WACANA
Oleh: SUDJATMAKA*
Momen Sumpah Pemuda --hasil Kongres Pemuda II di Jakarta, 27-28 Oktober 1928-- adalah sebuah manifestasi yang gemilang dari hasrat kuat kalangan muda Indonesia (yang terdiri dari berbagai suku dan agama) untuk menggalang persatuan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Ya, sebuah sumpah yang lahir dari mainstream (pengarusutamaan) bersama terkait kondisi bangsa Indonesia yang pada masa itu sedang melakoni episode getir berupa penindasan demi penindasan yang dilakukan kaum kolonialis.
Sumpah Pemuda memiliki keagungan tersendiri adalah adanya kenyataan bahwa ia merupakan produk bersama yang diciptakan oleh sekelompok anak muda dari berbagai suku, agama, dan aliran politik. Bahkan di antara mereka banyak terdapat orang-orang yang telah mengorbankan diri bagi kepentingan bangsa dengan berbagai cara dan bentuk. Indikator inilah yang mengafirmasikan betapa benarnya dan betapa indah-agungnya semboyan dalam lambang negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Meski berbeda-beda, namun kita satu: Indonesia.
Lebih dari itu, tinta emas sejarah bangsa ini juga telah mencatat seberapa besar peran golongan muda dan mahasiswa dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Betapa tidak. Dalam setiap tahap ‘revolusi’ nasionalisme yang terjadi di negeri ini, pemuda dan mahasiswa tak pernah absen menyumbangkan peran, bahkan selalu menjadi garda terdepan dari setiap perubahan sosial-politik. Harus diakui, perjuangan dan pengorbanan mereka amatlah signifikan, mengingat pemuda hampir selalu menjadi ‘martir’ (fulkrum) sejarah.
Namun, dalam konteks kekinian, terutama pascareformasi 1998, apakah percikan api elan (semangat) revolusioner Sumpah Pemuda masih turut menjiwai kepribadian dan gerak langkah kaum muda bangsa saat ini?
Perasaan pesimis terkait eksistensi elan Sumpah Pemuda masih dan bakal mampu menopang semangat juang kaum muda dewasa ini seakan kian menyeruak tatkala belakangan ini sering kita saksikan betapa sosok kaum muda masa sekarang ternyata sudah jauh beda dengan sosok pemuda zaman dulu. Budaya hedonistik, glamour, hyppies, hura-hura, cekcok lantaran hal sepele, tawuran dan aksi anarkis, cuek bebek, serta kebiasaan menempuh cara-cara instan yang notabene merupakan dampak gencarnya invasi paham liberalisme, ternyata kian hari kian digandrungi kaum muda kita.
Bahkan, dalam hal jiwa kepemimpinan, harus diakui bahwa generasi muda kita saat ini sudah banyak yang kehilangan figur. Fakta ini tentu menjadi sebuah ironi jika kita komparasikan dengan realitas sosok pemuda pada zaman perjuangan dulu, di mana setiap diri anak muda pada saat itu pasti telah memiliki figur pemimpin yang jelas. Bahkan, masing-masing dari mereka juga berpotensi dan selalu siap untuk ditunjuk menjadi seorang pemimpin ketika keadaan memang mendesak. Bagaimana dengan kualitas kepemimpinan generasi muda kita saat ini? Kita semua tentu sudah cukup tahu.
Hal ini bukannya tanpa bukti. Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir kondisi bangsa ini amat carut-marut dan kelimpungan. Adakah di antara kita yang melihat bahwa sosok kaum muda bangsa ini turut serta memberikan andil dalam menjustifikasi atau setidaknya urun rembug dalam rangka mengurai benang ruwet masalah bangsa akibat terpaan dahsyat krisis multidimensi yang melanda negeri ini tak juga kunjung berhenti?
Kalau mau jujur, pada masa pembangunan bangsa saat ini, peran dan sumbangsih kaum muda bagi kepentingan bangsa dan negara ini senyatanya memang amat minim. Bahkan bisa dibilang ‘tak ada apa-apanya’ jika dibandingkan dengan kontribusi kaum muda pada masa dulu.
Inilah yang kemudian menjadi sebuah keprihatinan bersama. Kita memang sedang dihadapkan pada sebuah dilema. Kita semua tentu masih amat butuh dan menginginkan elan vital dan percikan api revolusionerisme yang terkandung dalam falsafah dan makna moralis Sumpah Pemuda tetap harus bisa merasuki jiwa dan kepribadian generasi muda bangsa ini hingga waktu yang tak terbatas. Namun oleh kaum muda sendiri, elan maha dahsyat yang diharapkan bisa menjadi pemantik semangat persatuan dan kesatuan bangsa serta pendorong semangat membangun bangsa itu, malah ditolak mentah-mentah dan diacuhkan.
Sejatinya, momentum Hari Sumpah Pemuda dapat dijadikan sebagai salah satu ‘nafas’ guna merapatkan dan mengkonsolidasikan kembali barisan pemuda (dan juga rakyat) pada saat ini, yang memang cenderung telah mengalami krisis legitimasi akibat kian lemahnya radar sensitif kita, seperti sense of crisis dan sense of belonging kita terhadap kompleksitas problematika bangsa ini. Seperti akibat korupsi yang kian menggurita bukan hanya di pemerintahan pusat namun juga di tingkat daerah, gerakan law enforcement yang menuju titik nadir, berbagai kasus illegal logging yang mempercepat datangnya bencana di negeri ini, berikut polah tingkah elit politik haus kekuasaan yang kian memuakkan.
Kini, dalam konteks memaknai peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-79, semuanya memang harus dikembalikan pada pencetus sumpah itu yakni kita, para pemuda. Semuanya terserah penilaian masing-masing kita sebagai pelajar, mahasiswa, dan pemuda. Apakah kita akan tetap menjaga elan api semangat Sumpah Pemuda agar terus membara, atau sebaliknya, membiarkan api dan elan Sumpah Pemuda itu sedikit demi sedikit meredup hingga pada akhirnya benar-benar padam. Sekali lagi, semua terserah kaum muda.
Hanya perlu diingat, bahwa Hegel pernah mendeskripsikan posisi dan peran sejati yang seharusnya dilakonkan oleh kaum muda, yakni: “Tidak sekadar produk kondisi obyektif zamannya semata. Dia (pemuda dan mahasiswa) adalah juga penggagas masa depan. Dia melakukan transendensi sosial-historis. Dia juga menyibak keterkungkungan zamannya dengan cara mengusahakan arus alternatif. Kehadirannya memungkinkan terjadinya dialektika sejarah yang akan menuju kualitas baru bagi zamannya”. Pertanyaannya, mampukah kita (generasi muda) mewujudkan peran dan kewajiban mulia itu?
*) Aktif bergiat di Divisi Sosial, Pusat Pengkajian Kebangsaan, Yogyakarta
Oleh: SUDJATMAKA*
Momen Sumpah Pemuda --hasil Kongres Pemuda II di Jakarta, 27-28 Oktober 1928-- adalah sebuah manifestasi yang gemilang dari hasrat kuat kalangan muda Indonesia (yang terdiri dari berbagai suku dan agama) untuk menggalang persatuan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Ya, sebuah sumpah yang lahir dari mainstream (pengarusutamaan) bersama terkait kondisi bangsa Indonesia yang pada masa itu sedang melakoni episode getir berupa penindasan demi penindasan yang dilakukan kaum kolonialis.
Sumpah Pemuda memiliki keagungan tersendiri adalah adanya kenyataan bahwa ia merupakan produk bersama yang diciptakan oleh sekelompok anak muda dari berbagai suku, agama, dan aliran politik. Bahkan di antara mereka banyak terdapat orang-orang yang telah mengorbankan diri bagi kepentingan bangsa dengan berbagai cara dan bentuk. Indikator inilah yang mengafirmasikan betapa benarnya dan betapa indah-agungnya semboyan dalam lambang negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Meski berbeda-beda, namun kita satu: Indonesia.
Lebih dari itu, tinta emas sejarah bangsa ini juga telah mencatat seberapa besar peran golongan muda dan mahasiswa dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Betapa tidak. Dalam setiap tahap ‘revolusi’ nasionalisme yang terjadi di negeri ini, pemuda dan mahasiswa tak pernah absen menyumbangkan peran, bahkan selalu menjadi garda terdepan dari setiap perubahan sosial-politik. Harus diakui, perjuangan dan pengorbanan mereka amatlah signifikan, mengingat pemuda hampir selalu menjadi ‘martir’ (fulkrum) sejarah.
Namun, dalam konteks kekinian, terutama pascareformasi 1998, apakah percikan api elan (semangat) revolusioner Sumpah Pemuda masih turut menjiwai kepribadian dan gerak langkah kaum muda bangsa saat ini?
Perasaan pesimis terkait eksistensi elan Sumpah Pemuda masih dan bakal mampu menopang semangat juang kaum muda dewasa ini seakan kian menyeruak tatkala belakangan ini sering kita saksikan betapa sosok kaum muda masa sekarang ternyata sudah jauh beda dengan sosok pemuda zaman dulu. Budaya hedonistik, glamour, hyppies, hura-hura, cekcok lantaran hal sepele, tawuran dan aksi anarkis, cuek bebek, serta kebiasaan menempuh cara-cara instan yang notabene merupakan dampak gencarnya invasi paham liberalisme, ternyata kian hari kian digandrungi kaum muda kita.
Bahkan, dalam hal jiwa kepemimpinan, harus diakui bahwa generasi muda kita saat ini sudah banyak yang kehilangan figur. Fakta ini tentu menjadi sebuah ironi jika kita komparasikan dengan realitas sosok pemuda pada zaman perjuangan dulu, di mana setiap diri anak muda pada saat itu pasti telah memiliki figur pemimpin yang jelas. Bahkan, masing-masing dari mereka juga berpotensi dan selalu siap untuk ditunjuk menjadi seorang pemimpin ketika keadaan memang mendesak. Bagaimana dengan kualitas kepemimpinan generasi muda kita saat ini? Kita semua tentu sudah cukup tahu.
Hal ini bukannya tanpa bukti. Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir kondisi bangsa ini amat carut-marut dan kelimpungan. Adakah di antara kita yang melihat bahwa sosok kaum muda bangsa ini turut serta memberikan andil dalam menjustifikasi atau setidaknya urun rembug dalam rangka mengurai benang ruwet masalah bangsa akibat terpaan dahsyat krisis multidimensi yang melanda negeri ini tak juga kunjung berhenti?
Kalau mau jujur, pada masa pembangunan bangsa saat ini, peran dan sumbangsih kaum muda bagi kepentingan bangsa dan negara ini senyatanya memang amat minim. Bahkan bisa dibilang ‘tak ada apa-apanya’ jika dibandingkan dengan kontribusi kaum muda pada masa dulu.
Inilah yang kemudian menjadi sebuah keprihatinan bersama. Kita memang sedang dihadapkan pada sebuah dilema. Kita semua tentu masih amat butuh dan menginginkan elan vital dan percikan api revolusionerisme yang terkandung dalam falsafah dan makna moralis Sumpah Pemuda tetap harus bisa merasuki jiwa dan kepribadian generasi muda bangsa ini hingga waktu yang tak terbatas. Namun oleh kaum muda sendiri, elan maha dahsyat yang diharapkan bisa menjadi pemantik semangat persatuan dan kesatuan bangsa serta pendorong semangat membangun bangsa itu, malah ditolak mentah-mentah dan diacuhkan.
Sejatinya, momentum Hari Sumpah Pemuda dapat dijadikan sebagai salah satu ‘nafas’ guna merapatkan dan mengkonsolidasikan kembali barisan pemuda (dan juga rakyat) pada saat ini, yang memang cenderung telah mengalami krisis legitimasi akibat kian lemahnya radar sensitif kita, seperti sense of crisis dan sense of belonging kita terhadap kompleksitas problematika bangsa ini. Seperti akibat korupsi yang kian menggurita bukan hanya di pemerintahan pusat namun juga di tingkat daerah, gerakan law enforcement yang menuju titik nadir, berbagai kasus illegal logging yang mempercepat datangnya bencana di negeri ini, berikut polah tingkah elit politik haus kekuasaan yang kian memuakkan.
Kini, dalam konteks memaknai peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-79, semuanya memang harus dikembalikan pada pencetus sumpah itu yakni kita, para pemuda. Semuanya terserah penilaian masing-masing kita sebagai pelajar, mahasiswa, dan pemuda. Apakah kita akan tetap menjaga elan api semangat Sumpah Pemuda agar terus membara, atau sebaliknya, membiarkan api dan elan Sumpah Pemuda itu sedikit demi sedikit meredup hingga pada akhirnya benar-benar padam. Sekali lagi, semua terserah kaum muda.
Hanya perlu diingat, bahwa Hegel pernah mendeskripsikan posisi dan peran sejati yang seharusnya dilakonkan oleh kaum muda, yakni: “Tidak sekadar produk kondisi obyektif zamannya semata. Dia (pemuda dan mahasiswa) adalah juga penggagas masa depan. Dia melakukan transendensi sosial-historis. Dia juga menyibak keterkungkungan zamannya dengan cara mengusahakan arus alternatif. Kehadirannya memungkinkan terjadinya dialektika sejarah yang akan menuju kualitas baru bagi zamannya”. Pertanyaannya, mampukah kita (generasi muda) mewujudkan peran dan kewajiban mulia itu?
*) Aktif bergiat di Divisi Sosial, Pusat Pengkajian Kebangsaan, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar