Sabtu

Perempuan, Korban Utama Pemanasan Global

Perempuan menjadi korban utama dari dampak pemanasan global, dan tak jarang profesi ganda siap ditekuni, selain urus rumah tangga, juga kadang terpaksa berperan sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya. Begitulah nyanyian kesaksian kaum ibu yang terungkap dalam diskusi di Kampung Forum Masyarakat Sipil (CSF) di Nusa Dua, Selasa (4/12). Lilik Kaminah, ibu rumah tangga asal Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Selain menjadi keluarga korban Lumpur Lapindo, suaminya sudah tidak bekerja akibat sawah, tambak dan pangkalan ojek yang terendam lumpur. ‘’Mau cari lahan lain, sulitnya bukan main. Suami saya hanya menuntut uang kompensasi dari pemerintah,” ujar wanita yang dulu bekerja sebagai buruh pabrik dengan penghasilan Rp 10 ribu per hari itu.
Berbeda dengan Seltje Kawonseng, warga Gowa, Minahasa Utara. Warga yang tinggal di daerah tambang emas itu mengeluh akibat penyakit seperti gatal-gatal, bintik hitam, diare dan penyakit kulit yang dipicu limbah pertambangan yang dibuang ke sungai dan pantai. Hingga kini, warga setempat semakin sulit untuk konsumsi air bersih. Sedangkan di Sumatera Barat, kaum ibu yang berprofesi sebagai petani dirundung kebingungan untuk menentukan masa tanam dan panen. Perubahan iklim membuat panen gagal dan menimbulkan penyakit muntaber, diare dan demam berdarah, sebut Mariana asal Padang.
’’Kondisi geografis di sekitar Lampung Barat banyak longsor. Hutan gundul, pengalihan hutan jadi pertanian dan pemukiman kian memacu perekonomian yang tidak menentu. Hal ini memicu terjadinya gizi buruk dan kecerdasan otak menurun. Warga paling marjinal di Lampung beralih profesi jadi TKW, jika tidak ingin menjadi pengemis dan gelandangan. Bahkan karena penghasilan tidak menentu banyak yang perjualbelikan wanita. Perdagangan perempuan di sini terbesar kedua setelah Sumatera Utara,” tegas Wijatnika, mahasiswa semester IX Fisip Universitas Lampung.

Tetap Rakyat Kecil

Sementara aktivis Serikat Hijau asal Jawa Barat, Dadang menegaskan, hak-hak masyarakat kecil kian terampas dengan aplikasi odel pembangunan kapitalis. Bahaya pemanasan global menjadi isu menakutkan bagi semua lapisan masyarakat. Meski rakyat kecil mengetahui bahaya yang timbul akibat pemanasan global, mereka tidak bisa berbuat banyak.

“Yang saya tahu, akibat pemanasan global, es mencair dan Indonesia bakal tenggelam. Penyebab dari pemanasan itu adalah AC dan kendaraan bermotor. Kalau AC, saya jelas tidak punya tapi sepeda motor saya punya. Masak saya tidak boleh pakai sepeda motor. Saya bisa hidup dari sepeda motor,” kata Sulaiman, seorang pegawai swsata di Surabaya.

Karena sering menonton TV, mereka juga mengetahui tentang KTT Perubahan iklim di Bali. Hanya saja, tidak banyak berharap dari pertemuan yang dihadiri ratusan delegasi dari berbagai dunia itu. Karena yang paling penting, berupaya tetap hidup dalam kondisi tersulit sekalipun. Menurut mereka, rakyat kecil hanyalah korban dari para penguasa atau pemilik modal. Karena AC atau kulkas banyak digunakan di gedung bertingkat. Salah satu akibat pemanasan global adalah suhu udara kian meningkat. “Kalau orang kaya kepanasan masih bisa pakai AC. Sebagai masyarakat kecil tetap kepanasan. Terus musik kemarau panjang, air sulit. Kalau orang berduit bisa dapat beli dari PDAM, dan minimal pompa. (Didik Purwanto & Wuri Wigunaningsih)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung