Sabtu

Menangisi Nasib Buruh Indonesia

OLEH: EDY FIRMANSYAH*

Nasib suram masih menyelimuti kaum buruh Indonesia. Aksi unjuk rasa besar-besaran setiap memperingati hari Buruh Internasional 1 Mei merupakan isyarat bahwa beban kaum buruh kian berat. Pekerjaan berat yang dijalani kaum buruh tetap tidak mampu memenuhi apa yang menjadi standard kebutuhan hidup layak. Buktinya, pemenuhan atas tuntutan upah yang layak, pesangon, cuti hamil, kebebasan berserikat, tunjangan hari raya dan berbagai hak normatif lain masih sebatas wacana. Benar memang wacana tersebut hingga saat ini masih terus diperjuangkan. Tapi resiko perjuangan juga tidak kecil dan kadang terpahit, --pemutusan hubungan kerja secara sepihak.

Akibatnya, kaum buruh tetap berkubang dalam lumpur kemiskinan. Jika ukuran garis kemiskinan BPS 2005 Rp 135.000 per kapita per bulan, buruh Indonesia dengan upah rata-rata Rp 700.000 sampai Rp 800.000 sekarang, memang tidak termasuk miskin. Tapi karena setiap buruh menanggung rata-rata tiga anggota keluarga, meski tidak di bawah garis kemiskinan, tetap terkategori miskin. Belum ditambah mahalnya harga kebutuhan pokok. Jangan heran jika banyak buruh harus bertahan hidup di kawasan kumuh dengan standar kesehatan di bawah rata-rata, dan anak-anak putus sekolah adalah fenomena biasa. Semua itu demi menyeimbangkan pendapatan dengan biaya kebutuhan hidup keluarga.

Pemerintah sebenarnya tahu kehidupan miskin kaum buruh. Pemerintah juga telah mengambil beberapa langkah menaikkan derajat hidup kaum buruh, antara lain rencana mereformasi UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sayangnya, langkah pemerintah justru mengarah pada keberpihakan pada investor (pemilik modal). Reformasi kebijakan ketenagakerjaan dikhawatirkan melahirkan pasar kerja fleksibel (labour market flexibility).

Kondisi ini jelas kian menguatkan posisi pengusaha dalam mengembangkan modal dengan biaya produksi dan upah murah. Hak-hak kaum buruh kian rentan. Pertama, sebab pemilik modal dengan mudah mengontrol dan mendepak tenaga kerja melalui skema kerja kontrak (outsourcing). Sistem ini tidak ada pilihan lain bagi kaum buruh untuk terus menghamba pada pemilik modal. Mereka harus pasrah dengan pemberian upah murah. Kedua, kebebasan berpikir dan berpendapat via unjuk rasa lambat laun mati, sebab buruh dihadapkan pada posisi dilematis. Jika melakukan demo hanya untuk menuntut kenaikan upah, pengusaha tidak akan segan-segan memutus kontrak. Biasnya dapur tidak mengepul lagi. Sebaliknya, jika buruh diam, penguasa kian ’liar’ mengambil kebijakan yang menyengsarakan para buruh.

Untuk kepentingan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, buruh yang tidak berdaya menjadi korban yang paling mudah ditindas, untuk mencapai efisiensi atau daya saing perusahaan. Upah buruh murah juga jadi jualan menarik investasi asing ke sektor manufaktur di Indonesia. Hal serupa terjadi pada buruh tani yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang menempatkan sektor pertanian tak lebih sebagai pengganjal (suplemen) sektor industri dan modern di perkotaan. Tampaknya cara itu cukup berhasil. Data yang dihimpun Sri Hartati Samhadi (Kompas, 2005) menunjukkan, angka kasus mogok jauh menurun dalam beberapa tahun terakhir, dari 174 kasus (2001) menjadi 220 kasus (2002), 161 kasus (2003) dan 112 kasus (2004). Pun angka kehilangan jam kerja menurun dari 1.165,032 jam sepanjang tahun 2001 menjadi 769.142 jam (2002), 648.253 jam (2003) dan 497.780 jam (2004). Tetapi dibanding negara lain, masih tetap tinggi.

Siapa lagi yang diuntungkan dengan nasib buruh kian tertekan? Siapa lagi kalau bukan kaum politisi. Sebab jumlah buruh cukup banyak dan sangat berpotensi mendulang suara dalam pemilihan umum. Dari sekitar 95 juta tenaga kerja yang bekerja tahun 2005, 70,22 juta orang terkategori pekerja kerah biru, 24,73 juta orang pekerja kerah putih (andalkan kemampuan intelektual untuk mencari nafkah). Tidak perlu heran jika isu buruh sering dijadikan kendaraan politik baik jelang pemilu maupun pilkada. Di hadapan para politisi dan partai politik yang pragmatis, buruh lebih banyak diomongkan ketimbang diperjuangkan.

Menggantungkan harapan pada solusi pemerintah bisa dibilang keputusan sia-sia, tapi butuh kemandirian secara politis, bahwa kaum buruh perlu membangun jaringan di seluruh pabrik. Pasalnya, perlawanan buruh secara sektarian terbukti tidak cukup berhasil menaikkan derajat hidup. Semakin besar jaringan buruh yang dibangun, semakin kuat daya tawarnya terhadap penguasa dan pengusaha. Nasib buruh yang tragis bisa dijadikan isu bersama untuk menyatukan perjuangan buruh, dan bahkan, bergandengan tangan dengan partai politik progresif yang serius perjuangkan nasib buruh. Hanya, yang harus disadari, kesejahteran tidak akan turun dari langit, apalagi diberikan secara gratis!!!.

*) Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta, tinggal di Madura.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung