SOROT
OLEH: HIMAWAN KRISTIANTO*
Ada sebuah lelucon tentang orang Indonesia yang suka pesan jam tangan mahal dari Swiss. Suatu ketika, bagian uji mutu menemukan jam tangan yang sangat bagus tapi presisi jarum penunjuk waktunya kurang tepat. Si pembuat pun langsung dipanggil. ”Jam ini sangat bagus dan mahal, tapi mengapa kamu ceroboh sehingga jarum penunjuk waktunya kurang tepat?” Dengan enteng si pembuat jam menjawab, ”Tidak apa-apa Pak, jam tangan ini kan pesanan orang Indonesia.” Giliran si penegur kaget. ”Lho, kalau orang Indonesia memangnya kenapa?” Kemudian dijawab, ”Di sana, orang hanya ingin memiliki jam tangan yang bagus, sementara jarum penunjuk waktunya tidak pernah diperhatikan!” jawab si pembuat jam mantap!
Lelucon ini ada tentunya bukan tanpa alasan. Istilah ”jam karet” yang sudah demikian populer dalam masyarakat kita, agaknya memang sudah menjadi bagian dari budaya hidup sehari-hari. Betapa tidak. Lihat saja, hampir tidak ada suatu kegiatan yang dilaksanakan tepat waktu.
Fenomena banyaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai lembaga, kantor, dan instansi pemerintahan di berbagai wilayah di Indonesia yang ‘mangkir atau terlambat datang (molor) masuk kantor saat hari pertama masuk kerja tanpa alasan yang jelas pascalibur dan cuti bersama Lebaran tahun ini menjadi bukti paling ‘sahih’ yang menunjukkan betapa budaya jam karet memang berlaku di negeri ini.
Meski secara umum kehadiran PNS di berbagai instansi pemerintah pasca Lebaran pada tahun ini lebih baik dari tahun lalu, namun kenyataan di lapangan saat hari pertama masuk kerja menunjukkan bahwa sebagian besar PNS datang masuk kantor setelah libur Lebaran hanya sekadar untuk ‘setor muka’. Mereka memang datang ke kantor, namun setelah menandatangani daftar hadir dan bersalam-salaman dengan rekan-rekan sekantor, mereka tidak mengerjakan apa-apa bahkan lalu pulang lebih awal. Ironisnya, budaya ini terjadi hampir di seluruh instansi pemerintahan di negeri ini!
Tak dipungkiri, masih banyak PNS yang beranggapan, yang penting sudah masuk dan mengisi presensi maka sudah ‘sah’ dan ‘beres’. Sangat ironis memang. Di era global yang serba cepat saat ini, faktor waktu menjadi sangat penting. Pepatah Cina mengatakan, “Siapa yang datang lebih pagi ke pasar, dialah yang akan lebih dulu memperoleh untung”. Namun kenyataan dalam budaya masyarakat kita berbicara lain. Ketika negara-negara berkembang lainnya sudah bangun dan giat bekerja, kita masih tertidur pulas!
Hal ini tentu amat disayangkan, mengingat status PNS sekarang ini sudah lebih baik daripada sepuluh tahun lalu. Selain gaji mereka telah dinaikkan, tunjangan yang layak, dan fasilitas yang sudah lengkap, bisa dibilang PNS bisa hidup mapan dan cukup sejahtera. Pertanyaannya, mengapa semua itu tidak didukung oleh hasil kerja yang maksimal? Kenapa selalu saja ada PNS yang tak disiplin dalam memanfaatkan waktu?
Jadi, dapat kita pahami bahwa di kalangan masyarakat kita, ‘mangkir’ seakan telah menjadi sebuah ‘tradisi’. Bahkan ketika upaya reformasi birokrasi melalui prinsip kinerja clean and good corporate governance di seluruh instansi pemerintahan di negeri ini sedang digalakkan, kebiasaan ‘bermangkir-ria’ malah menjadi semacam tren yang seakan tidak afdhol jika tidak dilakukan. Sungguh ironis!
Sebenarnya banyak upaya yang telah ditempuh pemerintah untuk membudayakan kedisiplinan di kalangan PNS. Seperti telah diberlakukannya sidak (inspeksi mendadak) oleh masing-masing pemimpin instansi pemerintahan kepada para pegawainya. Namun lagi-lagi ada hal yang unik, di mana saat dilakukan sidak, para pegawai hadir dan setelah sidak usai mereka langsung ‘kabur’.
Selain itu, juga ada aturan hukum bagi para PNS yang mangkir, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 30 Tahun 1980 yang memuat prosedur kedisiplinan PNS. Ironisnya, PP itu dianggap tak lebih dari sekadar ‘macan kertas’ karena tak membuat para PNS ciut nyali atau jera. Pasalnya, sanksi terhadap keterlambatan dan kebiasaan mangkir para PNS hanya tercetak dalam tata tertib, tapi tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Hingga akhirnya, PNS selalu saja beranggapan bahwa ancaman tetap saja sebatas ancaman, bolos jalan terus!
Sebenarnya jika aturan hukum dan sanksi yang tercantum dalam PP No 30 Tahun 1980 tersebut benar-benar diterapkan secara tegas dan tanpa pandang bulu, maka bukan tidak mungkin kedisiplinan PNS akan semakin meningkat. Jika dicermati, pemberian sanksi mulai dari teguran keras, pemotongan gaji berkala, penurunan pangkat, serta sanksi pemecatan terhadap PNS yang sering mangkir atau terlambat masuk kerja belum diterapkan secara penuh dan maksimal. Hal ini lebih karena adanya budaya ewuh pakewuh yang telah menjadi ciri khas masyarakat kita.
Pemberian sanksi tegas yang diberlakukan terhadap PNS yang melanggar aturan, sedikit banyak tentu bisa memberikan efek jera bagi para PNS lain yang coba-coba ingin ‘mencicipi’ bagaimana rasanya mangkir kerja. Dengan begitu para PNS tak akan lagi berani atau coba-coba mangkir kerja pada masa-masa yang akan datang serta berusaha untuk lebih disiplin.
Semua tentu sepakat, bahwa kebiasaan mangkir adalah salah satu bagian dari mental jelek masyarakat di negeri berpenduduk 223 juta jiwa ini, dan karenanya harus segera dibenahi. Yang pasti, tak ada satu pun pakar manajemen yang tidak menganggap negatif kebiasaan mangkir.
Mengingat kedisiplinan adalah suatu keniscayaan, sangatlah penting, dan tidak cukup hanya dibuktikan dengan kata-kata, terlebih bagi para abdi negara. Penerapan aturan dan sanksi hukum secara tegas bagi PNS yang mangkir adalah juga menjadi sebuah keniscayan. Untuk apa aturan hukum dibuat jika tidak untuk diberlakukan? Jika tidak, maka jangan pernah berharap (bahkan sekadar bermimpi pun, jangan!) bahwa negara akan memiliki abdi-abdi negara yang punya mental disiplin tinggi!
*)Penulis, Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta
Ada sebuah lelucon tentang orang Indonesia yang suka pesan jam tangan mahal dari Swiss. Suatu ketika, bagian uji mutu menemukan jam tangan yang sangat bagus tapi presisi jarum penunjuk waktunya kurang tepat. Si pembuat pun langsung dipanggil. ”Jam ini sangat bagus dan mahal, tapi mengapa kamu ceroboh sehingga jarum penunjuk waktunya kurang tepat?” Dengan enteng si pembuat jam menjawab, ”Tidak apa-apa Pak, jam tangan ini kan pesanan orang Indonesia.” Giliran si penegur kaget. ”Lho, kalau orang Indonesia memangnya kenapa?” Kemudian dijawab, ”Di sana, orang hanya ingin memiliki jam tangan yang bagus, sementara jarum penunjuk waktunya tidak pernah diperhatikan!” jawab si pembuat jam mantap!
Lelucon ini ada tentunya bukan tanpa alasan. Istilah ”jam karet” yang sudah demikian populer dalam masyarakat kita, agaknya memang sudah menjadi bagian dari budaya hidup sehari-hari. Betapa tidak. Lihat saja, hampir tidak ada suatu kegiatan yang dilaksanakan tepat waktu.
Fenomena banyaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai lembaga, kantor, dan instansi pemerintahan di berbagai wilayah di Indonesia yang ‘mangkir atau terlambat datang (molor) masuk kantor saat hari pertama masuk kerja tanpa alasan yang jelas pascalibur dan cuti bersama Lebaran tahun ini menjadi bukti paling ‘sahih’ yang menunjukkan betapa budaya jam karet memang berlaku di negeri ini.
Meski secara umum kehadiran PNS di berbagai instansi pemerintah pasca Lebaran pada tahun ini lebih baik dari tahun lalu, namun kenyataan di lapangan saat hari pertama masuk kerja menunjukkan bahwa sebagian besar PNS datang masuk kantor setelah libur Lebaran hanya sekadar untuk ‘setor muka’. Mereka memang datang ke kantor, namun setelah menandatangani daftar hadir dan bersalam-salaman dengan rekan-rekan sekantor, mereka tidak mengerjakan apa-apa bahkan lalu pulang lebih awal. Ironisnya, budaya ini terjadi hampir di seluruh instansi pemerintahan di negeri ini!
Tak dipungkiri, masih banyak PNS yang beranggapan, yang penting sudah masuk dan mengisi presensi maka sudah ‘sah’ dan ‘beres’. Sangat ironis memang. Di era global yang serba cepat saat ini, faktor waktu menjadi sangat penting. Pepatah Cina mengatakan, “Siapa yang datang lebih pagi ke pasar, dialah yang akan lebih dulu memperoleh untung”. Namun kenyataan dalam budaya masyarakat kita berbicara lain. Ketika negara-negara berkembang lainnya sudah bangun dan giat bekerja, kita masih tertidur pulas!
Hal ini tentu amat disayangkan, mengingat status PNS sekarang ini sudah lebih baik daripada sepuluh tahun lalu. Selain gaji mereka telah dinaikkan, tunjangan yang layak, dan fasilitas yang sudah lengkap, bisa dibilang PNS bisa hidup mapan dan cukup sejahtera. Pertanyaannya, mengapa semua itu tidak didukung oleh hasil kerja yang maksimal? Kenapa selalu saja ada PNS yang tak disiplin dalam memanfaatkan waktu?
Jadi, dapat kita pahami bahwa di kalangan masyarakat kita, ‘mangkir’ seakan telah menjadi sebuah ‘tradisi’. Bahkan ketika upaya reformasi birokrasi melalui prinsip kinerja clean and good corporate governance di seluruh instansi pemerintahan di negeri ini sedang digalakkan, kebiasaan ‘bermangkir-ria’ malah menjadi semacam tren yang seakan tidak afdhol jika tidak dilakukan. Sungguh ironis!
Sebenarnya banyak upaya yang telah ditempuh pemerintah untuk membudayakan kedisiplinan di kalangan PNS. Seperti telah diberlakukannya sidak (inspeksi mendadak) oleh masing-masing pemimpin instansi pemerintahan kepada para pegawainya. Namun lagi-lagi ada hal yang unik, di mana saat dilakukan sidak, para pegawai hadir dan setelah sidak usai mereka langsung ‘kabur’.
Selain itu, juga ada aturan hukum bagi para PNS yang mangkir, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 30 Tahun 1980 yang memuat prosedur kedisiplinan PNS. Ironisnya, PP itu dianggap tak lebih dari sekadar ‘macan kertas’ karena tak membuat para PNS ciut nyali atau jera. Pasalnya, sanksi terhadap keterlambatan dan kebiasaan mangkir para PNS hanya tercetak dalam tata tertib, tapi tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Hingga akhirnya, PNS selalu saja beranggapan bahwa ancaman tetap saja sebatas ancaman, bolos jalan terus!
Sebenarnya jika aturan hukum dan sanksi yang tercantum dalam PP No 30 Tahun 1980 tersebut benar-benar diterapkan secara tegas dan tanpa pandang bulu, maka bukan tidak mungkin kedisiplinan PNS akan semakin meningkat. Jika dicermati, pemberian sanksi mulai dari teguran keras, pemotongan gaji berkala, penurunan pangkat, serta sanksi pemecatan terhadap PNS yang sering mangkir atau terlambat masuk kerja belum diterapkan secara penuh dan maksimal. Hal ini lebih karena adanya budaya ewuh pakewuh yang telah menjadi ciri khas masyarakat kita.
Pemberian sanksi tegas yang diberlakukan terhadap PNS yang melanggar aturan, sedikit banyak tentu bisa memberikan efek jera bagi para PNS lain yang coba-coba ingin ‘mencicipi’ bagaimana rasanya mangkir kerja. Dengan begitu para PNS tak akan lagi berani atau coba-coba mangkir kerja pada masa-masa yang akan datang serta berusaha untuk lebih disiplin.
Semua tentu sepakat, bahwa kebiasaan mangkir adalah salah satu bagian dari mental jelek masyarakat di negeri berpenduduk 223 juta jiwa ini, dan karenanya harus segera dibenahi. Yang pasti, tak ada satu pun pakar manajemen yang tidak menganggap negatif kebiasaan mangkir.
Mengingat kedisiplinan adalah suatu keniscayaan, sangatlah penting, dan tidak cukup hanya dibuktikan dengan kata-kata, terlebih bagi para abdi negara. Penerapan aturan dan sanksi hukum secara tegas bagi PNS yang mangkir adalah juga menjadi sebuah keniscayan. Untuk apa aturan hukum dibuat jika tidak untuk diberlakukan? Jika tidak, maka jangan pernah berharap (bahkan sekadar bermimpi pun, jangan!) bahwa negara akan memiliki abdi-abdi negara yang punya mental disiplin tinggi!
*)Penulis, Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar