Senin

Menanti ”Tumbangnya” Pengetahuan

REFLEKSI
OLEH: SULIS STYAWAN*

Sungguh ironis! Pengetahuan yang --secara epitemologis-- seharusnya berfungsi untuk memuliakan manusia serta memberikan manfaat pada nilai-nilai kemanusiaan, kian lama kian terasa ”jauh panggang dari api”.
Betapa tidak, nilai-nilai fungsi epistemologis yang melekat pada pengetahuan telah bergeser jauh sehingga fungsi itu kini malah dianggap layaknya sejarah usang yang sudah tidak fungsional lagi, sudah tidak relevan, dan bahkan ”dialienasikan”. Pasalnya, saat ini, pengetahuan telah berubah menjadi semacam ”qarun-qarun” era baru, yakni berfungsi sebagai ”mesin-mesin pengeruk emas”, dan ”mesin-mesin pengeruk dolar”.
Kita semua tentu sudah amat paham, bahwa seseorang, sekelompok dan atau bahkan bangsa-bangsa yang memiliki pengetahuan akan berusaha untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya. Dengan keberhasilan mengumpulkan kekayaan secara maksimal, maka dengan sendirinya mereka akan mendapatkan ”legitimasi” untuk menguasai pihak lain.
Hal ini tentunya memang tak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu. Seiring terjadinya progresivitas besar-besaran di bidang pengetahuan manusia --Pasca Perang Dunia II--terjadi fase lanjut dari efek proyek renaissance hemisphere (penyebaran pengaruh dan lingkup zaman pencerahan) dari dunia Barat (dengan revolusi industri) yang sedikit-demi sedikit telah mengubah ”arah” dan ”fungsi” ilmu pengetahuan.
Lebih dari itu, eksploitasi besar-besaran pada sumber daya alam --yang katanya tidak dapat diperbaharui--, berikut proyek komputerisasi di seluruh penjuru dunia, tak pelak mengakibatkan modernitas bukan lagi sekadar proses seputar ”pembentukan negara industrialis-kapitalis modern” seperti kata Weber, Tonnies dan Simmel, melainkan sudah lebih dari itu. Modernitas telah ”bermetamorfosis” menjadi modernisasi yang mengubah fase-fase kehidupan kemanusiaan, modernitas yang berarti rasionalisasi ekonomi dan administrasi progresif serta diferensiasi dunia sosial seperti sudut pandang yang diberikan teori sosiologi Jerman.
Pun, produk ilmu yang bernama ”teknologi”, bahkan telah menciptakan wilayah ”kebenaran baru”. Kebenaran yang seharusnya hanya berlaku pada wilayah denotatif --masalah benar atau salah--, kini telah berubah menjadi kebenaran yang bersifat pragmatis sama sekali, kebenaran yang direduksi hanya pada masalah ”efisien” atau ”tidak efisien”! Sungguh Ironis!
Tidak heran jika sebagian besar arah pembicaraan dan atau usulan yang kita sampaikan pada masa-masa sekarang ini selalu saja ”digiring” pada dua hal, yakni; berguna atau tidak (dengan cara pandang pragmatis), juga efisien atau tidakkah cara kerja semacam ini.Bisa dibayangkan efek yang bakal terjadi dari dua hal yang kini semakin mewabah. Apalagi kalau bukan teknologi yang kian berkembang pesat, dan di sisi lain --secara inheren-- sebagian besar manusia lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang praktis!
Dengan adanya teknologi, maka tidak akan ada lagi ”tempat” bagi kebenaran pada wilayah denotatif (prinsip benar/salah), apalagi kebenaran dalam kerangka preskriptif (adil atau tidak). Senyatanya, teknologi telah menjadi ”alat perang” baru. Tidak memiliki teknologi berarti tersingkir dan tidak dapat mengakses segala hal. Seseorang yang tak memiliki teknologi bisa diibaratkan seperti orang yang menderita schizofrenia, teralienasi dari dunia sekelilingnya yang berjalan dengan sangat cepat.
Pada tataran ini, amatlah jelas bahwa ilmu pengajaran (didactics), pada suatu saat barangkali akan mencapai satu kondisi titik nadir minimal --seperti yang pernah terjadi dalam sejarah kemanusiaan-- yang bukan tidak mungkin akan berujung pada tumbangnya ilmu pegetahuan (sekali lagi, dengan syarat jika dan hanya jika kondisi tetap linier seperti saat ini). Ilmu pengajaran hanya akan diberikan, tak lebih dari sekadar pengenalan dan pengoperasian simbol-simbol fungsional mesin-mesin, komputer, serta pusat-pusat data serba elektronik. Sungguh mengenaskan!
Akhirnya marilah kita kembali merefleksikan fungsi ilmu pengetahuan yang saat ini kita miliki. Ingat, bahwa pengetahuan bukannya untuk menindas. Jika berpengetahuan berarti kaya, dan kaya berarti berkuasa, maka harus ada satu tambahan konsep dalam rumusan itu yaitu ”kebenaran”.
Kebenaran yang dimaksud di sini adalah kebenaran yang mencakup fungsinya secara komprehensif. Bukan malah melakukan pergeseran dari ”tujuan” ke ”sarana” seperti yang telah dikhawatirkan oleh Jean-FranÇois Lyotard beberapa dasawarsa yang lalu. Di mana pengetahuan yang semula ada dan atau muncul karena memang sengaja ”diadakan” serta yang bertujuan untuk memuliakan manusia, ”suatu ketika”, hanya akan mengefektifkan sarana untuk menopang kepentingan–kepentingan individualistik yang berorientasi pada pencapaian maksimal kekayaan untuk menghegemonikan kekuasaan. Apakah yang dikhawatirkan oleh Jean-FranÇois Lyotard itu, untuk saat ini, sedikit banyak telah menjadi kenyataan? Masing-masing kita tentu bisa menilainya sendiri.
*) Mahasiswa FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung