Sabtu

Merindu Energi Tanpa Gas Buang

Meski Indonesia merupakan negara tropis ketiga di dunia, masyarakat hanya bisa menghirup udara bersih dua bulan dalam setahun. Fenomena disebabkan adanya perusakan udara yang disebabkan industri, transportasi, yang kian diperparah dengan perusakan lingkungan dan penebangan hutan secara terus-menerus. Kondisi ini dapat menimbulkan berbagai penyakit dan memacu terjadinya perubahan iklim global, tegas Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar di Hotel Dharmawangsa Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup sendiri pernah meriset 20 kota se-Indonesia pada tahun 2006, antara lain Jakarta, Bandung, Medan, Sorong, Palangkaraya dan Banjarmasin. Pada tahun 2007, riset digelar di 30 kota (Ambon), Balikpapan, Banda Aceh, Bandar Lampung, Bandung, Banjarmasin, Batam, Bengkulu, Denpasar, Gorontalo, Jabodetabek, Jambi, Jayapura, Kendari, Kupang, Makassar, Manado, Mataram, Medan, Padang, Palangkaraya, Palembang, Palu, Pangkalpinang, Pekanbaru, Pontianak, Semarang, Sorong, Surabaya dan Yogyakarta. Kondisi udara terparah terjadi di Jakarta. Selain padat penduduk, wilayah Jakarta cukup sempit. Dari riset itu, diketahui bahwa penyumbang terbesar perusakan kualitas udara justru berasal dari sektor industri, disusul transportasi dan rumah tangga, rinci Witoelar.
Untuk sektor transportasi, dari 20 kota itu, 10 kota dinyatakan bebas timbal, antara lain Jakarta, Bandung dan Denpasar. Banjarmasin, Sorong, Ambon dan Surabaya terkategori masih ada sedikit. Yang justru lebih memprihatinkan adalah efek buang solar berupa sulfur. Standar euro dua, efek buang sulfur 500 per ppm, dan sekarang berkisar 3.500 per ppm. Karena itu, Witoelar mengharapkan agar energi tanpa gas buang ‘‘made in’’ Indonesia bisa segera terwujud, yang bersumber dari tumbuhan. Konon, potensi energi di Indonesia siap memindahkan Timur Tengah sebagai pusat sumur minyak ke Indonesia. Selain Indonesia, India dan Brazil yang cocok untuk ditanami tumbuhan yang memiliki sumber energi. Untuk hak paten sedang diproses. Gagal Panen
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan pahit getirnya kaum terkini. Selain dibelenggu masalah iklim, pupuk langka dan mahal, petani masih dihadang oleh aksi penipuan yang dilakukan pemerintah berupa subsidi bibit palsu, dan jelas tidak dapat memberikan hasil yang berkualitas kepada petani. Gagal panen menjadi jerit terpanjang petani meski musim tanam terus diatur sesuai iklim. Akibatnya, keluarga kaum petani kian menderita, dan tentu berdampak serius pada kehidupan keluarga. Anak-anak petani terpaksa putus sekolah. Dampak lebih luas, terjadinya penurunan produksi pertanian secara nasional. Di sini, import beras menjadi solusi jitu demi mengamankan stok pangan.
Selain itu, sawah dan ladang menjadi kering akibat over pemakaian pupuk kimia. Serangan hama pun sulit dihindari karena seakan kebal terhadap pestisida kimia. Pitanto, korban lumpur Lapindo asal Porong Sidoarjo mengaku, sudah setengah tahun, kondisi kehidupan rumah tangga cukup memprihatinkan. Lahan sawah dan ladang sudah tenggelam, pekerjaan hilang, ganti rugi sepantasnya belum kunjung cair dan nasib anak sulungnya hanya bisa sekolah sampai kelas I SMU.
Daeng Bau, petani asal Makasar menyatakan, meski sawah tidak terendam lumpur tapi tidak bisa dipacu lagi akibat kekeringan yang melanda di Makasar selama ini. Meski bisa ditanami, hasilnya sangat minim. Ia terpaksa mengais rezeki ke kota sebagai buruh cuci baju. Selain merusak sistem pertanian, pengaruh perubahan iklim juga berpengaruh pada peran kaum ibu. Widi, petani asal Blitar menyebut, perubahan iklim mempengaruhi hasil produksi padi. Tanah jadi kering karena tidak pernah turun hujan. “Biasanya dalam setahun panen padi sampai dua kali, sekarang hanya sekali dan itu pun tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” kata Widi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, petani di Blitar menggunakan varietas yang tidak membutuhkan banyak lahan (vertikultur) dan tahan kering seperti padi gogo.
Bila perubahan iklim yang kian ekstrem itu tidak segera diatasi secara serius, dikwatirkan berdampak lebih buruk pada ketahanan pangan nasional, kelaparan yang berpotensi pada terganggunya stabilitas ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Pertanian menjadi sektor potensial yang sangat rentan terhadap perubahan iklim itu. “Di tempat kami ada kecendurangan untuk tidak membaca musim sehingga banyak tanaman petani yang diserang hama dan penyakit. Misalnya daun putih pada tanaman jagung dan padi. Kami juga semakin sulit merasakan kesejukan angin dan tidak bisa membedakan musim hujan dan kemarau karena sama panasnya,” kata Warsini, asal Kudus.
Hal serupa dirasakan petani-petani dari Kerawang, Dompu, Sumbawa, Jambi, Makassar, Jember dan Blitar seperti yang terungkap dalam diskusi seputar perubahan iklim dan petani di Kampong CSF Nusa Dua. “Saya datang untuk menceritakan perubahan iklim di desa kami. ‘’Pada 20 tahun lalu hasil panen sangat banyak dan sekarang merosot tajam. Kemarau panjang membuat tanaman sulit tumbuh apalagi berbuah. Setiap malam kaum pria harus mencari air ke hilir sekalipun tetap gagal. Pun masyarakat mengalami kesulitan untuk membaca musim taman,’’ ungkap Sani, petani asal Jambi.
Selain itu, alih fungsi lahan ikut perburuk dunia pertanian di sejumlah daerah, karena lahan disulap jadi kawasan perumahan dan industri seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Khusus di Jawa Barat, banyak petani yang hijrah ke Jakarta untuk menjadi kuli bangunan. Tidak heran, banyak anak petani terpaksa memilih jalur pintas sebagai buruh migran. Sementara di Jember dan Blitar, sebagian petani sudah melakukan reboisasi secara mandiri terhadap kawasan hutan yang dianggapgundul. (Agus Salam, Wayan Nita & Roro Sawita)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung