PENGANTAR REDAKSI: Perguliran tahun dalam parade waktu senantiasa menyatu dengan sekeping harapan. Masa lalu adalah lentera dan obor meniti masa depan. Karena itu, refleksi dan evaluasi selalu penting. Menggugat masa lalu lebih bernilai disertai visi untuk membangun masa depan. Mengutuk masa lalu tanpa menebar aksi nyata, sebuah sikap pesimistis yang harus ditanggalkan saat bangsa ini menjejak sejarah di tahun 2008.
Dialektika Hitam Putih Negeriku
Oleh: Supadiyanto*
Beragam musibah alam dan penderitaan rakyat terus terjadi sepanjang tahun 2007 ini. Sebentar lagi, kita semua akan memasuki fase tahun baru kabisat, 2008. Secara konstelasi politis dan ekonomis, tahun 2008 menjadi hidup-mati; batas propaganda empuk duet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, mengingat pada tahun 2009 akan berlangsung hajatan akbar, Pemilu.
Kita pasti mengimpikan negeri ini dalam keadaan damai. Jangan ada lagi ceceran darah di mana-mana, konflik dan kriminalitas. Namun konflik vertikal maupun horizontal tetap saja menimpa negeri berpenghuni 220 juta jiwa ini. Bara konflik horizontal juga terjadi di negara Irak, Somalia, Afghanistan, Filipina Selatan dan masih banyak negara lain. Maraknya pertikaian di muka bumi ini menjadi kenyataan pahit bagi keberlangsungan dinamika kehidupan manusia.
Selama ini, pemantik terjadinya peperangan besar dan konflik horizontal lebih didominasi akibat perbedaan pandangan dalam kehidupan beragama. Tiga agama besar di dunia --Islam, Yahudi dan Nasrani-- terkesan saling serang dan bermusuhan. Padahal, setiap ajaran agama ditekankan damai, cinta kasih dan menyayangi musuh.
Ternyata akar konflik lebih bermuatan politis demi kepentingan rezim penguasa. Alasan teologis, jihad, ataupun martir dibungkus rapi dalam wadah terorisme. Peperangan besar abad ini sebenarnya adalah perebutan industri perekonomian dunia.
Problema kompleks yang menimpa umat manusia bisa diurai dengan mengandalkan ketajaman daya nalar bukan atas dasar sentimentil-emosional semata. Aplikasi atas ajaran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak saja menyehatkan secara rohani, melainkan relevan bagi penjagaan kualitas prima fisik dan akal. Toleransi sosial, kelapangan dada dalam bergaul dengan beragam jenis manusia, kejernihan berpikir dan kearifan hati merupakan modal utama (prasyarat mutlak) bagi tercapainya perdamaian dunia.
Kesalahkaprahan dalam teologis pelaksanaan ajaran agama adalah adanya praktek pemisahan antara misi sosial dan misi teologis. Misi sosial ajaran agama itu pasti mengajarkan akan kredo toleransi sosial, fleksibilitas dalam bermasyarakat. Sedangkan misi teologis ajaran agama yakni menanamkan spirit pada kematangan jiwa.
Pendestilisasian secara ekstrem dua misi mulia yang terkandung dalam ajaran agama itu menyebabkan terpojoknya kesadaran umat manusia dalam memaknai “pelangi” kehidupan. Lantas, lahirlah terminologi jihad dalam konteks sempalan, sempit. Jihad cukup dimaknai sebagai pembelaan agama disertai ledakan bom dan menetesnya darah. Padahal, jihad dalam arti luas, justru memaksimalkan potensi otak untuk berdialektika dengan “hitam-putih” romantika kehidupan.
Dalam kerangka mencapai suatu kondisi bangsa yang dinamis, adil dan sejahtera itu dibutuhkan kata kunci, yakni perlu pengintensifan proyek yang bernama peragian rohani, mematangkan kesadaran batin, berdialektika dengan nilai moralitas. Klimaksnya, kuasa mengendalikan hawa nafsu hingga sesuai dengan muatan moralitas yang terkandung dalam ajaran agama.
Melalui model pencerahan rohani di atas, diharapkan kuasa melejitkan potensi klimaks Indonesia dalam menatap masa depan Indonesia 2008 --yang lebih baik dan kredibel. Harapan rakyat kecil; orang ndeso, cukup meminta kedasaran pemerintah untuk tidak menaikkan harga sembako, BBM selamanya. Atau cukup memurahkan biaya akses dunia pendidikan dari SD sampai PT, menjamin pelayanan kesehatan yang terjangkau. Bagi rakyat miskin, itu semua sudah cukup.
*) Staf Pengajar JWS, Peneliti ICRC, FMIPA UNY serta Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dialektika Hitam Putih Negeriku
Oleh: Supadiyanto*
Beragam musibah alam dan penderitaan rakyat terus terjadi sepanjang tahun 2007 ini. Sebentar lagi, kita semua akan memasuki fase tahun baru kabisat, 2008. Secara konstelasi politis dan ekonomis, tahun 2008 menjadi hidup-mati; batas propaganda empuk duet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, mengingat pada tahun 2009 akan berlangsung hajatan akbar, Pemilu.
Kita pasti mengimpikan negeri ini dalam keadaan damai. Jangan ada lagi ceceran darah di mana-mana, konflik dan kriminalitas. Namun konflik vertikal maupun horizontal tetap saja menimpa negeri berpenghuni 220 juta jiwa ini. Bara konflik horizontal juga terjadi di negara Irak, Somalia, Afghanistan, Filipina Selatan dan masih banyak negara lain. Maraknya pertikaian di muka bumi ini menjadi kenyataan pahit bagi keberlangsungan dinamika kehidupan manusia.
Selama ini, pemantik terjadinya peperangan besar dan konflik horizontal lebih didominasi akibat perbedaan pandangan dalam kehidupan beragama. Tiga agama besar di dunia --Islam, Yahudi dan Nasrani-- terkesan saling serang dan bermusuhan. Padahal, setiap ajaran agama ditekankan damai, cinta kasih dan menyayangi musuh.
Ternyata akar konflik lebih bermuatan politis demi kepentingan rezim penguasa. Alasan teologis, jihad, ataupun martir dibungkus rapi dalam wadah terorisme. Peperangan besar abad ini sebenarnya adalah perebutan industri perekonomian dunia.
Problema kompleks yang menimpa umat manusia bisa diurai dengan mengandalkan ketajaman daya nalar bukan atas dasar sentimentil-emosional semata. Aplikasi atas ajaran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak saja menyehatkan secara rohani, melainkan relevan bagi penjagaan kualitas prima fisik dan akal. Toleransi sosial, kelapangan dada dalam bergaul dengan beragam jenis manusia, kejernihan berpikir dan kearifan hati merupakan modal utama (prasyarat mutlak) bagi tercapainya perdamaian dunia.
Kesalahkaprahan dalam teologis pelaksanaan ajaran agama adalah adanya praktek pemisahan antara misi sosial dan misi teologis. Misi sosial ajaran agama itu pasti mengajarkan akan kredo toleransi sosial, fleksibilitas dalam bermasyarakat. Sedangkan misi teologis ajaran agama yakni menanamkan spirit pada kematangan jiwa.
Pendestilisasian secara ekstrem dua misi mulia yang terkandung dalam ajaran agama itu menyebabkan terpojoknya kesadaran umat manusia dalam memaknai “pelangi” kehidupan. Lantas, lahirlah terminologi jihad dalam konteks sempalan, sempit. Jihad cukup dimaknai sebagai pembelaan agama disertai ledakan bom dan menetesnya darah. Padahal, jihad dalam arti luas, justru memaksimalkan potensi otak untuk berdialektika dengan “hitam-putih” romantika kehidupan.
Dalam kerangka mencapai suatu kondisi bangsa yang dinamis, adil dan sejahtera itu dibutuhkan kata kunci, yakni perlu pengintensifan proyek yang bernama peragian rohani, mematangkan kesadaran batin, berdialektika dengan nilai moralitas. Klimaksnya, kuasa mengendalikan hawa nafsu hingga sesuai dengan muatan moralitas yang terkandung dalam ajaran agama.
Melalui model pencerahan rohani di atas, diharapkan kuasa melejitkan potensi klimaks Indonesia dalam menatap masa depan Indonesia 2008 --yang lebih baik dan kredibel. Harapan rakyat kecil; orang ndeso, cukup meminta kedasaran pemerintah untuk tidak menaikkan harga sembako, BBM selamanya. Atau cukup memurahkan biaya akses dunia pendidikan dari SD sampai PT, menjamin pelayanan kesehatan yang terjangkau. Bagi rakyat miskin, itu semua sudah cukup.
*) Staf Pengajar JWS, Peneliti ICRC, FMIPA UNY serta Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar