OLEH: SUDARYANTO
Setelah lebih dari 62 tahun bangsa ini ‘merdeka’ dan membangun peradaban, --pembangunan bidang pendidikan, ternyata hingga penghujung tahun 2007, dalam hati kecil saya selalu bertanya; sudah tercapaikah tujuan pendidikan yang kita idam-idamkan? Bagaimana kadar ketakwaan, tingkat kecerdasan dan keterampilan anak-anak? Bagaimana derajad budi pekerti, kepribadian dan semangat kebangsaan anak-anak? Apakah semuanya sesuai tujuan diselenggarakan pendidikan nasional?
Mengaca pada fenomena terkini, hati kecil saya berani menjawab tegas; ’’tujuan pendidikan nasional belum tercapai’’ Ini berdasarkan pada realitas sejarah panjang dunia pendidikan Indonesia yang penuh kasus fenomenal kontroversial, ditandai dan dimulai dengan krisis moral atau buta hati yang terjadi di mana-mana. Dari maraknya kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) kronis yang kian menggejala dalam sektor pendidikan yang terungkap ke permukaan dewasa ini, tragedi moralitas anak didik dan pendidik sendiri yang begitu buruk, sampai track record pendidikan yang sudah terstigma dengan maraknya jual beli ijazah.
Kasus paling mengejutkan, banyaknya kecurangan dan perilaku tak jujur dilakukan oknum pelaku dunia pendidikan, --ketika Ujian Nasional (UN) SMP-SMA digelar April silam. Gelaran UN dipenuhi ragam kasus, mulai pembocoran soal, kunci jawaban bocor, contek-mencontek, bau busuk ‘tim sukses’ UN, serta tindakan curang lain dengan menghalalkan segala cara guna mencapai satu tujuan, lulus.
Yang disayangkan, perilaku tak jujur itu ternyata dilakukan secara ‘berjamaah’ atau ‘kolektif’ antara kepala sekolah, guru dan siswa! Ironis. Tak pelak, semua menunjukkan betapa moralitas kalangan akademisi, yang sebenarnya digadang-gadang bisa membawa pencerahan atas nasib bangsa ini sudah amat bobrok.
Diakui atau tidak, selama ini, pemerintah kelihatannya belum memiliki konsep pendidikan yang tepat dan jelas. Ini terbukti dengan beberapa kali jagat pendidikan selalu disibukkan dengan fenomena ganti kurikulum. Kurikulum 1994 diganti kurikulum dengan suplemen 1999, diubah lagi jadi kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK). Belum cukup, dengan dalih ‘disempurnakan’, ternyata KBK diganti kurikulum terbaru, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Jika diperhatikan, dari semua jenis dan konsep kurikulum berikut segala tetek bengek metode pengajaran yang selama ini diterapkan kepada seluruh siswa di negeri ini, sebenarnya lebih memaksa siswa menghafalkan teori an sich dan ‘mencekoki’ siswa dengan angka-angka dan rumus semata ketimbang memahami materi, konsep dasar ilmu serta makna hakikat filosofis illahiyah dari pendidikan.
Tiga tahun terakhir, dunia pendidikan nasional pun hingar-bingar dengan aneka ‘ketidakpastian’ aplikasi kebijakan, yang sebenarnya semua itu bukan hal terurgen, namun justru kian membebani insan pendidikan belaka. Misalnya, masalah terkait model evaluasi pendidikan dalam format UN yang selalu memicu polemik dan hingga kini tak kunjung kelar. Masalah terkait model layanan pendidikan, setali tiga uang. Baik berupa Badan Hukum Pendidikan (BHP), Badan Hukum Milik Negara (BHMN) maupun Badan Layanan Umum (BLU) yang ‘diklaim’ pemerintah sebagai satu-satunya ‘jalan pintas’ meng-go-internasionalisasikan institusi pendidikan. Nyatanya, amat bertentangan dengan harapan rakyat agar pendidikan di negeri ini pro wong cilik alias bisa merata hingga ke kalangan bawah.
BHP dan diferensiasinya itu lebih merupakan bentuk proyek korporasi kapitalisasi dalam dunia pendidikan, yang jelas-jelas mengancam hakikat dasar pendidikan sendiri. Model BHP yang profit oriented, membuat peluang dan akses rakyat kelas menengah ke bawah terhadap pendidikan kian mengecil. Sekolah jadi mahal, banyak siswa putus sekolah sehingga angka pengangguran dan kemiskinan terus membengkak. Tak aneh jika kebijakan soal BHP selalu ramai dikritisi publik yang peduli akan nasib dunia pendidikan Indonesia.
Masih banyak lagi ‘kepincangan’ dunia pendidikan yang tidak bisa disebut rinci. Mudahnya, kalau mau dianalogi-metaforakan, problematika dunia pendidikan negeri ini yang amat kompleks sudah tidak bisa diformulasikan. Ekstremnya, bak benang kusut, mustahil diuraikan lagi karena tidak bisa dirunut ujung pangkalnya. Bahkan bisa dikatakan, sudah mencapai tataran yang complicated, rumit dan njlimet. Kalau dipadankan dengan penyakit yang sedang diderita seseorang, sudah akut dan kronis. Kompleksitas masalah dalam dunia pendidikan sepertinya sudah lebih dari cukup untuk menilai bagaimana sebenarnya kualitas SDM hasil ‘godokan’ pendidikan selama ini.
Lantas, pertanyaan susulan, mengapa semua hal tersebut bisa terjadi? Adakah yang salah dengan pendidikan bangsa ini? Bagaimana solusi terbaik untuk mendiagnosis dan mengatasi? Dan masih banyak lagi kristalisasi pertanyaan yang dapat ditulis sebagai akibat letupan friksi problematika tersebut. Ironisnya, pemerintah malah menjadikan persoalan pendidikan sebagai sebuah ‘proyek’, bahkan menempatkan dunia pendidikan sebagai ‘anak tiri’ dalam agenda reformasi dan proses pembangunan.
Hingga kini anggaran pendidikan masih sangat minim, 10,8% (versi pemerintah; 12,3%). Yang sangat ironis, karena keputusan uji materi MK atas RAPBN 2007 pada awal tahun 2007 menyebut, alokasi anggaran pendidikan yang ditetapkan pemerintah per 2007 sebesar 10,8% jelas-jelas ‘bertentangan’ dengan UUD 1945 (constitusional failure), lebih karena belum sesuai amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan, anggaran pendidikan nasional minimal 20% dari APBN dan APBD.
Keputusan MK menunjukkan betapa pendidikan harus menjadi prioritas utama. Jadi, ini seharusnya ditindaklanjuti pemerintah. Kini, paradigma reformasi dalam bidang pendidikan sangat urgen untuk diberlakukan. Pendidikan merupakan investasi bagi masa depan pembangunan bangsa (education future investment) hingga menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar (unbargainingable position). Di sini, pengarusutamaan (mainstreaming) terkait pemenuhan hak (pemerataan) atas pendidikan menjadi sangat penting. Pasalnya, pemerataan pendidikan itulah yang sebenarnya jadi masalah utama dunia pendidikan, selain soal kualitas, efisiensi dan feed back kebermanfaatan pendidikan bagi proses pembangunan bangsa menuju bangsa yang beradab.
*) Pengasuh Yayasan Sanggar Pendidikan Desa, tinggal di Klaten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar