah atau PT kelas ”teri” yang banyak dihuni oleh kaum miskin-papa.
Sebenarnya, tak usah menunggu RUU BHP disahkan menjadi UU, untuk saat ini saja, realitas homo homini lupus dalam dunia pendidikan sudah lazim terjadi dan tampak nyata di hadapan publik. Lihat saja, penyelenggaraan pendidikan berbiaya mahal telah merambah, tidak hanya di PT, tapi juga ke sekolah-sekolah di pelosok desa.
Pungutan biaya pendidikan dalam berbagai macam nama dan model, dengan dalih klasik ”untuk meningkatkan kualitas pendidikan”, kian marak dan besarnya juga kian melangit. Akibatnya, pendidikan hanya mampu dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi diuntungkan oleh struktur dan sistem sosial yang ada. Sedang mereka yang datang dari kelas yang dieksploitasi secara ekonomi, jelas tidak akan dapat menjangkau pendidikan (murah) yang sejatinya sangat mereka idam-idamkan.
Mereka yang memiliki uang dan mampu membayar, akan menikmati layanan pendidikan yang bermutu. Sebaliknya, mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan layanan pendidikan (yang bermutu). Artinya, orang miskin benar-benar dilarang sekolah!
Hal ini tentu menjadi sebuah ironi, mengingat kesempatan untuk memperoleh pendidikan (yang bermutu dan murah) adalah hak setiap warga negara, apapun status sosial ekonominya, serta tidak bisa diganggu gugat karena telah dijamin oleh konstitusi (pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD ’45).
Terkait RUU BHP dan bayangan masa depan kelam dunia pendidikan nasional dengan adanya realitas ”sekolah kian mahal” ini, tak terlalu berlebihan kiranya, jika kita ajukan satu pertanyaan retoris; ”Sebagai penentu kebijakan (decision maker), dalam tataran manakah pemerintah kita telah berhasil memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, jika sekadar niat memberikan akses seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengenyam pendidikan yang murah saja ternyata tak punya?”
Padahal hanya melalui pendidikan, optimalisasi kemanusiaan manusia peserta didik sangat dimungkinkan sehingga mereka dapat bersosialisasi, beradaptasi (dalam arti yang seluas-luasnya), dan mempertahankan keberlangsungan eksistensi kemanusiaannya di tengah berbagai tantangan dan perubahan yang terus terjadi saat ini.
Kini, seakan tak ada yang bisa menyangkal bahwa dalam tataran realitas, pendidikan tak lagi menjadi sarana yang bisa mewujudkan pencerahan (enlightenment) dan pemberdayaan (empowerment) kehidupan masyarakat. Pendidikan sudah tercemar oleh kepentingan ekonomi para penguasa dan pengusaha demi ”melanggengkan” atau melegitimasi kekuasaan dan dominasi mereka (Mansyur Fakih,2001).
Artinya, apa saja yang terkait dengan dunia pendidikan kita, seakan telah menjadi komodifikasi (commodification), dikamuflasekan, diperdagangkan, dan digunakan ”secara tidak benar” untuk mengakumulasi kapital demi mendapatkan keuntungan. Dalam tataran ini, sangat jelas bahwa konsep pendidikan untuk semua (education for all) --yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah-- menjadi ”tak berlaku” lagi, bahkan mandek sebatas utopia (mimpi) belaka.
Pun, gaung pendidikan murah --apalagi gratis-- yang selama ini diperjuangkan oleh mereka-mereka yang pro wong cilik juga akan semakin sayup. Dampaknya, tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaannya melalui media pendidikan menghadapi tantangan yang mahaberat.
Jika RUU BHP nantinya jadi disahkan menjadi UU BHP, maka kian jelas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kita mulai (bahkan benar-benar ”telah”) ”melenceng” jauh dari arah pendidikan sesuai amanat UUD 1945. Kian gamblang pula menggambarkan bagaimana proses ”pengingkaran” dan ”pencederaan” atas ideologi pendidikan sedang berlangsung di negeri berpenduduk 220 juta jiwa ini. Semoga konsep BHP tidak ”Bikin Hancur Pendidikan”!
*) Mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar