Senin

Brain Drain Dan Krisis Pendidikan Kita

SOROT
Oleh: Nurfa Rosanti*

Akhir-akhir ini brain drain tengah menjadi perbincangan serius banyak kalangan. Brain drain adalah hilangnya sumber daya manusia (SDM) yang potensial dalam suatu negara. Bahkan brain drain kerap dituding-tuding sebagai salah satu penyebab timpangnya perkembangan ekonomi bangsa-bangsa di belahan dunia.
Betapa tidak, berdasarkan kajian sejumlah ahli seperti Carington dan Detragiache yang berjudul How Extensive is the Brain Drain? diestimasikan dari jumlah penduduk 61 negara berkembang yang bermigrasi ke negara-negara OECD, sekitar 54,3% memilih Amerika Serikat sebagai negara tujuan karena terobsesi The American Dream yang terkenal itu. Para imigran itu umumnya berasal dari Amerika Latin, Asia, sub-Sahara Afrika, Afrika Utara dan Timur Tengah. Dari Asia, imigran yang paling banyak berasal dari Filipina (1,1 juta orang), India (1,03 juta orang), Cina (817.000), Korea (653.000), Vietnam (506.000) dan Pakistan (222.000).
Parahnya lagi, lebih dari 50 persen dari para imigran itu adalah lulusan perguruan tinggi. Bahkan imigran bergelar sarjana asal India misalnya, telah mencapai 75 persen. Rata-rata imigran tersebut menempati posisi penting di perusahaan besar di Amerika. Mulai dari dokter, manager, teknisi dan ahli komputer di Mocrosoft, Mckinsey&company, Citigroup dan berbagai firma teknologi informasi di kota metropolitan Amerika.
Tak heran jika UNDP memperkirakan, India kehilangan sekitar dua miliar dollar AS per tahun akibat migrasi teknisi dan ahli komputer yang diperkirakan mencapai 2,2 juta orang sampai akhir tahun 2008. Bagaimana dengan Indonesia? Beruntung, Indonesia termasuk yang paling rendah, yakni kurang dari 5 persen dari golongan terdidik yang bermigrasi ke negara lain.
Nah, dengan kondisi semacam itu mestinya Indonesia memiliki peluang besar untuk bersaing dengan negara-negara besar. Sebab kecintaan kaum terdidik untuk tetap bertahan di negerinya sendiri bisa menjadi potensi kemajuan Nusantara.
Tapi yang terjadi justru berbalik 180 derajat. Indonesia masih merupakan negara miskin dan negeri penghutang hingga saat ini. Memang ribuan sarjana telah dilahirkan dari ratusan universitas terkemuka, tetapi kita masih saja mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk membayar ratusan expatriate yang bekerja di Nusantara ini.
Ada dua penyebab mengapa kita masih saja terpuruk? Pertama, negeri ini anti terhadap kritik. Pada masa Orde Baru, kritik yang sejatinya mampu menjadi daya dorong agar terus melakukan perubahan, perbaikan justru dianggap sebagai ancaman. Banyak orang-orang cerdas terpaksa masuk bui atau dibuang keluar negeri hanya karena kritis terhadap pemerintah. Tak hanya itu. Hak-haknya sebagai warga negara juga dimatikan. Pramoedya Ananta Toer, Sobron Aidit, Winarno Surachmad adalah contohnya. Padahal tokoh bangsa seperti mereka yang sebenarnya dibutuhkan untuk menjawab krisis di negeri ini.
Kedua, kualitas pendidikan kita yang masih rendah. Bahkan kalau boleh sedikit ekstrim pendidikan kita tengah mengalami krisis. Benar bahwa beberapa anak Indonesia berhasil mengukir prestasi di olimpiade eksakta tingkat dunia. Tapi itu bukan jadi ukuran bahwa pendidikan kita tak kalah bermutu dengan pendidikan di negara lain. Pahlawan muda Indonesia itu sebenarnya merupakan anak-anak genius, yang sangat pandai. Cukup dengan dipoles sedikit saja, mereka mampu menjadi sangat brilian. Faktanya, mutu pendidikan kita masih amat rendah, termasuk rangking bawah dibandingkan pendidikan di beberapa negara di Asia Tenggara (Suparno dalam Drost, 2005).
Menurut Andreas Harefa ketersesatan pendidikan dari tingkat SD hingga Universitas, dan kemudian berlanjut ke dunia kerja, berakar pada ketidakmampuan berpikir secara lateral, kreatif, dan ”liar” dalam arti tidak terpolakan. Sekolah-sekolah kita hanya memproduksi ”beo-beo” yang dicetak secara khusus sebagai sekrup produksi. Para doktor pertanian misalnya, tidak pernah mampu membuat ”Jambu Indonesia” atau ”Durian Indonesia”, tetapi hanya membuat segala hasil pertanian menjadi serba bangkok. (Menjadi Manusia Pembelajar, 2000)
Sebagai sebuah sekrup produksi yang dipentingkan bukan lagi kualitas pendidikan, melainkan sekedar kuantitas. Jangan heran jika kini gelar akademik dijajakan secara bebas mirip pedagang kaki lima menjual vcd bajakan seharga Rp 5.000 per keping. Bahkan --kalau mau jujur-- hampir semua skripsi dan tesis sarjana kita adalah hasil plagiat. Jangan terkejut jika lulusan sarjana kita bukannya mencipta lapangan kerja, justru antre dalam deretan pengangguran dan pencari kerja.
Karena itu membenahi pendidikan adalah solusi untuk mendongkrak kemajuan negeri ini. Pendidikan yang bersifat elitis harus digantikan pendidikan yang bersifat massal. Dinikmati semua golongan, dengan metode yang mampu melesatkan daya kritis analitik serta mencerahkan. Melibatkan tokoh bangsa, dan pemikir-pemikir pendidikan alternatif juga merupakan keharusan. Sebab terbukti pendidikan yang diterapkan selama ini telah gagal mencipta generasi handal. Tanpa itu semua --meminjam istilah Bung Karno-- kita akan terus menjadi bangsa babu.
*) Pengajar di SMP Darussyahid Sampang, Madura.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung